Oleh : Agus Puji Prasetyono, Staf Ahli Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Bidang Relevansi dan Produktivitas.
Semua dimulai ketika “garis tangan” seorang warga bangsa untuk menjadi pemimpin sebuah negara besar yaitu Indonesia, yang kemudian “tongkat komando” tersebut diwariskan kepada beberapa generasi sesudahnya berupa fenomena turunan dari sebuah “persamaan integral” dan berasal dari “induk” yang sama, yaitu kemiskinan.
Mempercayai apa yang dikatakan Maxwell, sama saja dengan meyakini bahwa pemimpin ideal itu memiliki arah dan pemahaman, serta mampu membuka sebuah usaha untuk “membumi-hanguskan” kemiskinan menuju sebuah bangsa yang berdaulat. Tidak hanya itu, pemimpin ideal sejatinya mampu memberikan generasi kreatif yang memiliki kemandirian teknologi, lahir dari berbagai hasil eksploitasi pemikiran tentang bagaimana memanfaatkan dirinya dan alam sekitarnya menjadi sesuatu hasil rekayasa yang bermanfaat dalam bentuk beragam prototype konseptualistik.
Sederet petuah kemandirian sebagaimana disampaikan Masrun, Antonius, Hasan Basridan Kartini Kardono tentang suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri tanpa bantuan dari orang lain, agar memiliki “personal mastery” dalam mewujudkan keinginan untuk menghasilkan sesuatu demi pemenuhan kebutuhan hidup bagi bangsanya. Dalam perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) hal ini dapat diibaratkan sebagai lahirnya sebuah konsep teknologi yang berkembang dan akhirnya menjadi sesuatu yang seolah-olah mewujud menjadi kenyataan. Konsep ini begitu nyata dan kuat, sama seperti mimpi yang terasa begitu berarti.
Masyarakat kemudian “mengira-ngira” akankah konsep ini kemudian menjadi kenyataan? atau menganggapnya sebagai kebenaran?. Ketika kita mengira konsep ini merupakan sebuah kenyataan, dititik itu pula, kita memasuki pintu penderitaan.
Di dalam berbagai literasi riset dan inovasi dikenal sebuah “teori valley of death inovasi”, yaitu lahirnya “resistansi” dan “kegagalan” dalam mengindustrialisasi sebuah inovasi. Sebagai contoh nyata adalah “memproduksi masal pesawat udara merupakan kemustahilan”, juga “perlunya effort yang tidak kalah luar biasa untuk mengindustrialisasikan garam farmasi”.
Sejatinya, hampir semua hasil riset menjadi seperti mimpi, jauh dari kenyataan dan manfaat. Ia hanyalah sebentuk “abstraksi” yang dihasilkan oleh pikiran manusia, kemudian terperangkap ke dalam sebuah peristiwa politis yamg melelahkan. Konsep-konsep tersebut telah memisahkan makna hakiki “kemandirian” dari kenyataan dan mengurung bangsa kita ke dalam kesalahpahaman yang diwariskan, ibarat infeksi penyakit kronis. Hal ini sama seperti mengira bahwa mimpi adalah realita. Rakyat sepertinya dibiarkan hidup menderita tercabut dari kenyataan untuk menjadi bangsa yang mandiri yang nyatanya terkurung di dalam sebuah mimpi mimpi yang tak berkesudahan.
Teknologi dan Kemandirian
Di berbagai belahan dunia, para Negara maju telah menempatkan teknologi sebagai alat untuk “memandirikan” negara dari kemiskinan, Teknologi memungkinkan berbagai bangsa untuk menanam lebih banyak makanan, memperlambat perubahan iklim, bahkan untuk menyediakan semua kebutuhan energi untuk mengakhiri sejumlah penderitaan rakyat dari pemberontakan politik yang menantang “status quo”.
Prof. Benyamin Lakitan dalam artikel ilmiahnya berjudul “Kebijakan dan Strategi Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam rangka Meningkatkan Daya Saing Bangsa Indonesia” telah memetakan tiga tantangan utama dalam upaya meningkatkan daya saing Indonesia:
Pertama, rendahnya kesiapan teknologi Indonesia lebih disebabkan oleh belum memadainya unsur-unsur penunjang terutama dalam penerapan teknologi informasi dan komunikasi, yaitu peningkatan jumlah pengguna internet, jumlah pelanggan internet broadband, and bandwidth internet.
