Indovoices.com-Kemarin pagi istri saya menceritakan bahwa dia membaca komentar-komentar pembaca di facebook (fb) tentang ketidaksetujuan saya kepada anak-anak Balige yang digunting Satpol PP rambutnya. Dia bilang, ” aneh juga iya ada yang mendukung tindakan kesewenangwenangan itu”, kata boru Sihotang lulusan SMA 78 Jakarta dan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) itu.
Saya ngak tau bahwa istriku mengikuti percakapan itu. Setahu aku, dia jarang membaca fb karena sibuk pekerjaan kantor, anak-anak dan rumah kami.
Istriku yang aktif di Yayasan Sahabat Anak itu mengatakan, sebetulnya saya tidak heran. Itu merupakan potret kita. Kita belum beranjak dari cara cara lama yang sebetulnya sudah tidak relevan.
Saya menceritakan, waktu saya sekolah dikampung, ada guru yang menyuruh seorang siswa menulis buku bacaan di papan tulis. Siswa mengikuti menulis apa yang ditulis siswa yang disuruhnya. Saya pikir, hanya orang pintar yang meninggalkan peristiswa cara belajar konyol itu.
Siswa pintar protes dengan meninggalkan proses belajar dan pergi mencari kegiatan lain seperti nongkrong , main volly, main bola, dan yang lain. Artinya, anak yang bolos seperti itu kan anak pintar. Tidak mau dikibulin sama guru.
Masa siswa menuruti cara guru itu?. Kemana guru yang menyuruh menulis itu?. Ada yang pulang ke rumah memasak atau bercakap cakap dengan yang lain. Pokoknya, ada kegiatan lain. Gurunya bebas, tapi siswa dipaksa menulis apa yang ditulis dipapan tulis. Anak kalau meuruti disebut anak baik. Padahal, sejayltinya murid, kritis, bukan?. Murid minimal menyadari bahwa cara itu tidak benar.
Jika siswa yang bolos karena kegiatan membosankan di sekolah atau karena merasa dikibuli sama guru, apakah layak “digunduli” sama pamong praja?. Karena itulah, siswa yang bolos ditelusuri apa penyebabnya. Apa sesungguhnya penyebab anak bolos?.
Istri saya dulu tak sempat bolos, karena waktunya habis belajar matematika, fisika, Biologi dan lain sebagainya. Cita-citanya masuk ITB. Dia masuk teknik UI. Mengapa habis waktunya belajar?. Di SMA 78 Jakarta gurunya mampu merangsang siswa penasaran dengan mata pelajaran.
Kemarin pagi juga saya cerita kesal dengan sebuah sekolah. Sekolah itu mengirim peserta Kompetisi Sains Nasiinal (KSN) berdasarkan juara kelas tanpa seleksi. KSN itu kan Sains IPA dan Matematika. Tidak ada jaminan juara 1 jago matematika. Juara 1 itu kan. Akumulasi nilai. Nilai Olah Raga, Seni Budaya dan lain sebagainya.
Saya ingat ibu Roselly Simanjuntak di YBS Tobasa tahun lalu. Sekolah YBS kesulitan mengirim utusan Matematika. YBS berulangkali menguji, karena kemampuan siswanya sangat tipis. Kemampuan matematikanya hampir sama.
Trainer Matematika yang sangat berpengalaman dibidang Matematika telah memberi rekomendasi. Tetapi, pertimbangan nilai, nama yang direkomendasi kalah. Trainer mengatakan, peserta kompetisi tidak hanya kemampuan mengerjakan soal, tetapi mentalitas dan daya juang. Ibu Roselly Simanjuntak wajar saja siswa siswanya berprestasi di semua bidang, karena sangat serius mengelola pendidikan.
Mengapa guru langsung berdasarkan juara kelas?. Saya melihat guru tidak mau lelah. Pragmatis saja. Padahal, kunci sukses ada di daya juang. Saya pastikan, sekokah yang saya maksud akan gagal. Karena, saya tau disekolah itu ada siswa yang kemampuan matematikanya luar biasa. Karena gurunya pragmatis, siswa yang tepat tidak terjaring.
Esensi pokok yang hendak saya sampaikan adalah jika sekolah menarik kita kelola, siswa betah di sekolah. Jikalauoun ada yang bolos, pendekatannya adalah hubungan batin. Itulah makna pendidikan yang sebenarnya.
Kita rangsang mereka untuk kreatif dan disiplin. Dibiasakan siswa bertanggung jawab. Dan, semua proses itu siswa harus menikmati. Buatlah matematika asyik, buatlah fisika itu gampang, buatlah IPS itu menarik. Dengan demikian, siswa siswa bergembira dan nyaman. Sekolah bukan penghakiman, tetapi tempat untuk mendidik. Dan, jangan lupa bahwa semua proses itu harus menarik, asyik, menyenangkan dan menggairahkan.
#gurmanpunyacerita