Indovoices.com –Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Iwan Ariawan mengungkapkan, dari sejumlah analisis ada masyarakat yang tetap melakukan mudik meski telah dilarang pemerintah.
Sebagai informasi, larangan mudik dan arus balik berlaku selama 24 April-7 Juni 2020 sebagai upaya mencegah penyebaran Covid-19.
“Ternyata kalau dilihat dari big data, ada mudik itu, ada perpindahan penduduk keluar Jabodetabek, kemudian di awal Juni balik lagi,” ujar Iwan dalam sebuah diskusi.
Iwan bercerita, awalnya, ia dan rekan-rekannya diminta oleh Bappenas dan Kantor Staf Presiden (KSP) untuk membantu pemerintah di awal pandemi Covid-19 di Indonesia.
Namun, pengajar di bidang pemodelan statistik, desain dan analisis survei, serta manajemen data dengan komputer tersebut tak merinci waktunya.
Iwan dan rekan-rekannya kemudian membuat model untuk meyakinkan pemerintah bahwa Covid-19 akan menjadi epidemi apabila tidak ada tindakan yang diambil.
Setelah itu, tuturnya, pemerintah akhirnya bertindak dengan penerapan pembatasan sosial yang kemudian menjadi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Namun, tak ada mekanisme pemantauan PSBB tersebut.
Iwan dan rekan-rekannya kemudian mendapat bantuan dari Google dan Facebook.
“Itu ternyata mereka mau untuk share data pergerakan orang. Jadi pengguna Android dan pengguna Facebook. Tentu namanya enggak ada, cuman share pergerakannya saja,” tuturnya.
Meskipun terbatas, data tersebut dinilai cukup untuk melihat bagaimana masyarakat patuh dengan PSBB.
Data dinilainya cukup mengingat banyak pengguna gawai di Indonesia dan kebanyakan adalah Android.
Warga Jakarta, kata Iwan, memiliki tingkat kepatuhan paling baik. Kemudian, yang tergolong baik misalnya di Jawa Barat.
Di daerah yang tidak menerapkan PSBB pun, warganya disebutkan tetap berada di rumah.
“80 persen kabupaten di Indonesia itu pergerakan orangnya berkurang, jadi artinya lumayan nurut,” ujarnya.
Mereka lalu menganalisis dari segi manfaat penerapan PSBB tersebut.
Ia mengatakan, pihaknya membandingkan data orang yang tinggal rumah saja dengan kasus harian untuk wilayah Jakarta.
Untuk itu, pihaknya meminta data pasien kepada Pemprov DKI Jakarta agar dapat melihat kurva epidemiologi yang sebenarnya.
Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah kasus Covid-19 di Jakarta menurun seiring dengan 60 persen warganya berada di rumah. Sayangnya, hal itu tak bertahan lama.
“Begitu 60 persen penduduk Jakarta tidak bergerak, di rumah saja, kasusnya turun,” ujar dia.
“Tapi sayangnya ini enggak bertahan. Menjelang bulan puasa, penduduk sudah bergerak Lagi. Mendekati Lebaran penduduk makin banyak bergeraknya,” sambung Iwan.(msn)