Indovoices.com –Pandemi Covid-19 di Depok, Jawa Barat, masih jauh dari tanda-tanda mereda. Sebagaimana di wilayah-wilayah lainnya di Jabodetabek, Depok terus mengalami lonjakan pasien Covid-19 setiap hari.
Hingga Kamis (28/1/2021), masih ada 4.845 pasien Covid-19 di Depok yang harus menjalani isolasi maupun dirawat di rumah sakit.
Jumlah itu hanya terpaut 47 orang dari rekor tertinggi jumlah pasien Covid-19 yang pernah dicatat Depok selama pandemi.
Penularan Covid-19 yang tak terkendali membuat rumah sakit sebagai hilir penanganan pandemi ibarat kedatangan banjir bandang yang tak kunjung surut.
“Sebagaimana umumnya kondisi di rumah sakit saat ini. Tempat tidur isolasi maupun ICU (Intensive Care Unit) penuh,” ujar Amelia Martira, salah satu dokter yang saban hari bertugas menangani pasien Covid-19 di RSUD Kota Depok, kepada Kompas.com, Selasa lalu.
Amelia menuturkan, pasien-pasien yang terus berdatangan ke RSUD Kota Depok tetap diterima, tetapi harus mengantre sampai ada slot kamar kosong untuknya.
Hal itu terjadi karena antara jumlah pasien yang berdatangan dengan kamar yang tersedia tidak seimbang.
“Tentu saja (pelayanan) akan stagnan di IGD (Instalasi Gawat Darurat) hingga kamar isolasi atau ICU tersedia. Akibatnya, memang overcrowded terjadi di IGD,” ungkapnya.
IGD kini seperti disulap paksa menjadi ruang darurat bagi pasien Covid-19.
Terpaksa tolak pasien bergejala berat
Situasi yang digambarkan Amelia pun terjadi di RS Universitas Indonesia (RS UI). Pasien bisa menunggu di IGD berhari-hari.
Padahal, RS UI bersama RSUD Kota Depok merupakan salah dua rumah sakit di Depok dengan kapasitas penanganan Covid-19 mumpuni, meskipun di luar itu ada 20 rumah sakit swasta di Depok yang turut menerima rujukan pasien Covid-19
“Banyak pasien yang di IGD lebih dari satu hari karena belum dapat ruangan atau pasien itu belum dapat dirujuk ke RS lain,” kata Manajer Pengembangan Bisnis RS UI, Astrid Saraswaty, Kamis kemarin.
Untuk mengurangi antrean di IGD, rumah sakit akhirnya terpaksa menyeleksi pasien. Pasien yang bergejala ringan diarahkan agar ke klinik rawat jalan.
Namun, selebihnya, pasien terpaksa menunggu di IGD sembari menunggu ketersediaan ruang perawatan atau rujukan di RS lain.
“Walaupun belum dapat ruang, kami tetap berikan penanganan di IGD semaksimal mungkin. Misalnya pasien yang membutuhkan perawatan dengan ventilator, dirawat dengan ventilator di IGD,” ujar Astrid.
Akibat IGD yang membeludak, sebagian permintaan rujukan bahkan harus ditolak kendati pasien yang hendak dirujuk sudah bergejala sedang dan berat.
Apa mau dikata, keadaan memang jauh dari memungkinkan.
“Jika kondisi IGD masih penuh dan ruang rawat yang dibutuhkan pasien tidak tersedia, permintaan rujukan belum dapat kami terima,” kata Astrid.
“Setiap hari banyak permintaan rujukan pasien Covid-19 derajat sedang-berat dari RS lain, sehari bisa 20-30 permintaan,” sebutnya.
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang sudah berlangsung 2 pekan lebih pun, diakuinya, belum berdampak.
Jumlah pasien Covid-19 yang tak kunjung surut jadi salah satu bukti.
Suspect semakin banyak
Antrean di IGD RSUD Kota Depok seperti yang diceritakan Amelia sebenarnya sudah dilaporkan sejak akhir Desember lalu.
