Indovoices.com –Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan bahwa pemerintah tetap mengelola utang secara hati-hati. Meskipun saat ini rasio utang terhadap penerimaan melebihi batas ketentuan Dana Moneter Internasional (IMF) maupun International Debt Relief (IDR).
Menurut dia, bukan hanya Indonesia saja yang utangnya melebihi ketentuan IMF. Hampir seluruh negara selama pandemi ini utangnya meningkat signifikan.
“Pengelolaan utang tetap terjaga, meski ada rasio-rasio yang kita ikutkan dari IDR, IMF, World Bank. Tapi kita lihat, negara lain hampir tidak ada yang sebagaimana standar itu dipenuhi, baik standar IMF maupun standarnya IDR,” ujar Suharso saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (23/6).
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR). Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.
Selanjutnya, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-19 persen. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.
Suharso melanjutkan, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) selama tahun lalu sebesar 38,68 persen. Angka ini masih di bawah ketentuan UU Keuangan Negara, di mana batas maksimalnya adalah 60 persen.
“Kalau kita bercermin pada negara lain, maka sesungguhnya banyak negara, seperti China, itu bahkan utangnya lebih besar dari GDP, AS juga, kemudian Jepang juga dua kalinya GDP mereka,” katanya.
Dia pun membandingkan rasio utang pemerintah Indonesia dengan negara lain. Filipina memiliki rasio utang 53,5 persen terhadap PDB selama tahun lalu, Korea Selatan 42,6 persen, Vietnam 46,7 persen, bahkan Kolombia 62,8 persen.
Meski demikian, menurut Suharso, rasio utang Indonesia terhadap penerimaan memang tinggi. Untuk itu, ke depan diharapkan rasionya bisa menurun.
“Kalau kita hitung berdasarkan debt ratio terhadap penerimaan negara, memang relatif tinggi. Inilah yang jadi PR kita bersama, bagaimana menurunkannya ke depan,” pungkasnya.
Sebelumnya, BPK mengkhawatirkan pemerintah tak lagi bisa membayar utang beserta bunganya. Pembiayaan utang bahkan disebut melebihi kebutuhan.
Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2020, BPK melaporkan bahwa realisasi defisit anggaran selama tahun lalu sebesar Rp 947,70 triliun atau 6,14 persen dari PDB.
Sementara pembiayaan tahun 2020 mencapai Rp 1.193,29 triliun atau sebesar 125,91 persen dari nilai defisitnya. Sehingga, terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) sebesar Rp 245,59 triliun.
“Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara, Pinjaman Dalam Negeri, dan Pembiayaan Luar Negeri Sebesar Rp 1.225,99 triliun, yang berarti pengadaan utang tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit,” kata Ketua Umum BPK Agung Firman Sampurna saat membacakan IHPS di rapat paripurna DPR RI, Selasa (22/6).