Indovoices.com –Pemerintah optimistis, Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang baru diundangkan dapat menjadi solusi dalam mengantisipasi bonus demografi yang dialami Indonesia pada 2020 sampai 2030. Melalui UU Cipta Kerja, penduduk usia produktif akan lebih banyak terserap lapangan kerja secara optimal.
Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) I Dewa Gede Karma Wisana mengatakan, keberadaan UU Cipta Kerja dinilai mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan dunia kerja yang semakin kompetitif.
“UU Cipta Kerja baru di launching, belum akan berdampak tahun ini secara signifikan. Tapi dari sisi ide, konsep, dan semangatnya ingin membuka ruang penyerapan tenaga kerja yang lebih optimal atau lebih besar. Intinya, UU ini memberikan ruang kepada industri untuk merekrut tenaga kerja yang lebih banyak,” kata I Dewa Gede Karma Wisana dalam keterangannya, Selasa (10/11).
Menurutnya, ada beberapa mekanisme untuk menyerap tenaga kerja yang lebih optimal. Pertama, ada beberapa klaster yang dibahas secara simultan di UU Cipta Kerja sehingga beberapa aspek dalam pembukaan unit usaha, investasi, peluang bisnis yang dibangun menjadi lebih jelas dan lebih sinergis.
Selain itu, dalam UU tersebut juga merevisi soal aturan perizinan usaha, aturan ketenagakerjaan, aturan permodalan investasi, aturan lingkungan meskipun masih ada perdebatan.
“Jadi UU Ini mengatur beberapa aspek secara simultan,” kata Doktor Ilmu Ekonomi dari Australian National University, Australia, tersebut.
Khusus di ketenagakerjaan, lanjut dia, ada beberapa aspek yang selama ini dianggap menjadi biaya bagi industri, perusahaan, dan investor juga diatur ulang. Misalnya, soal pesangon tenaga kerja yang pengalinya diturunkan. Namun, aturan tersebut akan berlaku bagi pekerja yang sudah lama bekerja.
Selama itu, industri selalu mengeluhkan tingginya membayar pesangon pekerja lama apabila ingin meregenerasi dengan pekerja baru dan muda.
Ke depannya, ada ruang untuk meningkatkan proteksi atau perlindungan ke pekerja tidak hanya menjadi ranah pemerintah ataupun ranah industri lewat Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
“Saya sulit merekrut karena pertama mahal, upah minimum dan tunjangan-tunjangan yang lain, plus ada pekerja-pekerja yang tidak produktif tapi kalau saya berhentikan saya harus mengasih pesangon yang cukup besar. Itu sangat memberatkan industri,” terangnya.
Dia juga menyoroti pasal-pasal UU Cipta Kerja yang jarang dibahas. Dia mencontohkan dalam UU tenaga kerja lama tidak disebutkan tentang kontrak bagi pekerja outsourcing.
“Kalau di UU yang sekarang, pekerja outsourcing harus memiliki kontrak dan dinyatakan jelas apakah PKWT atau PKWTT. Jadi semangat perlindungan ke pekerja khususnya tenaga outsourcing menjadi perhatian di UU Cipta kerja,” kata dia.
Saat ini, yang perlu dipastikan dalam UU Cipta Kerja ada dua hal, pertama dari sisi legal atau prosedur hukumnya, yaitu peraturan pemerintah yang mendukung UU tersebut.
Kedua, dari sisi pekerjanya perlu disiapkan dan dipastikan bahwa tenaga kerjanya mendapatkan asupan skill, disediakan ruang-ruang tempat pendidikan, pelatihan, dan akses untuk meningkatkan keterampilan agar mampu diserap oleh industri.
“Lewat UU Cipta Kerja, Industri akan menyerap tenaga kerja lebih banyak. tapi tenaga kerjanya tidak serta merta, tapi tenaga kerjanya harus siap memastikan bahwa tenaga kerja kita terlatih, bisa dilatih, mau dilatih, punya tepat pelatihan dan dilatih dengan baik untuk masuk ke pasar kerja atau industri kerja,” pungkasnya.(msn)