Oleh: M. Hamidi Rahmat
Harian Media Indonesia edisi Jumat, 26 Januari 2018 memuat artikel yang berjudul “Sanksi Ringan Bikin Sampah Berserakan”. Artikel tersebut membahas permasalahan persampahan di Kota Depok.
Di dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa warga yang tidak bertanggung jawab seenaknya membuang sampah sembarangan. Salah satu penyebabnya karena pelaku dihukum ringan, hanya dengan membayar denda Rp100 ribu.
Di dalam Peraturan Daerah Kota Depok nomor 16 tahun 2012 tentang Pembinaan dan Pengawasan Ketertiban Umum, pasal 10 menyatakan bahwa : (1) Setiap orang atau badan harus membuang sampah pada
tempat sampah yang telah disediakan. (2) Setiap orang atau badan dilarang membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman kota, sungai, saluran/drainase, situ/danau dan tempat-tempat lain yang dapat merusak keindahan dan kebesihan lingkungan. (3) Setiap orang atau badan dilarang membakar sampah.
Apabila melanggar, maka sanksi yang diberikan tercantum dalam pasal 29 yaitu diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 25 juta. Namun, menurut Ahmad Hilmani, Kepala Seksi Pengangkutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Depok, adalah Pengadilan menghukum ringan pelaku, hanya dihukum membayar denda sebesar Rp 100.000,-
Indonesia pada saat ini memang telah darurat sampah. Artinya sampah yang dihasilnya sangat banyak dan tidak mampu lagi ditampung di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Misalnya DKI Jakarta menghasilakan sekitar 7.000 ton sampah perhari atau sekitar 2,2 juta ton sepanjang tahun 2017 (www.beritasatu.com dan news.okezone.com). Jumlah sebanyak itu pasti tidak tertampung di TPS dan TPA. Buktinya sampah sudah menggunung di TPA Bantar Gebang.
Kota lain juga mempunyai permasalahan yang sama, misalnya kota Bandung. Bahkan pernah terjadi musibah yang cukup ironis pada 21 Februari 2005 dinihari. Puluhan rumah di Kampung Cilimus dan Kampung Gunung Aki, Desa Batujajar Timur, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung serta Kampung Pojok, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, tertimbun longsoran jutaan kubik sampah yang berasal dari gunung sampah di TPA Leuwigajah. Kejadian ini dipicu hujan lebat yang turun 2 hari berturut-turut (Pikiran Rakyat 21 Februari 2017).
Darurat sampah ini harus ditangani segera. Penanganannya tidak bisa lagi secara biasa, tetapi harus dengan cara yang luar biasa. Ibarat orang sakit, sakitnya bukan lagi sakit flu yang bisa diobati sendiri dengan obat yang dijual bebas di toko obat. Tetapi sakitnya sudah sakit kangker stadium 4, yang segera perlu ditangani secara khusus oleh dokter spesialis di Intensive Care Unit (ICU), ruang khusus untuk pasien yang butuh perawatan intensif karena dalam kondisi darurat. Demikian pendapat ibu Sri Bebassari, Ketua Umum InSWA, Indonesia Solid Waste Association, dalam berbagai forum.
Untuk menanganai kondisi yang sudah benar-benar darurat ini, maka semua pihak harus bahu membahu, harus saling mendukung kegiatan penanganan sampah mulai dari hulu sampai ke hilir. Mulai dari rumah tangga, mulai dari perkantoran, mulai dari pabrik, mulai dari pasar, dan mulai dari semua orang yang menghasilkan sampah, sampai ke hilirnya di TPA, tempat pembuangan akhir sampah. Di TPA sampah perlu dimusnahkan. Meskipun akan tetap ada residu, diupayakan volume residu tersebut seminimal mungkin. Disamping itu, para penegak hukum juga perlu lebih serius dan lebih tegas menegakkan aturan supaya tidak ada lagi orang yang berani membuang sampah sembarangan. Sebaiknya dikenakan denda atau pidana maksimal supaya membuat jera para pelaku, dan membuat orang lain berpikir dua kali sebelum membuang sampah sembarangan.
