Indovoices.com-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan Anggaran Pendapat dan Belanja Negara atau APBN defisit lebih dalam menjadi 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto. Hal itu terjadi kata dia, usai pemerintah memberikan stimulus untuk menangkis dampak virus Corona.
“Kami memberikan stimulus sebesar 0,8 persen dari GDP, nilainya itu Rp 125 triliun,” kata Sri Mulyani di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Jakarta.
Saat ini pemerintah tidak mengerem belanja negara namun penerimaan mengalami penurunan. “Itu berarti adalah kita tetap melakukan relaksasi defisit yang membesar, jadi mungkin kalau dilihat dari quantifying itu, APBN memberikan dampak suportif pada ekonomi sebesar hampir 0,8 persen dari GDP,” ujar dia.
Sebelumnya pemerintah telah menggelontorkan dua stimulus fiskal. Stimulus pertama bernilai Rp 10,3 triliun, sedangkan stimulus kedua sebesar Rp 22,7 triliun.
Stimulus fiskal jilid II untuk menangkis dampak virus Corona salah satunya pemerintah merelaksasi Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor atau PPh Pasal 22 Impor. “Relaksasi PPh 22 impor diberikan untuk 19 sektor. Ini nanti akan diberikan kemudahan pembebasan PPh 22 impor selama 6 bulan atau ditanggung pemerintah juga pajaknya,” kata Sri Mulyani.
Dia mengatakan relaksasi diberikan melalui skema pembebasan PPh Pasal 22 Impor kepada 19 sektor tertentu, Wajib Pajak KITE, dan Wajib Pajak KITE IKM. Pembebasan PPh Pasal 22 Impor itu terhitung mulai April hingga September 2020.
Dia memperkirakan dengan penundaan itu total perkiraan dana sebesar Rp 8,15 triliun. Kebijakan itu, kata dia, ditempuh guna memberikan ruang cashflow bagi industri sebagai kompensasi switching cost karena adanya perubahan negara asal impor.
Relaksasi Pajak Penghasilan Pasal 25 atau PPh Pasal 25 juga akan diterapkan. Relaksasi diberikan melalui skema pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30 persen kepada 19 sektor tertentu, Wajib Pajak KITE, dan Wajib Pajak KITE-IKM selama enam bulan terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan pengurangan sebesar Rp4,2 triliun.
Selain tujuannya sama dengan relaksasi PPh Pasal 22 Impor, relaksasi PPh 25 juga merupakan upaya mengubah negara tujuan ekspor. Setelah relaksasi PPh, diharapkan akan mendongkrak ekspor.
Selanjutnya, kata Sri Mulyani, pemerintah juga merelaksasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Relaksasi diberikan melalui restitusi PPN dipercepat(pengembalian pendahuluan) bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE-IKM.
“Restitusi PPN dipercepat selama 6 bulan, terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan besaran restitusi sebesar Rp 1,97 triliun,” kata dia.
Dia mengatakan tidak ada batasan nilai restitusi PPN khusus bagi para eksportir, sementara bagi para non-eksportir besaran nilai restitusi PPN ditetapkan paling banyak Rp 5 miliar.
“Dengan adanya percepatan restitusi, Wajib Pajak dapat lebih optimal menjaga likuiditasnya,” kata Sri Mulyani.
Selain itu, perintah juga melaksasi Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21). Relaksasi diberikan melalui skema PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah sebesar 100 persen atas penghasilan dari pekerja dengan besaran sampai dengan Rp 200 juta pada sektor industri.
PPh ditanggung pemerintah selama enam bulan, mulai April hingga September 2020. Nilai besaran yang ditanggung pemerintah sebesar Rp 8,60 triliun.
“Diharapkan para pekerja di sektor industri pengolahan tersebut mendapatkan tambahan penghasilan untuk mempertahankan daya beli,” kata Sri Mulyani. (msn)