Joko Widodo atau yang biasa kita kenal dengan panggilan Jokowi, bisa dikatakan sebagai “orang baru” dalam dunia politik Indonesia. Namanya mulai populer meng-Indonesia 15 tahun terakhir ini. Saya pribadi malah baru mengenal namanya sekitar 7-8 tahun yang lalu, saat dirinya maju dalam Pilkada DKI 2012 dengan menggandeng Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).
Kiprah politiknya bermula dengan menjadi Wali Kota Surakarta pada tahun 2005. Namanya mulai dikenal setelah dianggap berhasil membenahi wajah Kota Surakarta menjadi kota pariwisata, kota budaya, dan kota batik.
Langkah yang dilakukannya termasuk progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa. Relokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak, memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan kepentingan publik, melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat. Taman Balekambang, yang telantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dikembalikan ke fungsinya semula. Jokowi juga tak segan menampik investor yang tidak setuju dengan prinsip kepemimpinannya.
Di tahun 2010 ia pun kembali mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo sebagai petahana berpasangan dengan F.X. Hadi Rudyatmo sebagai calon wakil walikota melawan Eddy Wirabhumi-Supradi Kertamenawi.
Hasilnya, Jokowi-Rudy meraih kemenangan telak dengan 248.243 suara atau 90,09%.
Pada tanggal 20 September 2012, Jokowi berhasil memenangi Pilkada Jakarta 2012. Kemenangan penggemar Metallica ini dianggap mewakili dukungan populer untuk seorang pemimpin yang “muda” dan “bersih”, meskipun umurnya ketika itu sudah lebih dari lima puluh tahun.
Nama Jokowi pun semakin melejit sejak menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta dan dikenal hampir seluruh Indonesia.
Belum genap dua tahun dirinya menjabat, Jokowi menyerahkan estafet kepemimpinan kepada wakilnya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) untuk maju mengikuti kontestasi pilpres 2014.
Jokowi yang kemudian menggandeng Jusuf Kala (JK) maju dan mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan perolehan 70.997.833 atau persentase 53.15%.
Dan kini di tahun 2019 Jokowi kembali maju sebagai petahana. Menggandeng KH Ma’ruf Amin, berdasarkan hasil penghitungan KPU Jokowi-Ma’ruf Amin menang atas 85.607.362 suara atau 55,50%.
Sedangkan paslon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, meraih 68.650.239 suara atau 44,50 %. Selisih suara kedua pasangan mencapai 16.957.123 suara atau 11%.
Atas kemenangan 5 kali berturut-turut itu ternyata Jokowi memiliki rahasia yang dibagikannya dalam sebuah wawancara khusus Merajut Persatuan Bangsa yang diunggah ulang oleh Jokowi di akun instagramnya @Jokowi.
Pembawa acara bertanya kepada Jokowi apa rahasiannya bisa memenangkan Pemilu hingga 5 kali berturut-turut.
“Pak Jokowi telah 2 kali memenangkan pemilu di Solo, 1 kali di Pilkada DKI Jakarta, 2 kali di Pilpres kalau nanti ditetapkan. Apa resepnya pak?” tanya pembawa acara.
Jokowi pun menuturkan rahasia sederhana ia bisa menang berturut-turut di pemilu adalah berkat tiga filosofi Jawa yang ia pegang teguh hingga saat ini. Ketiga filosofi itu adalah:
Filosofi pertama, Lamun sira sekti, ojo mateni. Meskipun kamu sakti, jangan sekali-kali menjatuhkan.
Hal ini terlihat dari tindakan Jokowi terhadap orang-orang yang berseberangan secara politik dengan dirinya, di mana dirinya lebih memilih merangkul daripada harus merendahkan mereka. Bahkan terhadap lawan politik utamanya seperti Prabowo, Jokowi memilih berisiatif mengirim utusan ke Prabowo, alih-alih mempermalukan rivalnya itu. Sedangkan untuk oknum-oknum yang tersandung kasus hukum adalah buah dari hasil perbuatan mereka sendiri karena Jokowi sama sekali tidak pernah mengintervensi kasus hukum. Bahkan terhadap kasus hukum yang pernah menjerat sahabatnya sendiri, Ahok maupun terhadap sekutu partainya dari PPP, Romahurmuziy yang tertangkap KPK belum lama ini.
Filosofi kedua adalah Lamun siro banter, ojo ndhisiki yang berarti meskipun kamu cepat, jangan selalu mendahului.
Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang ingin serba cepat dalam menyelesaikan sesuatu, terutama dalam pekerjaan. Berbagai urusan birokrasi yang bertele-tele berusaha dipangkas olehnya, proyek-proyek mangkrak diselesaikan dalam waktu singkat, menteri-menterinya dinilai berdasarkan kinerja.
Namun bukan berarti Jokowi memaksakan kehendaknya sendiri. Acapkali dalam berbagai kesempatan, Jokowi memilih “mengalah” bila keadaan belum memungkinkan. Sebagai contoh, saat lawan politiknya melakukan klaim kemenangan hingga sujud syukur berkali-kali (ada yang menyebutnya 3 kali ada juga yang bilang 5 kali), Jokowi lebih memilih menunggu keputusan KPU.
Jokowi dalam pernyataannya mengatakan ia meminta masyarakat dan pendukungnya bersabar menunggu penghitungan resmi KPU meski dari indikasi “exit pool” dan “quick count” menunjukkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin ketika itu.
Filosofi ketiga adalah Lamun sira pinter ojo minteri. Meskipun kamu pintar, jangan sok pintar,” ungkap Jokowi.
Dalam implementasinya dapat kita lihat dari komentar wakilnya, Jusuf Kala beberapa waktu lalu yang menyampaikan kesannya terhadap Presiden Joko Widodo selama empat tahun lebih menjalankan pemerintahan. Dirinya menyebutkan bila Jokowi bukanlah sosok yang otoriter. Hal itu, kata Kalla, tercermin dari kebiasaan Jokowi menggelar rapat sebelum memutuskan sebuah kebijakan.
“Beliau tidak pernah ada pikiran otoriternya. Berpikiran pun endak. Yang capeknya kita. Apa saja dirapatkan. Mau sampah dirapatkan kabinet juga. Iya, ekonomi sampah, mau gimana listrik (dari) sampah, rapat 2-3 kali. Apa lagi yang lain,” kata Kalla saat membuka CNBC Indonesia Economic Outlook di The Westin, Kuningan, Jakarta, Kamis 28 Februari 2019.
Bahkan, lanjut Kalla, saking seringnya rapat, terkadang ia dan beberapa menteri lupa pembahasan rapat sebelumnya.
Dari sini kita bisa menilai bila Jokowi adalah sosok yang mau mendengar dan mempertimbangkan pendapat para menterinya. Alih-alih merasa pintar dan mengambil keputusan sendiri, dirinya lebih memilih masukan yang diberikan, bahkan termasuk untuk hal yang kesannya sepele sekalipun seperti yang disebutkan oleh Jusuf Kala.
Hal ini tentu saja membuat para menterinya merasa dihargai oleh orang nomor satu di Indonesia ini. Masing-masing menteri berlomba-lomba menunjukkan kemampuan dan prestasinya. Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan seperti Susi Pudjiastuti pun sampai pernah berujar “Selain Presiden Jokowi, Tidak Akan Saya Dengar”. Kata-kata yang mustahil terucap dari seorang bawahan bila pemimpinnya adalah type orang yang merasa paling pintar, paling hebat, lebih TNI dari TNI, lebih patriot dari patriot. Bukankah begitu kawan?