Era revolusi industri 4.0 membuka kesempatan bagi sumber daya manusia (SDM) di sektor manufaktur untuk memiliki keahlian yang sesuai dengan perkembangan teknologi terkini. Untuk itu, diperlukan pelaksanaan program peningkatan keterampilan (up-skilling) atau pembaruan keterampilan (reskilling) para tenaga kerja berdasarkan kebutuhan dunia industri saat ini.
“Di dalam roadmap Making Indonesia 4.0, salah satu program prioritasnya adalah peningkatan kualitas SDM. Sebab, talent menjadikunci atau faktor pentinguntuk kesuksesan implementasi industri 4.0,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.
Merujuk arah peta jalan tersebut, Indonesia berencana untuk merombak kurikulum pendidikan dengan lebih menekankan pada bidang Science, Technology, Engineering, Arts, dan Mathematics (STEAM). Selain itu, fokus meningkatkan kualitas unit pendidikan vokasi seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Politeknik.
“Kami meyakini, generasi muda Indonesia merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional di masa depan, sesuai dengan bonus demografis yang dimiliki Indonesia dalam 10 tahun ke depan,” ujar Airlangga. Oleh karena itu, pemerintah telah mengambil langkah strategis untuk mengumpulkan bakat-bakat SDM yang dibutuhkan dalam membangun ekonomi digital.
Misalnya, Kementerian Perindustrian meluncurkan program pendidikan vokasi yang mengusung konsep link and match antara SMK dengan industri di berbagai daerah di Indonesia. “Kemudian, kami sudah menjalin kerja sama dengan Swiss untuk pengembangan Politeknik. Selain itu, menjalankan program silver expert dalam rangka melibatkan tenaga ahli dari sektor industri sebagai instruktur,” tuturnya.
Bahkan, guna mendorong percepatan implementasi industri 4.0 di Indonesia, Kemenperin menggandeng lembaga riset terkemuka dari Jerman, Fraunhofer IPK.“Kami akan melakukan kerja sama dalam upaya peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) di Indonesia,” imbuhnya.
Menperin pun menegaskan, upaya-upaya tersebut membutuhkan kolaborasi antara pemerintah dengan pelaku industri dan pihak akademisi. “Dari sisi pemerintah, akan memastikan melalui kebijakan yang memadai seperti pemberian insentif untuk investasi teknologi penerapan industri 4.0,” jelasnya.
Sementara itu, pelaku industri perlu memanfaatkan teknologi terkini pada proses produksinya, baik itu melalui pengembangan sendiri atau kelompok yang dibentuk dengan perusahaan lain. Sedangkan, lembaga akademis harus mulai aktif melakukan kegiatan litbang yang berpotensi untuk memacu daya saing industri nasional.
Direktur Jenderal Direktorat Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan mengungkapkan, revolusi industri 4.0 yang tengah bergulir memberikan kesempatan bagi pengembangan dan penguatan industri nasional. “Pada saat yang sama, revolusi industri 4.0 memberikan landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih kokoh dan berkelanjutan,” tandasnya.
Untuk mendukung implementasi roadmap revolusi industri 4.0, lanjut Putu, Indonesia juga perlu mengakselerasi pembangunan infrastruktur digital.Beberapa caranya antara lain penguatan broadband speed dan kemampuan digital dengan melibatkan sektor publik dan sektor swasta untuk investasi pada platform digital. Misalnya komputasi awan atau cloud computing, pusat data (data center), serta pengelolaan keamanan atau security management.
SDM dan Infrastruktur Digital
Sebelumnya, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Ngakan Timur Antara menyampaikan, langkah akselerasi penerapan industri 4.0 adalah mulai dari sosialisasi untuk menjadikan agenda nasional hingga menyiapkan kompetensi SDM dan infrastruktur digital.
“Kuncinya industri 4.0 itu antara lain SDM dan infrastruktur digital. Sementara teknologi diperlukan guna membangun konektivitas yang terintegrasi,” ujar Ngakan. Menurutnya, revolusi industri 4.0 merupakan lompatan besar di sektor manufaktur,dengan pemanfaatan teknologi otomatisasi tinggi yang ditopang infrastruktur berbasis internet. Tidak hanya dalam proses produksi, melainkan juga di seluruh rantai nilaiproses produksinya.
Lebih lanjut, industri 4.0 dinilai mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas, sehingga akan terjadi penurunan biaya produksi. Hal ini dapat menyebabkan harga produk tersebut turun, yang pada akhirnya akan meningkatkan daya beli dan mudah dijangkau bagi kalangan berpendapatan rendah. “Dari pengalaman industri yang menerapkan industri 4.0, efisiensinya sangat tinggi antara 20 -30 persen. Ini tergantung dari sektor industrinya,” ungkapnya.
Ngakan juga menyampaikan, implementasi Making Indonesia 4.0 yang sukses akan mampu mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil sebesar 1-2 persen per tahun, sehingga pertumbuhan PDB per tahun akan naik dari baseline sebesar 5 persen menjadi 6-7 persen selama tahun 2018-2030.
Selain itu, rasio ekspor netto akan meningkat kembali sebesar 10 persen terhadap PDB. Kemudian, terjadi peningkatan produktivitas dengan adopsi teknologi dan inovasi, serta mewujudkan pembukaan lapangan kerja baru sebanyak 10 juta orang pada tahun 2030. “Aspirasi besar yang ditetapkan, yakni menjadikan Indonesia masuk pada jajaran 10 negara dengan perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030,” imbuhnya.
Guna mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan tersebut, pada tahap awal implementasi Making Indonesia 4.0, terdapat lima sektor industri yang diprioritaskan pengembangannya untuk menjadi pionir, yakni industri makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian, industri otomotif, industri kimia, serta elektronika.
Ngakan menambahkan, masyarakat tak perlu khawatir dengan penerapan industri 4.0, karema bukan untuk mengurangi tenaga kerja. Tetapi justru sebaliknya, apabila anak-anak muda dipersiapkan dengan meningkatkan keterampilannya, akan memberi peluang lebih besar dalam menyerap tenaga kerja.
“Mereka tidak perlu kerja ke kantoran, ke mana-mana. Dengan menjadi ahli desain, mereka bisa bekerja di rumahnya sendiri. Melalui peralatan komputernya itu desainnya bisa dijual. Bisa menghasilkan produk di tempat yang tidak perlu besar, sehingga akan terjadi mass customize production. Jadi mereka bisa menghasil produk banyak sesuai pesanan dan sedikit sesuai selera masyarakat. Inilah yang akan membentuk kantong-kantong kerja yang baru,” paparnya.
Terkait penerapan industri 4.0 terhadap sekor industri kecil menengah (IKM), menurut Ngakan, Kemenperin telah melatih keterampilan mereka melalui worskop e-Smart IKM agar bisa memanfaatkan marketplace yang ada. Hingga saat ini, program e-Smart IKM ini telah diikuti lebih dari 4.000 IKM. Pemberdayaan IKM melalui teknologi digital ini juga merupakan salah satu prioritas dalam Making Indonesia 4.0. [kemenperin]