Kedua, rendahnya kapasitas inovasi, rendahnya kualitas dan produktivitas lembaga riset, dan rendahnya belanja riset dan pengembangan yang menyebabkan inovasi di Indonesia dikategorikan belum baik.
Selain itu, kerjasama riset dan pengembangan antara perguruan tinggi dan industri, penggunaan produk teknologi tinggi oleh pemerintah, serta ketersediaan insinyur dan ilmuwan.
Semua lembaga pendidikan tinggi berkewajiban untuk melaksanakan Tridharma Pendidikan Tinggi, yakni menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun demikian, diantara ketiga unsur tridharma tersebut, mayoritas perguruan tinggi masih fokus pada kegiatan pendidikan dan pengajaran.
Data dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, Kemenristekdikti per Maret 2015 menunjukkan, jumlah dosen di Indonesia mencapai 217.065. Dari jumlah itu, 48.902 (22 persen) merupakan lulusan S1, 135.481 (64 persen) lulusan S2, dan hanya 25.093 (11,5 persen) lulusan S3, selebihnya pendidikan di bawah S1.
Ketiga, adalah rendahnya kontribusi teknologi terhadap pembangunan ekonomi yang umumnya ditaksir berdasarkan nilai Total Factor Productivity (TFP), yakni kontribusi faktor lain selain modal dan tenaga kerja yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi. Data itu menyebutkan bahwa dalam Buku Laporan Perekonomian Indonesia tahun 2010 terlihat bahwa nilai TFP Indonesia tergolong rendah. Hambatan utama yang masih menjadi kendala bagi pertumbuhan TFP antara lain: (1) infrastruktur dasar (transportasi dan distribusi) yang memperkuat interkoneksitas dalam perekonomian, (2) kecukupan pasokan energi, (3) kurang memadainya aktivitas penelitian dan pengembangan, (4) kualitas modal manusia (human capital) dan inklusivitas sistem pendidikan nasional, serta (5) kesenjangan digital (digital divide) (Bank Indonesia, 2010).
Teknologi dan Sistem Politik Negara
Terkadang Teknokrat memiliki pemahaman bahwa Teknologi berkembang sesuai permintaan pasar. Namun ketika negara memerlukan teknologi untuk kebutuhan maka yang terjadi membanjirlah teknologi dari luar masuk kedalam negeri, mengakibatkan “kemandirian dalam teknologi” tidak pernah terjadi. Inilah, mengapa Teknologi memerlukan system politik yang kuat untuk mengembangkan dan memanfaatkannya di masyarakat. Oleh karena itu Teknologi agar dapat masuk kedalam sistem politik negara memerlukan beberapa proposisi penting.
Pertama, Teknologi adalah kekuatan kemandirian bangsa, teknologi memperluas pilihan bagi manusia dan memungkinkan mereka melakukan hal-hal yang telah mereka lakukan dengan cara yang lebih baik atau bahkan memungkinkan mereka melakukan hal-hal yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Pengetahuan tentang teknologi memungkinkan pemiliknya melakukan hal-hal spesifik yang orang lain tidak mampu melakukannya tanpa menggunakan pengetahuan itu.
Kedua, teknologi mempengaruhi politik dan sebaliknya, melalui kebijakan politis, teknologi dapat digunakan untuk menetapkan dan mengidentifikasi masalah tertentu atau menentukan tujuan tertentu yang memerlukan berbagai opsi. Oleh karena itu, kebijakan politik dapat berdiri di awal kemajuan teknologi atas permintaan pengguna. Contoh utamanya adalah penguasaan teknologi militer memungkinkan kebijakan politik mengambil keputusan untuk menciptakan teknologi yang lebih canggih dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan pertahanan bangsa.
Ketiga, Kemajuan teknologi hanya bisa dikendalikan sampai tingkat tertentu, kemajuan teknologi didorong oleh beberapa faktor, serta interaksi yang kompleks antara teknologi dan politik, sehingga isu pengendalian kemajuan teknologi menjadi relevan. Kemampuan politik untuk mengendalikan kemajuan teknologi tidaklah mutlak karena kemajuan teknologi tidak selalu “disengaja” dan “tidak direncanakan” sehingga dampak atas teknologi tertentu hanya akan terlihat setelah waktu yang lama. Selain itu, keputusan politik sangat menentukan batasan dan arah perkembangan kemajuan teknologi.