Kebijakan Pemerintah
Dalam upaya mengurangi jumlah sampah, dari dulu pemerintah telah melakukan pengelolaan sampah, namun sampai saat ini di berbagai kota masalah sampah masih merupakan permasalahan yang pelik dan belum terpecahkan, belum dapat mengatasi permasalahannya dengan baik.
Dilihat dari segi kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Sudah sekian banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat di berbagai tingkatan. Sebut saja peraturan yang dibuat sejak tahun 2000, antara lain : (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang tersebut juga telah dijabarkan lebih rinci melalui berbagai peraturan yang lebih rendah tingkatannya. Misalnya, (1) Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, (2) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (3) Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Lalu siapa yang akan mengaplikasikan sederet peraturan perundang-undangan tersebut ?. Sepanjang yang penulis ketahui, bahwa tugas pengelolaan sampah merupakan kewajiban Pemerintah Daerah (Pemda), terutama Pemerintah Kota/Kabupaten dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, karena masalah sampah ini mencuat di kota-kota, terutama kota-kota besar.
Sekedar contoh pengelolaan sampah yang telah dilakukan oleh Pemda, dapat dikemukakan sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya dinilai oleh banyak kalangan telah mampu mengelola sampah dengan baik, melalui program 3 R (reduce, reuse, recycle). Bahkan pengelolaan sampah di kota Surabaya telah menjadi role model negara-negara di Asia Pasifik. Keberhasilan ini tak terlepas dari peran masyarakat Surabaya yang sebagian besar telah mempunyai kesadaran tinggi masalah lingkungan hidup. Mereka dengan sukarela mengurangi jumlah sampahnya, memanfaatkan kembali sampah yang masih bisa dimanfaatkan, dan mendaur-ulang sampah-sampah yang bisa didaur-ulang (Mongabay.co.id, 27/2/2014).
Disamping itu Pemerintah Kota Surabaya juga telah memanfaatkan sampah sebagai pembangkit tenaga listrik. Metronews.com (8/7/2015) melaporkan bahwa PT PLN Distribusi Jawa Timur menggandeng kalangan swasta yakni PT Sumber Organik guna membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Surabaya. Tekonologi yang dipakai adalah incenerator, dan menghasilkan listrik dengan target kapasitas 9,96 megawatt (MW). Untuk tahap pertama, kapasitas PLTSa pilot project yang berlokasi di TPA Romokalisari, Benowo ini baru mencapai 1,65 MW. Kemudian, tahap selanjutnya sebesar 8,31 MW.
Peran Masyarakat
Manajemen persampahan memang harus dimulai dari hulunya, dari sumber sampah tersebut. Di hulunya, sampah harus sudah dipilah-pilah. Masyarakat diminta untuk memilah-milah sampah yang akan dibuangnya. Mana yang sampah organik supaya disatukan dalam satu wadah atau kantong untuk dibuang ke dalam tempat sampah organik. Mana yang sampah anorganik supaya disatukan pula dalam satu wadah atau kantong yang berbeda untuk dibuang dalam tempat sampah anorganik. Meskipun barang pecah belah termasuk sampah anorganik, tetapi sebagian Pemda menyediakan tempat sampah tersendiri untuk barang pecah belah. Tentu saja tempat sampah jenis yang ketiga ini sangat bermanfaat, terutama untuk proses daur ulangnya. Disamping itu, pemisahan ini sangat bermanfaat untuk mencegah barang pecah belah tersebut melukai orang.
