Pernyataan Jokowi pada debat Capres selalu menyisakan rasa penasaran. Saat 2014 lalu istilah Drone dan Tol Laut melahirkan fenomena “kepo” pada istilah tersebut. Dan pada Debat Capres Jilid 2 hari Minggu kemarin terulang lagi dengan dilontarkan istilah Unicorn, Marketplace, Palapa Ring, TaniHub, Vintek peer to peer. Kemudian orang orang jadi sibuk Googling mencari info tentang “istilah millenial” lengkap dengan plus minusnya di sela sela kontroversi masing masing pendukung Capres meng-klaim kesuksesan hasil debat.
Revolusi Industri 4.0 diprediksi para pakar ekonomi akan mengalirkan uang dalam negeri ke luar. Itulah resiko era perdagangan bebas tanpa batas tanpa calo, makelar atau mafia. Sebagian yang terlanjur pesimis dengan kecepatan Jokowi merespon peradaban pantas merasa khawatir. Jokowi yang jeli melihat peluang 10 – 20 tahun ke depan harus dimulai hari ini. Tapi tidak bagi yang berfikir digital. Sarana internet memungkinkan uang keluar masuk tanpa batasan negara. Berbagai suku, Agama dan ras sama bertransaksi secara fair dan kompetitif. Perputaran investasi nonstop 24 jam 7 hari dalam seminggu menuntut kita berpacu, berlari tanpa keringat bercucuran.
Di sebuah rumah sekaligus dapur kuliner, inovasi Gudeg kaleng Bu Citro yang tahan awet 1 tahun diborong pembeli dari Belanda via on line kini bukan impian lagi. Atau Mohammad Zaky Nugraha, salah satu penemu pestisida organik berbahan jengkol mendadak kebanjiran pesanan dari Kanada gegara produknya di jual via internet. Ada lagi Kerajinan jam tangan kayu karya Suwanto dari Prambanan, Klaten yang mendunia karena website nya dikunjungi hampir 10 ribu orang per hari. Juga film pendek karya Ulin Yahya masuk nominasi dalam Festival Film Canes gegara keseringannya on line mengirim apapun yang berbau Film. Siapapun berhak memasarkan kemana mana tanpa harus kemana mana.
Namun berbeda bagi mereka yang berfikiran analog merasakan dunia internet sebagai bentuk penjajahan ekonomi, expansi kaum kafir, negeri thogut dan phobia lainnya yang akan menghancurkan bangsa ini. Bukan salah mereka yang punya pandangan demikian, tapi keterlambatan para penentu kebijakan menyampaikan perkembangan situasi global yang kecepatan melebihi peradaban yang ada.
Digitalisasi pada berbagai sektor butuh kesiapan SDM juga. Ibarat memberi gadget pada petani di kaki gunung tanpa dibekali pengetahuan kegunaan selain untuk komunikasi. Kecanggihan Android hanya dipergunakan untuk SMS dan mendengarkan lagu, terjadi ketika sosialisasi Revolusi Industri 4.0 hanya sebatas judul berita. Sebagian kita yang sudah “melek” pun ke-asikan sendiri lupa mengabarkan apa yang terjadi dalam segenggam gadget
Jokowi sudah membuka pintu rumah selebar lebarnya, mengetuk pintu tetangga satu persatu. Sudah bukan waktunya lagi melihat dunia dari balik kelambu, etalase dan jendela Bermainlah keluar rumah bertemu siapa saja dan menemukan apa saja sejauh jauhnya. Jika saatnya lelah dan rindu pulanglah lewat pintu yang masih terbuka lebar. Hingga menyepakati mimpi-mimpi besar Jokowi adalah memperjuangkan sebuah nilai, bukan sekedar sosok plongak plongok yang kini sedang diburu para penjahat ideologi untuk diturunkan secara paksa.
Semoga faham