Indovoices.com-Sebagai gubernur di mana daerahnya menjadi episenter pandemi Covid-19, Anies Baswedan mengaku sangat khawatir. Alasan utama dirinya khawatir adalah rata-rata kematian atau case fatality rate(CFR) akibat Covid-19 di DKI yang mencapai 10 persen.
“Artinya case fatality rate-nya 10 persen dan angka itu dua kali lipat dibandingkan angka rata-rata global. Angka global 4,4 persen jadi ini sangat mengkhawatirkan,” katanya dalam rapat telekonferensi bersama Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin di Jakarta.
Data hingga Kamis (2/4) kemarin, 90 orang meninggal dari total 885 kasus positif Covid-19 di DKI. Dari 885 orang di DKI Jakarta yang dinyatakan positif Covid-19, Anies juga menjelaskan, 53 orang dipastikan sembuh per 2 April 2020. Adapun, sebanyak 561 pasien masih dalam perawatan dan 181 orang melakukan isolasi mandiri.
Anies menyatakan, pihaknya terus memonitor data kasus Covid-19 melalui Kementerian Kesehatan serta Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta agar dapat diketahui pergerakan wabah tersebut.
“Kami melihat pertumbuhan kasus di Jakarta itu masih tinggi dan saya sampaikan kenapa kami melihat bukan saja data dari Kementerian Kesehatan tapi juga data dari pemakaman,” kata Anies.
Anies meminta Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto segera menetapkan status pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk wilayah DKI Jakarta. Menurut Anies, Pemerintah Provinsi (Pemprov DKI Jakarta telah mengirimkan surat kepada Menkes Terawan untuk menindaklanjuti Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB.
“Kami butuhkan terkait pemerintah pusat. Pertama adalah menyegerakan untuk mendapatkan status agar kita bisa mengeluarkan peraturan,” ujar Anies.
Meski begitu, Anies menyatakan, DKI sebenarnya sudah lebih dahulu menerapkan kebijakan pembatasan sosial sebelum terbitnya PP tersebut. Ia menerangkan, imbauan belajar dari rumah, kerja dari rumah, ataupun larangan kegiatan keagamaan dihadiri banyak orang merupakan bagian dari pembatasan.
Namun, Anies menyebut hal itu baru berupa imbauan, bukan kebijakan. Ia menyebut, dengan ditetapkannya status dan diikuti kebijakan, maka kini bersifat mengikat.
“Karena itu, mungkin kita ke depan akan bisa melakukan pengetatan lagi, Pak (Wapres), dan juga dari sisi penegakan hukum, karena selama ini apa yang kita kerjakan itu belum berbentuk peraturan yang mengikat, sifatnya imbauan, penegakannya masih sangat terbatas sekali,” kata Anies saat melaporkan perkembangan penanganan Covid-19 di DKI kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin melalui video konferensi.
Kepada Ma’ruf, Anies menyampaikan beberapa kendala dari penerapan PSBB khususnya untuk Jabodetabek. Anies menjelaskan, sebagai episentrum virus Covid-19 tertinggi, wilayah Jabodetabek tidak hanya DKI Jakarta, tetapi juga irisan dari provinsi Jawa Barat dan Banten.
“Sementara epicenter tiga provinsi. Karena Jabodetabek ada Jabar, Banten, Kami mengusulkan agar ada kebijakan tersendiri untuk kawasan Jabodetabek di mana batas-batas administrasi pemerintahan berbeda dengan penyebaran kasus Covid-19 di Jabodetabek,” ujar Anies.
Sebab, Anies mengaku sulit, jika kebijakan pembatasan sosial berskala besar di Jakarta, tidak diikuti dengan pengaturan pergerakan orang di wilayah dekat Jakarta lainnya.
“Perlu ada terobosan supaya bisa mengelola lebih baik. Kami khawatir mengenai pergerakkan orang dari Jakarta ke luar kawasan Jakarta. Karena itulah kenapa kami Senin kemarin mengeluarkan surat untuk menutup terminal antarkota, kemudian bus antarkota, kendaraan umum antarkota dihentikan karena potensi penyebaran sangat tinggi,” ujarnya.
Karena itu, ia meminta kepada Wapres agar Pemerintah memberi perhatian khusus terkait hal tersebut. Apalagi, Pemerintah DKI, kata Anies telah mengirimkan surat ke Kementerian Kesehatan untuk menindaklanjuti PP Nomor 21/2020 soal PSBB untuk wilayah Jakarta.
“Hari ini kita akan mengirimkan surat pada pak Menkes, untuk segera menetapkan PSBB untuk Jakarta,” ujarnya.
Peraturan Menteri Kesehatan (Menkes) yang mengatur tentang kriteria sebuah daerah bisa menerapkan PSBB baru diterbitkan maksimal dua hari lagi. Dalam rapat terbatas, Kamis (2/4), Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintah Menkes Terawan Agus Putranto untuk segera merampungkan aturan tersebut.
“Apa kriteria daerah yang bisa diterapkan PSBB, langkah apa yang bisa dilakukan daerah. Dan saya minta dalam waktu maksimal dua hari peraturan menteri itu sudah selesai,” jelas presiden dalam rapat terbatas.
Sebelumnya, Jokowi telah lebih dulu menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 11 tahun 2020 tentang Darurat Kesehatan untuk menghadapi pandemi Corona. Kemudian disusul dengan terbitnya PP nomor 21/2020 yang mengatur pelaksanaan PSBB saat yang sama. Namun, dalam beleid ini belum diatur rinci kriteria seperti bagi daerah untuk bisa menerapkan PSBB.
Jokowi mengingatkan, Keppres Darurat Kesehatan dan PP PSBB harus menjadi dasar bagi seluruh pemerintah daerah dalam menjalankan penanganan Covid-19. Lagi-lagi, melalui ratas kemarin, presiden meminta seluruh pemda, termasuk gubernur, bupati, dan wali kota, untuk punya visi dan strategi yang sama dalam memotong mata rantai penularan infeksi virus corona ini.
“Rujukannya sudah jelas. Prosedurnya juga sudah jelas. Tinggal nanti menteri kesehatan segera mengatur lebih rinci di dalam peraturan menteri,” ujar Jokowi lagi.
PSBB sendiri bertujuan untuk membatasi kegiatan penduduk dalam suatu wilayah. Ada tiga poin pembatasan yang disebutkan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dan PP tentang PSBB, yakni peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat umum. Ketiga poin tersebut, hampir sudah dilakukan sebagian besar provinsi di Indonesia selama dua pekan terakhir.