Percaya atau tidak, proyeksi permintaan energi di Indonesia terus meningkat. Ini seiring pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk, dan meningkatnya kemampuan rakyat. Tengok konsumsi listrik per kapita yang saat ini mencapai 850 KWh dan terus meningkat, atau prediksi tingginya pertumbuhan jumlah dan dinamika transportasi. Sementara itu, laju penyediaan energi terbentur terbatasnya kemampuan finansial pemerintah dan besarnya subsidi untuk BBM dan listrik di tengah harga pasar yang fluktuatif.
Problematika ini mengakibatkan sulitnya membentuk pasar energi yang efisien di dalam negeri. Ini menyebabkan para produsen energi lebih tertarik untuk mengekspor produk energinya daripada melayani kebutuhan domestik yang tidak kompetitif.
Sementara, ketika Indonesia telah memiliki kedaulatan sumber daya manusia di bidang teknologi nuklir, pemanfaatannya justru selalu kembali pada titik abu-abu (titik awal), yaitu pilihan antara kesatuan (unity) dan perpecahan (disunity). Dengan demikian, posisi nasional menuju sebuah kedaulatan energi berada di ambang penantian besar (the nation is waiting).
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi secara mandiri dan berdaulat, diperlukan sebuah konsistensi dukungan pemerintah, termasuk jaminan dalam menyeimbangkan pertumbuhan kapasitas pembangkit dengan laju permintaan dan kebutuhan energi.
Realitas Energi
Banyak unit pembangkit kita yang berusia uzur, bahkan masih terus beroperasi. Tentu saja ini jauh dari optimal. Di lain pihak, realitas sejumlah wilayah masih mengalami pemadaman listrik secara berkala tak mungkin ditampik. Ini membuktikan bahwa kebutuhan energi belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari pembangkit yang telah beroperasi saat ini.
Kebijakan out of the box dengan tetap mengacu pada konsensus internasional patut dipertimbangkan. Clean energy dengan memanfaatkan pembangkit bertenaga nuklir sebagai pilihan terakhir pun kian terbuka.
Dalam konvensi nasional tentang pemanfaatan energi, Presiden Joko Widodo menekankan bahwa Indonesia sedang bersaing dengan bangsa lain. Untuk itu, harus berani terbuka dan berani berinovasi untuk menjadi bangsa pemenang.
Dibutuhkan sikap tegas tentang sebuah tantangan doktrin teknokrasi. Sikap tegas ini bisa dari bagaimana sebuah kebijakan inovasi dapat diimajinasikan, diformulasikan, dan diimplementasikan ke dalam kerangka pembangunan jangka panjang berbasis pada kemandirian.
Mengukur keberhasilan sebuah inovasi dapat dilihat pada turun atau naiknya posisi dalam peringkat Global Competitiveness Index. Peringkat ini ditentukan melalui 12 pilar inovasi, antara lain tingginya potensi keunggulan komparatif sebagai faktor solusi atas tantangan dan hambatan dalam mewujudkan Indonesia sebagai salah satu kutub kekuatan ekonomi dunia.
Gambaran tidak terpenuhinya ketersediaan energi listrik fosil sesungguhnya sudah di depan mata. Data empiris menyebut jika batu bara dan gas akan habis pada 2087 dan 2052. Berharap pada energi dari fosil untuk mewujudkan prinsip keberlanjutan tentu akan membahayakan.
Sudah saatnya, penggunaan teknologi energi konvensional dialihkan ke teknologi energi bersih dan ramah lingkungan. Ini sekaligus juga untuk memenuhi komitmen Indonesia terhadap COP-21 dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada 2030.
Transformasi menuju negara maju dan berdaya saing memang tengah dilakukan Indonesia. Untuk itu, pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sebuah tuntutan. Namun, ada kejanggalan bila ketentuan pemanfaatan energi baru dan terbarukan mengesampingkan energi nuklir. Sebab, tidak ada satu sumber energi listrik di Indonesia yang bisa memenuhi pasokan energi nasional berskala besar sebagai based load, selain nuklir.
Manfaat Energi Nuklir
Dalam hitungan, sebuah pembangkit dengan bahan bakar batu bara atau gas untuk 1.000 MW selama satu tahun memerlukan bahan bakar sebesar 21 ton uranium (PLTN). Ini setara dengan 970.000 ton gas, 1.310.000 ton bahan bakar minyak, dan 2.360.000 ton batu bara. Realitas tersebut membuktikan bahwa PLTN mampu memenuhi keekonomian dan dapat dipertimbangkan sebagai energi pilihan.
Mengapa PLTN menjadi penting? Berdasarkan analisis makroekonomi di berbagai studi telah menjawab. PLTN merupakan teknologi tunggal dan paling murah dalam segala situasi. PLTN juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan lapangan pekerjaan di seluruh lini ekonomi (multiplier effects). PLTN hadir sebagai spill over knowledge, impuls yang bakal menumbuhkan industri yang memiliki daya saing, kemandirian, serta mampu mewujudkan kesejahteraan anak negeri.
Pemanfaatan energi nuklir akan bermakna jika faktor kritis akselerasi implementasi kebijakan dapat integrasikan dan dipertimbangkan dengan baik, yakni perlunya peningkatan anggaran untuk riset sedikitnya sebesar 1% PDB.
Dengan anggaran tersebut, para peneliti, perekayasa, dan akademisi dapat memulai sebuah lompatan baru memperkecil ketertinggalan inovasi, terutama dalam melakukan persiapan penguasaan teknologi pembangkit energi bersih, melimpah, dan berkelanjutan. Langkah berani ini tentu berdampak pada lahirnya skema baru dalam peta energi nasional.
Ada lima kriteria pemanfaatan nuklir sebagai energi listrik. Pertama, teknologi yang dipilih harus sudah matang dan teruji. Kedua, dibutuhkan dukungan pemerintah dan penjaminan untuk menjangkau biaya teknologi. Ketiga, adanya rancangan smart business model. Keempat, dukungan kuat atas infrastruktur dasar dan pendukungnya, dan kelima adalah pengakuan kemampuan oleh dunia internasional dalam mengelola dan mengoperasikan tiga reaktor riset, fasilitas produksi bahan bakar nuklir dan fasilitas pengolahan limbah radioaktif.
Sementara itu, kemampuan SDM dipenuhi dari tenaga ahli dan terampil dari BATAN, BPPT, BAPETEN, UGM, ITB, UI, STTN dan lain-lain yang diakui sebagai “top level nuclear engineer and technology,” di Asia Tenggara. Dengan demikian, tidak ada keraguan dalam mewujudkan pembangunan PLTN di Indonesia.
Penulis : Agus Puji Prasetyono
Staf Ahli Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Bidang Relevansi dan Produktivitas. Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.