Dari mimpi menjadi kenyataan…
Memaknai Pasal 33 Undang undang Dasar 1945 adalah seperti apa yang telah disampaikan Arcandra Tahar dalam kuliah umum di depan mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret Solo beberapa bulan yang lalu, “pertama sumber daya alam kita dikelola oleh putra-putri terbaik bangsa. Kedua, teknologi untuk pemanfaatannya kalau bisa berasal dari kita sendiri. Ketiga, pendanaan untuk pengelolaannya kalau bisa dari kantong kita sendiri. Keempat, hasilnya harus dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri. Jika ada lebihnya, baru kemudian kita ekspor ke luar,”
Namun jika tanpa adanya dukungan political will dari pemerintah, mimpi kemandirian teknologi tidak akan pernah terwujud, karena sesungguhnya sebaik baik pemimpin adalah seperti yang apa yang disampaikan Maxwell yaitu A leader is one who knows the way, goes the way and shows the way, dan warisan kemiskinan bangsa ini adalah ketidaktahuan pemerintah to shows the way in scope of political will regulation, terutama keberanian Presiden dengan keistimewaan posisinya yang strategis untuk menciptakan rumusan “kebijakan linear” jangka panjang penerapan riset dan inovasi.
Pendapat Brinkerhoff tentang beberapa indikator yang bisa dipergunakan untuk mengukur political will pemerintah dapat dijadikan acuan dalam menciptakan rumusan kebijakan teknologi tersebut.
Pertama adalah soal inisiatif, darimana saja inisiatif tersebut diusulkan dan sesegera mungkin memetakan dan membentuk tim kerja untuk menyimpulkan berbagai permasalahan yang menghambat kemandirian teknologi Indonesia.
Kedua prioritas, apakah pemerintah telah melakukan kajian mendalam dan menentukan sektor mana yang akan menjadi prioritas utama yang menjadi target penguasaan teknologi? Pemilihan prioritas ini menjadi “sangat penting” karena penguasaan teknologi strategis di Indonesia sudah sangat-sangat dibutuhkan di berbagai sektor.
Ketiga, mobilisasi dukungan politik. Ada tidaknya kemauan politik juga tergantung pada kemauan dan kemampuan untuk menggalang dukungan bagi program riset dan pengembangan teknologi. Program kemandirian teknologi yang dijalankan pemerintah harus mendapat dukungan dari kekuatan politik lain. Tanpa adanya dukungan politik maka dilema kemandirian teknologi akan kembali menjadi mimpi karena riwayat pemerintah yang sangat singkat dan sewaktu waktu akan tergantikan dengan pemerintahan baru. Tanpa dukungan politik juga bisa menjadikan kemandirian teknologi Indonesia kembali berhadapan dengan resistansi politik, oleh karenanya pemerintah semestinya selalu berkompromi dengan kekuatan politik lain.
Keempat penegakan hukum berupa hukuman yang berat bagi industri industri yang melanggar kesepakatan kerja bersama pemerintah dalam mendukung kemandirian teknologi Indonesia. Tanpa sanksi yang berat, pelaku industri tentu tidak memiliki keterikatan dalam mendukung inovasi kemandirian teknologi negara dengan memperhatikan keuntungan kedua belah pihak.
Kelima, keberlanjutan usaha, yaitu bagaimana program program kemandirian teknologi merupakan usaha yang diikhtiarkan terus menerus? tidak hanya untuk kepentingan sesaat, misalnya menjelang Pemilu.
Political will cenderung berarti bahwa pemerintah secara defacto dan dejure menyetujui sebuah program kemandirian teknologi atau mereformasi kebijakan yang telah ada dengan sangat serius, baik untuk menerima hibah atau mengambil pinjaman yang dirancang untuk mendanai program tersebut. Adanya “kemauan politik” pemerintah dapat dianggap sebagai dukungan dari para pemimpin politik untuk menghasilkan perubahan kebijakan teknologi.
Untuk Kita Renungkan
Keberhasilan atau kegagalan kebijakan strategis untuk kemandirian teknologi tergantung dari seberapa dalam political will pemerintah dapat dipakai sebagai pisau analisis untuk menghasilkan kemandirian dan kemajuan teknologi dan inovasi.
Seringkali tampak dihadapan publik saat ini adalah tidak “bergaulnya” dengan baik komunitas yang tertarik bidang teknologi dan kelompok masyarakat yang tertarik pada bidang politik. Ilmuwan dibalik teknologi berjuang dengan aturan “permainan politik”, sementara politisi cenderung mengandalkan retorika daripada sains untuk menarik pemilih mereka. Walahualam…… [ristekdikti]