Melihat contoh yang telah ditunjukkan di kota Surabaya bahwa upaya pemerintah dapat berhasil karena didukung oleh kesadaran masyarakat untuk ikut mengelola dan memilah sampah di hulunya, di rumah tangga, di kantor, di pabrik, dan di pasar. Tanpa peran aktif masyarakat, upaya Pemda tidak akan menghasilkan apa yang diinginkan bersama. Namun, perlu diingat bahwa masyarakat umum hanya bisa berperan di hulunya, di tempat penghasil sampah. Di tingkat itulah dilakukan kegiatan 3 R. Sisanya dibawa ke TPS dan TPA. Untungnya di kota-kota besar kita masih ada pemulung yang mengambil sampah yang bisa didaur-ulang, sehingga bisa sedikit mengurangi timbulan sampah di TPA, tetapi relatif tidak banyak berpengaruh. Sampah yang menggunung di TPA inilah yang harus dimusnahkan oleh Pemda.
Instalasi Pengolah Sampah
Sebagaimana telah penulis singgung diatas bahwa Indonesia pada saat ini telah darurat sampah. Artinya sampah yang dihasilnya sangat banyak dan tidak mampu lagi ditampung di TPS dan TPA. Permasalahan darurat sampah ini harus ditangani segera. Penanganannya tidak bisa lagi secara biasa, tetapi harus dengan cara yang luar biasa. Tidak bisa lagi hanya menandalkan kegiatan 3R, tidak bisa lagi mengandalkan metode landfill atau open dumping. Sistem open dumping ini telah mengakibatkan sampah menjadi sebuah gunung di TPA, yang telah membawa banyak kerugian kepada masyarakat, termasuk bau busuk yang sangat menyengat, disamping merupakan sarang penyakit.
Melihat keadaan darurat inilah maka pada tanggal 13 Februari 2016 Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar. Perpres ini lebih dikenal dengan Perpres PLTSa. Kemudian Perpres ini digugat oleh sejumlah warga negara Indonesia ke Mahkamah Agung karena dianggap merugikan masyarakat. Keputusan Mahkamah Agung mengabulkan permohonan tersebut, dan memerintahkan Presiden untuk mencabut Perpres dimaksud.
Berhubung permasalahan sampah ini sangat urgen untuk segera diselesaikan, setelah melakukan diskusi yang panjang dan melibatkan berbagai kalangan maka pada tanggal 12 April 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Untuk tidak memperbanyak istilah yang dapat membingungkan, dan untuk lebih mudah diingat, maka Perpres ini juga disebut Perpres PLTSa. Tentu saja materi yang diatur dalam Perpres ini telah memperhatikan putusan Mahkamah Agung Nomor 27 P/HUM/2016 tanggal 2 November 2016 tersebut, termasuk mencabut Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016.
Penyusunan Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tersebut dalam rangka meningkatkan ketangguhan kota dalam menjaga kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan, dan menjadikan sampah sebagai sumber daya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, serta untuk mengurangi volume sampah secara signifikan demi kebersihan dan keindahan kota. Dengan demikian, jelaslah Perpres ini diterbitkan untuk menghilangkan tumpukan sampah yang tidak lagi mungkin diselesaikan hanya dengan metode 3R, reduce, reuse and recycle. Kegiatan 3R ini tetap perlu diteruskan bahkan lebih diintensifkan dan dilakukan secara massif. Hal ni dapat dilihat dalam pasaL 2 yang menyatakan bahwa pengelolaan sampah dilakukan secara terintegrasi dari hulu ke hilir melalui pengurangan sampah dan penanganan sampah.
Teknologi yang dipakai untuk melenyapkan sampah, setidak-tidaknya mengurangi volume sampah secara signifikan dalam waktu singkat, tidak dibatasi. Teknologi apa saja bisa dipakai sepanjang teknologi tersebut telah terbukti keandalannya dan mampu mengurangi volume sampah sekitar 90 persen dalam waktu yang tidak lama, serta ramah lingkungan. Artinya teknologi tersebut tidak mencemari lingkungan, atau tidak menghasilkan zat yang membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Jika teknologi yang dipilih adalah incenerator, sebagaimana banyak dipilih oleh kota-kota di negara maju seperti Jepang dan Singapura serta negara-negara Uni Eropa. Maka tentu saja tidak semua sampah akan dibakar. Sampah akan dipilah-pilah terlebih dahulu. Alangkah rancaknya kalau sampah sudah terpilah sebelum kita membuangnya ke tong sampah di depan rumah kita, sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Kegiatan 3R, reduce, reuse and recycle merupakan upaya pertama yang harus dilakukan. Sampah yang diangkut ke TPA adalah sampah sisa yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Kota Makassar sudah mempraktekkan sistem pengelolaan sampah seperti ini. Dan sekarang kota Makassar ikut dalam proyek percontohan PLTSa untuk menghabiskan sampah sisa setelah kegiatan 3 R tersebut.
