Airlangga Salah Memaknai Ucapan Jokowi Tentang Pacul
Presiden Joko Widodo merasa jengkel dan geram dengan pengadaan cangkul oleh kementerian/lembaga yang ternyata merupakan produk impor. Dirinya menyebut hal itu keterlaluan di tengah upaya mati-matian pemerintah mengatasi defisit neraca dagang saat ini.
“Neraca perdagangan kita defisit, tapi kita hobi impor, kebangetan banget. Uangnya milik pemerintah lagi, kebangetan kalau itu masih diterus-teruskan kebangetan,” keluhnya saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Jakarta Convention Center, Senyan, Kemarin 6 November 2019.
Kejengkelan yang wajar menurut saya, pasalnya cangkul merupakan peralatan pertanian yang sangat sederhana. Bahannya pun cuma kayu sebagai gagang dan besi sebagai mata cangkulnya. Seharusnya produk tersebut bisa diproduksi di dalam negeri. Apalagi mengingat kebutuhan cangkul dalam negeri juga cukup tinggi, baik untuk kebutuhan konstruksi hingga sektor pertanian.
Nah menariknya, saya membaca pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto yang mengungkapkan bila industri dalam negeri bisa memproduksi pacul sesuai kebutuhan yang ada. Salah satu yang mampu memproduksi pacul adalah BUMN, Barata.
“Cangkul itu urusan teknis. Kalau industri dalam negeri kan secara teknis bisa memproduksi, dan itu tentunya bagian yang diperlukan adalah seperti yang disampaikan Pek Presiden, Kementerian yang bisa menyerap cangkul, kalau urusan produksi Barata bisa produksi,” jelas Airlangga di kantornya, Jakarta, Kamis 7 November 2019.
Di sinilah saya tidak setuju, kenapa harus diserahkan ke BUMN? Akan lebih cocok bila Airlangga menggandeng Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal.
Apalagi mengingat salah satu tugas Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi adalah pemberdayaan masyarakat desa.
Dengan menggandeng Kemendes PDTT, selain dapat menyerap tenaga kerja, juga dapat memberdayakan potensi desa agar dapat menjadi desa yang mandiri, tidak tergantung pada dana desa semata.
Di Indonesia sendiri, banyak kita temukan desa-desa yang sebenarnya memiliki potensi besar, namun karena ketiadaan peran pemerintah baik sebagai pemberdaya maupun sebagai fasilitator untuk memasarkan produk dari desa, potensi tersebut menjadi sia-sia.
Sebagai contoh, banyak pengrajin pisau dan alat-alat pertanian di Desa Koripan, Kecamatan Polanharjo Klaten terancam gulung tikar. Dari sekitar 500 pengrajin, kini tinggal sekitar 40 pengrajin yang masih bertahan, itu pun dalam keadaan terpuruk.
Salah satu penyebabnya adalah membanjirnya produk-produk pertanian impor termasuk pacul seperti yang dikeluhkan oleh Jokowi.
Contoh lainnya adalah kisah tentang Mukhorobin (58) yang merupakan generasi terakhir pandai besi di Kampung Pandean Kaliwungu Kendal Jawa Tengah.
Warga Kranggan, Desa Krajan Kulon Kaliwungu ini mengaku kalau pandai besi di Pandean tinggal dirinya. Padahal dulu, sebelum tahun 2000, hampir semua penduduk Pandean, bermata pencaharian sebagai pande yang membuat atau memperbaiki arit, parang, atau pacul.
Kalau saja Kemendes PDTT jeli, punya inisiatif dan memiliki kepedulian untuk memberdayakan potensi desa yang ada, mungkin saja hal ini tidak akan terjadi.
Tentu Kemendes PDTT tidak bisa bekerja sendiri. Dirinya harus menggandeng Kementerian Koperasi dan UKM untuk permodalan dan pelatihan. Kemendes juga harus menggandeng Kemendag agar produk-produk yang dihasilkan dapat dipasarkan, tidak hanya di dalam negeri namun juga ke mancanegara. Sementara Kemendes menyediakan bibit tenaga kerja serta mendata potensi tiap-tiap desa yang dapat dikembangkan.
Bila ketiga kementerian ini mampu menanggalkan ego sektoral, bersinergi dengan baik dan bukan jalan sendiri-sendiri seperti yang terkesan selama ini. Bisa jadi produk-produk yang dihasilkan desa-desa di Indonesia, tidak saja mampu mencukupi pemakaian di dalam negeri, namun juga dapat diekspor dan mendatangkan devisa bagi negara.
Sementara bagi desa itu sendiri juga banyak manfaat yang dapat dipetik. Desa yang awalnya harus selalu mengandalkan dana desa, akan menjadi desa mandiri karena ekonominya tumbuh, kesejahteraan masyarakat meningkat, tingkat pengangguran juga rendah. Akan lahir desa pacul, desa cangkul, melengkapi desa batik maupun desa anyaman bambu yang telah lebih dahulu maju dan mandiri seperti yang ada selama ini.
Akan berbeda bila seperti yang diinginkan oleh Airlangga, yakni dengan menyerahkan produksi alat pertanian sederhana itu ke BUMN. Selain mubajir juga terlihat konyol. Harusnya perusahaan besar sekelas BUMN itu memproduksi alat-alat pertanian yang tidak mampu dibuat oleh masyarakat karena keterbatasan peralatan atau tingkat kerumitan yang tinggi. Seperti misalnya membuat traktor pertanian dan sejenisnya.
Untuk membaca tulisan saya lainnya, silahkan klik di sini