Indovoices.com-Penunjukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina pada November 2019 seolah menjadi uji pengenalan produk baru. Kalau respons pasar bagus segera diluncurkan; kalau tidak, batalkan. Mujurnya waktu itu pasar merespons positif. Reaksi-reaksi penolakan tetap ada, tetapi segelintir saja.
Sekarang sang mantan gubernur DKI Jakarta itu diperkenalkan sebagai kandidat kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara yang baru yang dicanangkan akan dibangun di Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Jabatan itu semacam chief executive officer (CEO) di perusahaan, tetapi pejabatnya ditunjuk dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Ahok bukan kandidat tunggal, melainkan ada tiga calon lain: Bambang Brodjonegoro (Menteri Riset dan Teknologi), Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), dan Tumiyana (Direktur Utama PT Wijaya Karya). Waktu Presiden Joko Widodo mengumumkan nama keempat kandidat itu, 3 Maret, Kepala Negara menyebut nama Ahok setelah Bambang Brodjonegoro, lalu Tumiyana dan Abdullah Azwar Anas. Entah maksudnya urutan prioritas atau penyebutan acak belaka.
Kira-kira sama situasinya ketika Jokowi, dibantu Menteri BUMN Erick Thohir, mula-mula mewacanakan untuk menunjuk Ahok menangani sejumlah perusahaan negara yang kemudian mengerucut ke Pertamina. Ada yang menentang, memang, tetapi yang setuju lebih banyak. Sekarang pun begitu. Yang mengkritik tentu ada. Tetapi yang berkeberatan paling cuma satu-dua.
Setingkat menteri
Badan otorita itu dirancang setingkat kementerian yang berarti pejabatnya setara menteri dan karena itu diatur dengan Peraturan Presiden. Badan Otorita akan dilengkapi dengan struktur dewan pengarah, yang berperan sebagai auditor internal atau semacam pengawas.
Jokowi menginginkan, sebagaimana disampaikan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Badan Otorita tidak sekadar memindahkan pusat pemerintahan negara ke lokasi baru, tetapi harus terjadi transformasi secara menyeluruh. Karena alasan itulah Badan Otorita punya tugas besar yang meliputi mempersiapkan, membangun hingga memproses pemindahan ibu kota dari Jakarta ke tempat baru. Badan itu juga kelak berwenang penuh mengelola tanah, lahan, dan pembangunan yang terpusat secara administratif.
Pada awal pembentukannya, Badan Otorita akan lebih banyak mengerjakan hal-hal teknis seperti penyusunan struktur dan desain komponen kota, termasuk memastikan ketersediaan sarana dan prasarana dasar. Dalam jangka panjang, tugasnya menjadi pengelola aset pemerintah yang masih di Jakarta.
Tetapi, yang disorot sekarang bukan perintilan tugas-tugas bakal lembaga baru itu melainkan siapa yang akan memimpinnya. Bambang Brodjonegoro disebut calon kuat. Namun, peluang Ahok tidak kecil juga. Dua kandidat lain, Tumiyana dan Azwar Anas, juga berpeluang meski tak sebesar nama-nama yang disebut pertama.
Seperti halnya penunjukan menteri yang menjadi hak prerogatif Presiden, kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara menjadi kewenangan penuh Jokowi. Artinya, Jokowi mau memilih siapa pun, termasuk Ahok, tidak ada yang berhak mempersoalkannya. Namun, kemunculan nama Ahok untuk kesekian kali dalam ranah jabatan-jabatan publik dianggap oleh sebagian kalangan sebagai isyarat kuat bahwa Jokowi tak akan menyia-nyiakan Ahok.
Kritikus Jokowi yang paling vokal, politikus Partai Gerindra Fadli Zon, sampai-sampai menyebut, “Jokowi memang percaya dan sayang pada Ahok.”
Kritikus lainnya, Ketua Persaudaraan Alumni 212, Slamet Maarif, berkomentar sinis atas hubungan antara Jokowi dengan Ahok. “Terbukti Jokowi dan Ahok tak bisa dipisahkan.” Dia bahkan menengarai ada semacam kesepakatan di antara Jokowi dengan Ahok bahwa mereka harus saling menjaga, sejak keduanya menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada 2012-2014.
Politikus Partai Demokrat, Roy Suryo, mengungkit masa lalu Ahok yang pernah dipenjara karena kasus penistaan agama dan indikasi korupsi, meski belum terbukti, saat memimpin Ibu Kota. “Malah ditunjuk jadi PimPro [pimpinan proyek] Ibukota Baru? AMBYAR,” tulisnya dalam akun Twitter-nya, @KRMTRoySuryo2.
Politikus Partai Demokrat yang lain, Ferdinand Hutahaean, mendukung Ahok sebagai kepala Badan Otorita karena dia mengggap figur Ahok yang keras cocok untuk memimpin ibu kota baru. Dia bahkan meminta Jokowi segera menunjuk Ahok. Ahok, katanya, merupakan sosok yang tepat karena proyek ibu kota baru mesti mengurusi anggaran dengan jumlah besar mencapai ratusan triliun rupiah.
Calon gubernur
Kelompok oposisi nonpartai politik, Koordinator Bela Islam (Korlabi), mengkritik lebih tajam pemunculan nama Ahok sebagai salah satu kandidat pemimpin Badan Otorita. Mengatasnamakan Mujahid 212, mereka mencurigai penominasian Ahok sebetulnya bukan untuk sekadar memimpin Badan Otorita, melainkan target antara untuk menjadikan Ahok sebagai kepala daerah ibu kota baru kelak. Mungkin namanya juga gubernur.
Novel Bamukmin selaku Sekretaris Korlabi menyatakan dengan tegas, dalam keterangan persnya, “… apabila DPR RI menyetujui kepindahan ibu kota negara ini, dan sebagai calon kepala daerahnya adalah Ahok, maka kami katakan, kami menolak keras Ahok.” Alasannya serupa yang diungkit Roy Suryo.
Karena alasan itu pula, Bamukmin menganggap Ahok bermasalah dalam hal kepercayaan publik. Masalah itu sangat penting dan vital karena menyangkut pengelolaan anggaran pembangunan ibu kota baru beserta seluruh asetnya. “Sementara Ahok jelas pribadi yang rawan,” tulisnya, “karena faktor [masalah] trust (kepercayaan) yang banyak melilit dirinya.”
Bamukmin menekankan lagi masa lalu Ahok sebagai orang yang pernah dipenjara karena menistakan agama dan karenanya kini berstatus sebagai mantan narapidana. “Dirinya berstatus eks napi, karena fakta hukum Ahok dulu menistakan Alquran, kitab suci umat muslim, umat mayoritas negeri ini, dengan modus ‘menghina’ Surat Al-Maidah ayat 51.”
Jika prediksi Bamukmin itu benar, Ahok bakal sekalian dijadikan kepala daerah ibu kota baru kelak, karier politik Ahok benar-benar belum tamat. Dia boleh terjungkal di DKI Jakarta, tetapi akan bangkit lagi di Kalimantan Timur. (msn)