Apakah semua sampah sisa akan dibakar oleh incenerator ? Tentu saja tidak. Bahan-bahan yang mengandung chlorine seperti poly vinil chloride (PVC), styroform, poly chlorinated biphenyl (PCB) dan poly bromide biphenils (PBB), tentu saja tidak akan dibakar karena dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk mencegah pencemaran dioxin dan furans yang bersifat carcinogenic (menimbulkan kanker), maka operasional PLTSa harus diatur dengan suhu tinggi, diatas 1.000 (seribu) derajat celcius, sehingga dioxin dan furans tidak terbentuk.
Di dalam Perpres Nomor 35 Tahun 2018 dinyatakan bahwa tujuan penerbitannya adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan, dan untuk mengurangi volume sampah secara signifikan demi kebersihan dan keindahan kota serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Jadi tujuan utamanya adalah demi terciptanya kebersihan dan keindahan kota. Sedangkan listrik yang dihasilkan bukanlah tujuan, melainkan bonus.
Lokasi proyek percontohan yang tercantum dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2016 sebanyak 7 kota, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar. Pemilihan ketujuh kota tersebut berdasarkan hasil seleksi Kementerian Dalam Negeri. Pada waktu itu hanya 7 kota itulah yang dianggap serius dan memenuhi syarat untuk dijadikan proyek percontohan. Seiring perjalanan waktu, dan melihat keuntungan atau manfaat dari program PLTSa ini, serta kesadaran Pemda untuk memelihara atau menjadikan kotanya yang bersih dan indah, sejumlah Pemda lain memohon kepada Presiden supaya kotanya juga dijadikan proyek percontohan PLTSa dimaksud. Dari sekian banyak permohonan, setelah dibahas Tim Koordinasi Percepatan Pelaksanaan Pembangunan PLTSa dan dengan berbagai pertimbangan, Pemerintah mengabulkan permohonan 5 kota lagi, yaitu Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Denpasar, Kota Palembang, dan Kota Manado. Dengan demikian, terdapat 12 kota yang menjadi proyek percontohan pembangunan PLTSa berdasarkan Perpres nomor 35 tahun 2018.
Perlu pula diingat bahwa pengelolaan dan pengolahan sampah ini adalah kewajiban Pemerintah Kota/Kabupaten, dan di Jakarta adalah tugasnya Pemerintah Provinsi. Oleh karena itu penanggung-jawabnya adalah Pemda, bukan Pemerintah Pusat. Karena sejumlah Pemda mengaku tidak mampu menanganinya sendiri, maka Pemerintah Pusat dapat memberikan bantuan sesuai peraturan perundang-undangan. Jenis bantuan yang dapat diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemda juga diatur dalam Perpres ini.
Dalam pasal 6 dinyatakan bahwa Gubernur atau Walikota dapat menugaskan badan usaha milik daerah, atau melakukan kompetisi badan usaha swasta untuk memilih badan usaha swasta yang akan melakukan pembagunan proyek PLTSa. Jika tidak ada badan usaha yang berminat atau tidak ada yang lulus seleksi, dan tidak ada pula badan usaha milik daerah yang mampu untuk ditugaskan melaksanakan pembangunan dan pengelolaan PLTSa, maka pembangunan proyek PLTSa dapat dilakukan melalui penugasan kepada badan usaha milik negara (BUMN) oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atas usulan Gubernur atau Walikota. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan sampah ini adalah tugas dan tanggung jawab Pemda, bukan tugas dan tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tidak dapat serta-merta menugaskan BUMN, tetapi harus mendapatkan rekomendasi dari Tim Koordinasi Percepatan Pelaksanaan Pembangunan PLTSa, yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dengan anggota Menteri dan Kepala Lembaga terkait. Sebelum memberikan rekomendasi, tentu saja Tim akan membahas secara komprehensif permohonan atau usulan Pemda tersebut dari berbagai aspek.