Saat itu, penularan Covid-19 mulai tak terkendali imbas libur panjang pada akhir Oktober 2020. Pada akhir tahun itu, jumlah pasien masih di kisaran 2.000-an, lebih dari separuh jumlah saat ini.
Imbas libur panjang Oktober yang belum tuntas malah semakin parah oleh libur panjang Tahun Baru 2021 yang membuat jumlah pasien Covid-19 melaju pesat.
Direktur RSUD Kota Depok Devi Maryori menyebutkan, upaya penambahan kapasitas rumah sakit bukannya tak dilakukan. Namun, kecepatan menambah kapasitas rumah sakit -yang harus berjalan paralel dengan mempersiapkan alat-alat, obat, hingga tenaga kesehatan-memang kalah jauh ketimbang penularan virus SARS-CoV-2 yang bertambah secara eksponensial.
“Pokoknya begitu (ruangan isolasi) ditambah, langsung habis tuh,” ujar Devi kepada Kompas.com, Rabu lalu.
Devi juga angkat bicara soal penumpukan pasien di IGD RSUD Kota Depok. Menurut dia, selain karena kapasitas ruang perawatan dan ICU Covid-19 yang makin tipis, para pasien yang datang juga banyak berstatus suspect.
Artinya, mereka dicurigai telah terinfeksi virus SARS-CoV-2 (yang menyebabkan penyakit infeksi pernapasan Covid-19) menilik gejala-gejala yang mereka derita, tetapi tanpa bukti tes PCR positif Covid-19.
“Dia datang ya kami swab (PCR) dulu. Gejalanya Covid-19 saat dia datang, seperti demam, batuk, hilang indra penciuman. Tapi karena dia datang tidak membawa hasil swab, jadi ya kami tumpuk lah di IGD, karena kami mau masukkan ke ruang mana, kami juga bingung,” ujar Devi.
Dalam beberapa kasus, pasien-pasien yang datang hanya berbekal surat keterangan hasil tes antigen yang bukan metode penegakan diagnosis.
Rumah sakit pun tetap harus melakukan tes PCR kepada pasien bersangkutan sebagai validasi, sebelum dapat memutuskan ruangan mana yang akan ditempati pasien itu.
“Kalau enggak kan campur-campur, lalu ternyata dia Covid-19,” kata Devi.
Ia menjelaskan, asal mencampur pasien adalah tindakan berbahaya sebab dapat membuat tenaga kesehatan tumbang karena tertular Covid-19. Jika ada perawat yang tumbang, maka kapasitas ruang isolasi pasien Covid-19 terpaksa dikurangi sebab 1 perawat menangani 7 pasien sekaligus.
Yang lebih mengkhawatirkan dari situasi yang sudah mencemaskan ini adalah bahwa kondisinya belum tiba di puncak pandemi. Grafik pandemi masih akan terus mendaki hingga ketinggian yang belum dapat dibayangkan.
Penularan secara besar-besaran masih terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hal itu tercermin dari tingkat positivitas yang masih di atas 20 persen. Di saat yang sama, eksekusi PPKM di lapangan masih jauh panggang dari api.
Jika tak ada intervensi serius di hulu penanganan pandemi, kolapsnya rumah sakit semakin nyata.
Sebagai dokter, Amelia hanya bisa berharap masyarakat disiplin melaksanakan protokol kesehatan.
“Bulan Juni-Juli 2020 itu kasus Jabodetabek sangat rendah. Saat itu, masyarakat disiplin menjaga, tidak berkerumun, mobilitas dan interaksi dibatasi, serta selalu menggunakan masker. Alangkah baiknya kita mengulang hal itu lagi,” ujar Amelia.
“Bosan, lelah, masalah ekonomi adalah masalah kita semua, termasuk dunia. Namun, kalau kita lelah bersabar sekarang, maka pandemi ini akan sangat panjang dan keterpurukan kita di kesehatan dan ekonomi semakin dalam. Kurangi interaksi dengan banyak orang, jangan jadikan diri kita sumber penular bagi keluarga dan kerabat lainnya,” kata dia.(msn)