Indovoices.com –Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri akhirnya menangkap Djoko Tjandra yang sudah buron selama 11 tahun pada Kamis kemarin, 30 Juli 2020. Hari ini, Sabtu, 1 Agustus 2020, Djoko Tjandra sudah resmi menjadi tahanan Rutan Salemba cabang Bareskrim.
“Jika telah selesai, Bareskrim Polri akan kembali menyerahkan kepada Kepala Rutan Salemba untuk menempatkan Djoko Tjandra sesuai dengan kebijakan,” kata Kepala Divisi Humas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Argo Yuwono di hari yang sama.
Djoko Tjandra alias Joker adalah terpidana dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar. Lalu seperti apa kasusnya? Berikut penjelasannya.
Bermula dari 1998
Kasus ini bermula pada tahun 1998 di tengah hiruk pikuk reformasi. Kala itu, Bank Bali tak dapat menagih piutang ke Bank Dagang Nasional Indonesia milik Sjamsul Nursalim dan Bank Umum Nasional milik Bob Hasan. Masing-masing Rp 508 miliar dan Rp 200 miliar.
Kedua bank tersebut menjadi “pasien” Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tapi lembaga ini tak pernah menghiraukan tagihan. Sebab, merujuk pada Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah, Bank Bali telat mendaftarkan piutang tersebut.
Setelah 76 kali menagih tanpa hasil sepanjang Februari hingga Desember 1998, Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli menguasakan tagihan kepada PT Era Giat Prima, dengan komisi separuh nilai tagihan. Djoko tak lain adalah direktur perusahaan ini. Direktur Utamanya adalah Setya Novanto, terpidana kasus korupsi e-KTP.
Februari 1999
Pencairan piutang ternyata melibatkan sejumlah pejabat. Pada 11 Februari 1999, Ketua Dewan Pertimbangan Agung Arnold Baramuli, Menteri BUMN Tanri Abeng, Gubernur BI Syahril Sabirin, dan pimpinan Bank Bali bertemu di Hotel Mulia Jakarta. Sebagian besar membantah adanya pertemuan ini.
Akan tetapi, hasil pertemuan inilah yang diduga berbuntut pada perubahan petunjuk dari Menteri Keuangan. Sehingga, uang Rp 904 mengalir dari Bank Indonesia ke rekening Bank Bali, sebesar Rp 358 miliar, dan Era Giat, Rp 546 miliar. Belakangan juga terkuak pengalihan tagihan itu hanya akal-akalan untuk mengail komisi.
September 1999
Singkat cerita, Djoko Tjandra pun ikut jadi tersangka dan terdakwa. Pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Djoko Tjandra. Namun hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana, melainkan perdata.
Juni 2001
Kejaksaan Agung lalu mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas vonis bebas Djoko Tjandra. Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Kejaksaan dan membebaskan Djoko Tjandra dari semua tuduhan korupsi.
Oktober 2008
Oktober 2008, Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap kasus Djoko Tjandra ke MA. Pada 11 Juni 2009, Majelis Peninjauan Kembali MA menerima PK yang diajukan jaksa.
Majelis hakim memvonis Djoko Tjandra 2 tahun penjara dan harus membayar Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sebesar Rp 546,166 miliar dirampas untuk negara. Imigrasi juga mencekal Djoko Tjandra yang sudah berstatus terpidana.
10 Juni 2009
Sehari sebelum putusan MA terbit, Djoko Tjandra telah kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini. Kejaksaan lalu menetapkan Djoko Tjandra sebagai buronan. Setelah 11 tahun berlalu, tiba-tiba Djoko Tjandra diketahui kembali masuk ke Indonesia untuk mendaftarkan PK ke PN Jakarta Selatan.
29 Juli 2020
Pada Rabu lalu, 29 Juli 2020, permohonan PK dari Djoko Tjandra tidak diterima oleh PN Jakarta Selatan. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md, permohonan PK tidak diterima karena berkas administrasi tidak lengkap, bukan berarti ditolak.
Sehingga, kata Mahfud, bisa saja Djoko mengajukan PK kembali. Namun jika sampai diajukan PK lagi, maka Djoko Tjandra sudah menjadi urusan lembaga yudikatif yaitu MA. Menurut dia, tugas pemerintah hanya sampai menghadirkan terpidana yaitu Djoko Tjandra dan akan terpenuhi dengan tertangkapnya buronan ini di Malaysia.(msn)