Meskipun pembangunan proyek PLTSa dilakukan oleh BUMN yang ditugaskan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, tetapi pembangunan tersebut baru dapat dilakukan setelah Pemda : (a) mempunyai pra studi kelayakan, (b) menyampaikan komitmen pengalokasian anggaran untuk biaya pengangkutan dan biaya layanan pengolahan sampah di dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), dan (c) menyediakan lahan.
Untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan proyek, maka Pengelola Sampah dan Pengembang PLTSa diberikan kemudahan penerbitan izin prinsip pembangunan/ konstruksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Pusat dan Pemda juga memberikan dukungan perizinan dan non-perizinan serta penyederhanaannya yang diperlukan Pengelola Sampah dan Pengembang PLTSa. Ini adalah salah satu insentif yang diberikan Pemerintah sebagaimana tertuang dalam pasal 9.
Apabila instalasi pengolah sampah menghasilkan listrik, maka listrik yang bisa disalurkan ke grid akan dibeli oleh PT PLN dengan harga yang telah ditetapkan dalam Perpres ini, yaitu sebesar sebesar USD 13.35 cent/kWh yang terinterkoneksi pada jaringan tegangan tinggi, jaringan tegangan menengah atau jaringan tegangan rendah, untuk besaran kapasitas pembangkit sampai dengan 20 MW. Sedangkan untuk besaran kapasitas pembangkit lebih dari 20 MW yang terinterkoneksi pada jaringan tegangan tinggi atau jaringan tegangan menengah, harga pembalian PT PLN dengan rumus {USD cent/kWh = 14,54 – (0,076 x besaran kapasitas PLTSa yang dijual ke PT PLN)}. Hasil penjualan listrik kepada PT PLN dimaksud merupakan hak dari Pengembang PLTSa.
Karena penanganan sampah ini merupakan kewajiban Pemda, maka sumber pendanaan yang diperlukan untuk penanganan sampah dan pembangunan PLTSa, bersumber dari APBD. Untuk Pemda yang tak mampu membiayainya sendiri, dapat didukung oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Demikian norma yang termuat dalam pasal 14. Selanjutnya pasal 15 menetapkan bahwa dana yang berasal dari APBN digunakan untuk bantuan biaya layanan pengolahan sampah kepada Pemda, yang besarnya paling tinggi Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per ton Sampah.
Dalam rangka meningkatkan penggunaan produk dalam negeri, maka proyek pembangunan PLTSa wajib mengutamakan penggunaan produk dalam negeri. Hal ini sangat penting, karena penggunaan produk dalam negeri akan mempunyai efek berganda (multiplier effects) dalam menggerakkan perekonomian nasional, yang pada akhirnya akan mensejahterakan masyarakat.
Sebelum tulisan ini diakhiri, tak lupa penulis mengajak kita semua untuk bekerjasama, bahu membahu, saling mendukung, demi kelancaran pembangunan dan pengoperasian proyek PLTSa ini. Jika proyek ini berhasil, maka kota-kota kita akan indah dan asri. Tidak akan ada lagi sampah berserakan, tidak ada lagi sampah yang menggunung di TPS atau TPA, dan tidak ada lagi bau busuk yang menyengat, serta tidak ada lagi sarang penyakit ini. Setelah proyek ini berhasil, maka kota-kota kita akan indah dan asri, seperti Tokyo, Singapura, Amsterdam, dan Copenhagen. Semoga !! [setkab]