Indovoices.com –Belasan Warga Negara Indonesia (WNI) di kapal ikan berbendera China Long Xing 629 mengalami perbudakan. Bahkan perbudakan itu diduga berujung kematian empat anak buah kapal (ABK) WNI. Tiga di antaranya dilarung ke laut.
Peristiwa itu mengejutkan banyak pihak. Sebab, perlindungan terhadap WNI, dalam hal ini yang menjadi ABK di kapal asing, dinilai masih rendah.
Pemerintah pun menjadi sorotan lantaran dinilai harus melakukan terobosan terhadap para WNI yang berada di luar negeri.
Hal itu pula yang kemudian mendasari Indonesia Ocean Justice Initiative menggelar diskusi bertajuk ‘Perlindungan ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing’ yang diselenggarakan secara daring.
Acara ini menghadirkan Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani sebagai Keynote Speaker dengan host CEO Indonesia Ocean Justice Initiative, Mas Achmad Santosa.
Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber. Termasuk perwakilan dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan, hingga Kementerian Luar Negeri.
Selain itu, hadir pula Chairman and Founder The Foundation for International Human Right Reporting Standards, Marzuki Darusman; Direktur Indonesia Ocean Justice Initiative, Fadilla Octaviani; Co Founder DNT Lawyer sekaligus Kuasa Hukum ABK Kapal Long Xing 629, Pahrur Dalimunthe; serta Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia, Hariyanto.
Kesimpulan dari diskusi itu, ada enam permasalahan pada tata kelola penempatan dan perlindungan ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing, yakni:
(1). Adanya kewenangan yang tumpang tindih (overlapping) dan saling bersilangan (crosscutting). Hal itu menyebabkan ketidakjelasan pemegang peran utama untuk pengendalian penempatan ABK Indonesia dan pelaksanaan pemantauan dan pengawasan.
(2). Tidak ada database terpadu sebagai sumber data yang terpercaya (reliable) sebagai dasar pengawasan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak dasar ABK dan mempercepat penanganan apabila telah terjadi pelanggaran.
(3). Fungsi kontrol dan pengawasan masih perlu ditingkatkan dan belum terintegrasi sehingga mendorong terjadinya pelanggaran hak-hak ABK oleh pemberi kerja.
(4). Belum ada pengaturan (legal instrument) di Indonesia yang komprehensif untuk melindungi ABK Indonesia bekerja di kapal ikan asing. Hal ini disebabkan, antara lain, karena belum terbitnya Peraturan Pemerintah yang dimandatkan oleh pasal 64 UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dan perlindungan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(5). Belum optimalnya sinergi dalam penanganan kasus pelanggaran HAM ABK Indonesia di kapal ikan asing.
(6). Belum cukupnya bekal pengetahuan, wawasan dan kemampuan (skill) yang diberikan kepada ABK sebelum diberangkatkan.
Berangkat dari masalah yang ditemukan itu, pemerintah diminta untuk melakukan pembenahan serta terobosan. Agar, masalah serupa tak terjadi lagi.
“Menanggapi permasalahan tersebut, pembenahan tata kelola penempatan dan perlindungan ABK harus dilakukan dengan cara cara yang cepat, tegas, dan menggunakan berbagai terobosan yang diperlukan,” kata Mas Achmad Santosa dalam keterangan tertulisnya membacakan kesimpulan hasil diskusi.
Ada enam poin terobosan yang dinilai perlu dilakukan pemerintah, yakni:
(1). Penguatan political will (kemauan politik) pemerintah dengan leadership (kepemimpinan) yang kuat untuk membenahi governancedan memperkuat penegakan hukum dalam melindungi ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing.
Komitmen kuat tersebut dapat dituangkan dalam bentuk Surat Pernyataan Bersama para Menteri yang terkait atau pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pembenahan dan Perlindungan ABK Indonesia di kapal asing oleh Presiden RI yang dipimpin oleh Menteri Koordinator dan bertugas mengawasi pelaksanaan pembenahan tata kelola penempatan dan perlindungan ABK Indonesia di kapal ikan asing. Diharapkan langkah-langkah pembenahan dapat dilakukan satu tahun terhitung dari Bulan Juni 2020.
(2). Pembenahan integrated database Pekerja Migran Indonesia, khususnya ABK yang bekerja di kapal ikan asing oleh BP2MI sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penempatan pekerja migran. Database tersebut dapat dimanfaatkan Kementerian terkait untuk koordinasi dalam pengawasan sejak sebelum pemberangkatan (termasuk memastikan kondisi keamanan ABK saat melaut hingga pemulangan).
Kementerian terkait meliputi Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan sebagai pemberi izin agen penempatan, Kementerian Hukum dan HAM yang mengurus imigrasi, dan Kementerian Luar Negeri yang memberikan bantuan di negara ABK dipekerjakan (salah satunya dengan menyediakan panic button dan shelter di pelabuhan singgah untuk ABK).
(3). Prosedur penempatan yang menjamin perlindungan ABK, antara lain proses penempatan yang murah, mudah, cepat, aman, transparan, dan satu pintu (one door policy) di bawah BP2MI dengan Kementerian Ketenagakerjaan sebagai regulator dan pemberi izin keagenan.
(4). Penguatan perlindungan hukum ABK dengan melakukan percepatan penerbitan PP dan Peraturan Menteri sebagai peraturan turunan yang dimandatkan oleh UU 18/2017, dan percepatan peratifikasian instrumen hukum internasional (ILO C188) oleh Kementerian Ketenagakerjaan sebagai pemegang fungsi regulator utama.
(5). Peningkatan kompetensi melalui pembekalan yang cukup kepada para ABK sebelum diberangkatkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perhubungan, serta memastikan informasi yang diberikan kepada calon ABK terkait pekerjaannya secara lengkap dan akurat (BP2MI dan dibantu oleh Kementerian Luar Negeri/atase ketenagakerjaan untuk mengecek profil perusahaan yang mempekerjakan).
(6). Pengoptimalan kerja sama dalam penegakan hukum baik antar instansi di dalam negeri maupun melalui kerja sama internasional (Kementerian Ketenagakerjaan, BP2MI dan POLRI, termasuk NCB INTERPOL). Sinergi dalam penanganan kasus harus direncanakan dengan baik, ditangani secara koordinatif, dan profesional, baik di tingkat nasional maupun lintas negara.
Caranya ialah dengan mendayagunakan perangkat hukum administrasi dan pidana korporasi untuk memberikan efek jera bagi pelaku, serta kerangka kerjasama internasional, baik bilateral arrangement maupun dengan fasilitasi dari organisasi internasional, seperti Interpol.(msn)