Sejarah plin plannya Partai Amanat Nasional (PAN) bisa ditelusuri hingga ke pilpres 2014 yang lalu. Sama seperti saat ini, PAN ketika itu juga mendukung Prabowo-Hatta Rajasa dan berada di koalisi Merah Putih (KMP). Setelah kemenangan Jokowi-JK, sinyalemen dukungan PAN kepada pemerintahan Jokowi-JK pun muncul dan semakin menguat saat beredar isu perombakan kabinet pemerintahan Jokowi-JK muncul.
Akhirnya pada tanggal 2 September 2015, Partai Amanat Nasional (PAN) secara resmi menyatakan mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Saat itu pengakuan dari Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mengatakan dukungan pihaknya pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak dilatari kepentingan untuk mendapatkan jabatan kursi menteri di pemerintahan.
Faktanya di kemudian hari PAN memperoleh satu kursi menteri di kabinet, yakni Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang diisi oleh salah satu kader PAN, Asman Abnur.
Walau mengaku mendukung pemerintahan Jokowi, namun tindakannya justru sering berseberangan dengan pemerintah. Salah satu adalah saat PAN bersama tiga partai non-pemerintah, yakni Gerindra, Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memilih keluar ruang rapat paripurna atau walkout saat pengambilan keputusan UU Pemilu di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis 20 Juli 2017 malam.
PAN lagi-lagi menunjukkan sikap berseberangan menolak Perppu Nomor 2/2017 tentang Ormas menjadi undang-undang pada saat rapat Komisi II DPR, 23 Oktober 2017.
Puncaknya adalah kritikan yang dilancarkan oleh Zulkifli Hasan pada Sidang Tahunan MPR RI tanggal 16 Agustus 2018 yang lalu. Zulkifli Hasan yang merupakan Ketua MPR RI dan Ketua Umum DPP PAN dengan tidak tahu diri mengkritisi Pemerintahan Jokowi soal hutang negara dan harga bahan pokok. Kecaman pun datang dari berbahai pihak yang menilai kritik yang disampaikan oleh Zulkifli Hasan tidak pada tempat dan forum yang tepat.
Itu masih belum termasuk nyinyiran dari Ketua Dewan Pertimbangan DPP PAN, Amien Rais yang kita tahu sangat kasar dan tidak beradab. Mulai dari menuding kemenangan Jokowi di Pilpres 2014 terjadi karena kampanyenya didanai pengembang, Amien Rais pernah mengatakan Jokowi sebagai sumber nestapa di Indonesia.
Dirinya juga pernah menuding Jokowi ngibul terkait pembagian sertifikat tanah, kejadian yang sempat memancing kemarahan Luhut Binsar Panjaitan. Menuding pemerintah saat ini membangkitkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan Amien menghina Jokowi dengan menyebutkan akan menjadikan Jokowi bebek lumpuh.
Padahal orang yang dihina, difitnah dan dicaci maki ini tidak pernah sekalipun membalas. Alih-alih melayani kenyinyiran si Amien, Jokowi lebih memilih bekerja.
Dan sekarang, setelah pilpres 2019 selesai. Jokowi yang lagi-lagi keluar sebagai pemenang dan tinggal menunggu pengumuman resmi dari KPU, pun mendadak didatangi oleh Zulkifli Hasan.
Kejadian tahun 2014 seakan terulang kembali. Walau tidak disebutkan secara gamblang tentang isi pembicaraan tersebut, namun indikasi bahwa PAN akan kembali merapat ke petahana pasca pilpres pun menguat. Hal ini juga terlihat dari pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Bara Hasibuan yang mengatakan, partainya akan menentukan arah dukungan pasca Pemilu 2019.
Saya sih hanya berharap Jokowi akan ingat bagaimana kelakuan PAN selama ini, baik kelakuan ketua umumnya, Zulkifli Hasan, maupun kelakuan Amien Rais. Tidaklah layak bila Jokowi menerima kembali partai oportunis yang bermuka dua. Mendekat saat ada maksud tersembunyi dan menginginkan jabatan, namun tidak ragu menyerang dari dalam setelah diterima menjadi bagian dari koalisi.
Apalagi di tahun 2018, saat PAN belum memutuskan akan mendukung Jokowi atau Prabowo. Amien Rais sendiri pernah mengatakan Zulkifli Hasan selama ini hanyalah bersandiwara belaka dengan bermanuver seolah membuka peluang bagi kubu Jokowi (untuk berkoalisi). Dan Zulkifli tak membantah dirinya disebut bersandiwara. Dia hanya mengatakan dirinya memiliki cara berbeda dengan Amien.
Jadi buat apalagi diterima? Toh dapat dikatakan PAN sama sekali tidak memiliki kontribusi atas kemenangan Jokowi, baik di pilpres 2014 yang lalu maupun di pilpres 2019 yang sekarang ini. Bila di tahun 2014, Koalisi Indonesia Kerja jilid I membutuhkan dukungan kursi koalisi untuk memperkuat pengaruhnya di legislatif. Maka Koalisi Indonesia Kerja jilid II di tahun 2019 ini sudah memiliki suara yang cukup kuat dan menjadi mayoritas di parlemen. Sehingga dengan ada atau tidaknya PAN, tidak akan berpengaruh apa-apa lagi. Bagaimana menurut Anda?