Indovoices.com-Saran kepada Darwin Siagian, Bupati Tobasa.
Di awal tahun 2020 ada dua peristiwa menarik bagi saya. Dua peristiwa itu adalah dua sahabat saya yang saya kenal rendah hati, cerdas, amat energik, kreatif, visioner dan pemberani tersangkut hukum. Dua orang itu adalah dokter Tota Manurung dan Sebastian Hutabarat, sarjana teknik lulusan universitas terkemuka di kota Bandung. Dua orang itu masih sangat muda. Waktu masih panjang untuk berkarya bagi bangsa ini.
Dua peristiwa itu adalah dokter di Puskesmas Borbor yaitu dokter Tota Manurung dipecat secara sewenang-wenang dari Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Bupati Tobasa, Darwin Siagian. Dan, Sebastian Hutabarat diputuskan Pengadilan Negeri Balige di Pangururan 2 bulan penjara. Mengapa orang baik, cerdas secara kognitif, motorik dan afektif dihukum?. Dimana letak kesalahannya?.
Dua peristiwa hukum ini mengingatkan saya kepada Prof. Satjipto Raharjo. Satjipto Raharjo menulis buku dengan judul berhukum dengan nurani. Satjipto Raharjo dulu penulis aktif di Kompas. Ketika Stjipto Raharjo sudah meninggal, Kompas masih menulis tulisannya yang sudah sempat dikirim ke redaksi Kompas sebelum meninggal. Satjipto Raharjo memang pendekar hukum yang hebat.
Bagaimana isi buku berhukum dengan nurani?. Satjipto menawarkan bahwa hukum bukan jaring untuk menjerat orang. Hukum hadir untuk kebaikan. Hukum hadir untuk membangun peradaban. Ilmu pengetahuan memang muncul untuk peradaban.
Dalam kasus dokter Tota Manurung yang dipecat dari ASN karena alasan akumulasi absensi. Bagaimana ceritanya?. Cobalah kita berempati. Apa penyebabnya?. Dokter Tota ditempatkan di Kecamatan Borbor yang cukup jauh dari Balige diduga dari suka atau tidak suka. Dokter Tota menerima. Dokter Tota berbicara dengan Kepala Puskesmas dan rekannya dokter di Borbor. Caranya, mereka menyusun jadwal. Mereka sepakat bahwa, “esensi kerja adalah rakyat terlayani dengan baik”. Mereka manganalisa kemungkinan kemungkinan apa yang terjadi. Masyarakat Borbor itu pergi ke ladang di siang hari. Mereka datang berobat jika ada onan. Di onan lah kami layani. Kepala puskesmas dan rekan dojter lain bisa melayani secara terjadwal. Sekali lagi, intinya rakyat terlayani. Dokter Tota ini sering teriak soal fasilitas dan obat obatan tidak ada yang tersedia.
Lalu, memgapa harus fokus kepada absen?. Apakah dokter Tota tidak mengisi absen atau datang sekali tanda tangan 5 kali atau lebih?. Hal itu bisa dilakukan, bukan?. Dokter Tota tidak melakukan itu.
Untuk menjawab pertanyaan secara objektif soal absensi itu, maka sesuai Peraturan Pemerintah (PP) nomor 53 Tahun 2010 tentang peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil pasal 23 dan seterusnya. Di pasal itu dijelaskan mekanisme yang jelas. Dimulai dari pemanggilan, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan tim pemeriksa yang dibentuk. Mekanismenya sangat jelas. Ada kewajiban yang harus dilalui untuk pemecatan. Darwin Siagian menggunakan target saja. Harus dipecat.
Publik mengetahui bahwa dokter Tota memang kritis. Andaikan Darwin Siagian memiliki nurani, sejatinya Darwin mengoptimalkan potensi dojter Tota untuk membangun Tobasa. Bukan menggunakan aturan sesuka hati untuk memecatnya. Dojter Tota adalah orang bertanggungjawab. Dia berbicara dengan kepala Puskesmas dan rekannya dokter untuk menyusun jadwal untuk melayani rakyat. Soal tanda tangan bisa ditanda tangani sekaligus, bukan?.
Dari sisi keadilan, andaikan Darwin Siagian menggunakan PP Nomor 53 tahun 2010 bagi ASN Tobasa, apakah hanya 9 orang yang dipecat. Bagaimana dengan mantan pejabat yang pernah Kepala Dinas yang non job?. Apakah akumulasi absen mereka memenuhi PP Nomor 53 tahun 2010. Jadi, Darwin Siagian tidak bisa sewenang-wenang. Mekanismenya jelas dan cobalah belajar secara jernih melihat persoalan. Persoalan utama kita di bidang kesehatan bukan absensi, tetapi dugaan korupsi. Fasilitas kesehatan kita sangat minim. Dokter kita juga kurang. Masa jumlah yang kurang pun dipecat. Lagipula, dokter Tota itu bukan orang jahat. Tetapi dojter yang kecerdasan sosialnya luar biasa.
Dalam kasus Sebastian Hutabarat, buku yang paling relevan untuk kita pahami adalah Satjipto Raharjo. Jika kita runtut peristiwanya adalah Sebastian Hutabarat adalah pecinta lingkungan. Dia aktif di Yayasan Perhimpunan Pecinta Danau Toba (YPPDT). Bosalah dibayangkan, mengapa dia mengusik perusahaan yang mengekspkoutasi lingkungan. Sikap Sebastian Hutabarat adalah perbuatan terpuji. Dia telah teruji mencintai lingkungan. Ketika proses akan cintanya kepada lingkungan, dia teraniaya. Sedihnya, bisa diputarbalikkan menjadi terpidana 2 bulan. Kini, banding. Kasus Sebastian, menunjukkan hukum kita kehilangan nurani.
Melihat dua peristiwa hukum 2 anak muda itu mengingatkan kita kepada pendekar hukum guru besar Universitas Diponegoro (UNDIP) Satjipto Raharjo.
Gurgur Manurung, pengamat sosial dan lingkungan.