Indovoices.com-Virus Corona (COVID 19) melanda dunia, termasuk Indonesia, pemerintah meminta kita tinggal di rumah. Persekutuan Gereja dI indonesia (PGI) melalui surat penggembalaanya meminta kita untuk memanfaatkan momentum ini untuk menghangatkan hubungan sesama keluarga.
Apa yang terjadi setelah kita lalui tinggal di rumah?. Di media sosial (medsos) ada semacam kritik dari anak-anak bahwa ibu lebih “keras” dari guru di sekolah. Anak-anak maunya belajar sama guru saja. Ini sebuah kritik yang lucu.
Bagaimana dengan ayah?. Di medsos pula ada yang mengeluh pergi ke kedai (lapo). Sedihnya, “lupa” pulang. Momentum ini dijadikan nongkrong. Dengan kata lain, mereka lengah bahkan ada yang tidak peduli.
Mungkin saja seorang ayah sadar, di rumah tidak bisa merokok. Jika rumahnya kecil, tinggal di kota, kebiasaan merokok memang menjadi masalah. Bayangkan, kalau rumahnya di kawasan padat penduduk, anaknya tiga masih kecil, ada pula orang tua atau mertua, ponakan?. Bisa dimakalumi seorang ayah nongkrong, bukan?.
Nah, kalau rumahnya cukup luas, kebiasaan merokok memang bisa diatasi. Walaupun demikian, asap rokok itu menjadi masalah buat keluarga. Apalagi jika anak-anak masih kecil.
Masalah serius adalah tatkala seorang ayah tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Mendidik anak tidak bisa. Mengharapkan istri yang mendidik anak-anak. Bagaimana dengan kebiasaan ini?. Apa yang kita bayangkan dengan kebiasaan ini?. Jika kelak anak kita meniru kebiasaan ini, apa yang terjadi jauh kedepan?. Kebiasaan buruk yang berkelanjutan, bukan?.
Saya dan anak pertamaku Daniel biasa kami di lapangan bola. Lapangan bola adalah tempat kami komunikasi. Pergi ke lapangan bola dan pulangnya kami berdua berbicara. Kadang, kami makan di restoran berdua setelah pulang latihan atau bertanding.
Saya tidak mau batin kami jauh. Karena itu, saya bangun terus menerus. Saya tau, dia lebih suka dengan teman seumurannya. Tetapi, harus diciptakan suasana untuk membangun hubungan batin. Jika tidak, sulit mengendalikan masa remajanya. Jika ada masalah, sulit menyelesaikannya. Dan, kegiatan ini sangat menyenangkan.
Jika seorang ayah lebih suka nongkrong dan lupa pulang seperti keluhan di medsos, perlu menyadari pesan penggembalaan PGI itu. Ketua umum PGI Gomar Gultom seorang ayah yang hebat. Andaikan ditanya putrinya, hakul yakin jawabannya menyatakan pendeta Gomar Gultom ayah yang hebat baginya.
Tentu saja kita mau disebut anak kita ayah yang hebat, bukan?.
Jika ingin disebut ayah yang hebat, saya pikir kita harus bisa mengendalikan diri. Jika merokok, bagusnya berhenti merokok. Jika tidak bisa berhenti, kreatiflah mencari tempat. Jangan tidak peduli. Ketidakpedulian ini sangat menjengkelkan anak-anak kita. Hanya, tidak diungkapkan. Siapakah yang peduli anak kita?.
Saya mencoba berbagai cara agar menjadi ayah yang menyenangkan. Kemarin saya memasak. Saya tanya kedua anak saya, “apakah masakan bapa enak?”. Mereka bilang iya. Walaupun saya ragu, kemungkinan jawaban mereka untuk menyenangkan saja. Bagi saya, minimal mencoba bagaimana selera mereka.
Menjadi ayah yang menyenangkan tidak mudah. Tetapi, menyadari perlu menjadi ayah yang menyenangkan sebuah sikap naik kelas menjalani kehidupan.
#gurmanpunyacerita