Indovoices.com- Akses pendidikan di Indonesia merupakan hal yang penting untuk peningkatan kualitas pengembangan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Sejak tahun 2009, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengucurkan sebesar 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, Angka Partisipasi Murni (APM) belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.
APM adalah perbandingan antara siswa usia sekolah tertentu pada jenjang pendidikan dengan penduduk usia yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Ini berarti di daerah, hanya sedikit siswa yang bersekolah pada jenjang tertentu bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang seharusnya bersekolah pada usia tersebut.
“Kesulitannya adalah kadang-kadang koordinasi tidak jalan. Pusat inginnya apa, sementara di daerah menjalankan yang lain. Sehingga bukan kontrol, tapi tangan kita ke daerah kadang-kadang sangat terbatas,” ujar Kunta Wibawa Dasa Nugraha, Direktur Penyusunan APBN Direktorat Jenderal Anggaran (DJA).
Lebih jauh, Indra Charismiadji, pengamat pendidikan dari Center for Education Regulations & Development Analysis (CERDAS) menambahkan bahwa belum ada pemerintah daerah (Pemda) yang benar-benar berhasil mengelola dana pendidikan apabila dilihat dari Angka Partisipasi Murni (APM).
“Belum ada Pemda yang berhasil mengelola anggaran pendidikan. Angka Partisipasi Murni (APM) tidak meningkat,” jelasnya.
Selain itu, menurutnya, pendidikan di Indonesia belum punya cetak biru (blueprint) yang jelas sehingga anggaran banyak keluar tetapi hasilnya nihil.
“Kita enggak punya blueprint. Jadi, itulah yang membuat anggarannya bocor terus, keluar terus, tapi hasilnya enggak ada. Ini yang harus segera diperbaiki kalau memang mau,” tegas Indra.
Oleh karena itu, Kemenkeu meninjau penggunaan anggaran pendidikan yang telah dikucurkan ke daerah untuk melihat efektivitas dan efisiensi anggaran yang telah berjalan dengan Public Expenditure Review (PER). Berdasarkan review atau tinjauan PER tersebut, Pengguna Anggaran (PA), dalam hal ini Pemda, dapat diberikan rekomendasi perbaikan.
“Kita punya namanya PER (Public Expenditure Review), kita me-review seperti apa sebenarnya belanja di Pusat, berapa yang digunakan untuk operasional, berapa yang non-operasional, berapa yang digunakan untuk kegiatan utama dan pendukung, evaluasi semacam ini juga perlu dilakukan untuk anggaran yang dikelola oleh Pemda” kata Kunta.
Selain itu, angka pendidikan diwajibkan untuk dialokasikan oleh pemerintah daerah melalui mandatory spending. Mandatory spending adalah kewajiban alokasi belanja yang telah diatur oleh undang-undang, salah satunya memuat alokasi belanja pendidikan sebesar 20% dari APBD. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas SDM yang pada akhirnya dapat mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah. Jadi, pemerintah daerah (Pemda) wajib melakukan pemenuhan mandatory spending yang digunakan untuk pendidikan sesuai ketentuan yang berlaku. (kemenkeu)