Dalam bisnis layanan jasa, modal utamanya adalah kepercayaan publik. Anggap saja publik sama rata tidak terkotak kotak antara Cebong dan Kampret maka usia bisnis kepercayaan niscaya langgeng. Namun ketika CEO Bukalapak yang nota bene kader Parpol tertentu kemudian ikut berpolitik maka yang terjadi dia sudah melegitimasi konsumennya untuk “habitat” tersendiri. Celakanya itu dinyatakan saat bisnis sedang berada di puncak. Entah sedang berpihak kepada siapa namun yang pasti dia sedang tidak suka pada seseorang
Kasus Bukapalak yang viral semalaman bukan tentang bisnis bernilai 14 Trilyun, bukan pula karya anak bangsa yang menginspirasi tetapi persoalan etika. Kesombongan yang tercermin dalam postingan tidak bisa dikatakan sebuah ketidak sengajaan. Arogansi kalimat “omong kosong” dan harapan lahirnya Presiden baru sontak membuka perseteruan baru sesama anggota lapak. Data tidak valid 2016 dipakai untuk memojokkan Pemerintah yang nota bene adalah partner kebijakan bisnis startup. Pemerintah Jokowi tidak pernah mencampuri urusan kampret dan cebong sepanjang itu kreatif dan potensial senantiasa support penuh.
Sang Founder kreatif kini sedang menggali kuburnya sendiri. Membakar sampah di pagi hari saat suasana perkampungannya sedang harmonis jelas ada yang merasa terganggu. Hampir mirip dengan kasus Ahok yang tidak sengaja keseleo lidah, CEO Bukalapak melakukan blunder yang sama. Bedanya para pendemo tidak perlu repot repot 7 juta orang turun ke jalan, cukup sepakat Uninstall dan memblokir aplikasi dari layar gadget masing masing, maka gejala kejatuhan signifikan sedang berjalan. Bagi pebisnis jasa hukuman sosial anti Bukalapak kadang lebih kejam daripada vonis penjara 2 tahun.
Yang menariknya lagi kita bisa melihat potensi kekuatan cebong milenia sebenarnya di dunia on line. Mereka kompak sepakat “memblokade” bisnis jasa tersebut dengan alasan yang sama yaitu “kesombongan yang dibalut politik” itu berbahaya. Klarifikasi dan permohonan maaf CEO dianggap retorika belaka. Di sisi lain kekuatan politik di belakangnya nyaris tidak ada yang berusaha membela. Jama’ah Kampret yang biasanya riuh mendadak diam kalaupun ada sudah bisa ditebak arahnya. Kalau tidak “Kriminalisasi pebisnis” paling ya “pelecehan lapak”
Menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa usaha Bisnis yang dicampur politik itu pasti kotor. Kepercayaan publik itu harganya lebih dari 14 Trilyun. Masih ingat seorang motivator kelas wahid yang mendadak jatuh gegara egonya sendiri? Mario Teguh rubuh tak berbekas entah di mana kini berada. Akankah CEO Bukalapak senasib dengan sang “Golden Ways”? Karena sudah masuk ranah politik maka jawabannya setelah Pemilu 17 April nanti.
Karena nila setitik rusaklah susu sebelahnya… (eh salah) susu sebelanga. Kata pepatah tak pernah salah, kita yang salah (ketik)