JAKARTA, KOMPAS.com — Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) kembali meminta kejelasan aturan pajak kepada pemerintah, seiring upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan pajak tahun ini.
Mengacu pada rencana Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi kepada media minggu ini, pemerintah berencana mengenakan pajak untuk setiap transaksi online, yang harus disetorkan oleh para pemilik bisnis online kepada Ditjen Pajak (DJP).
Menurut idEA, nyatanya selama ini para perusahaan e-commerceyang berbadan hukum telah mengikuti aturan pajak yang berlaku dengan membayar pajak sesuai kewajiban masing-masing.
Perlu dicatat, e-commerce pada umumnya dapat dibagi menjadi beberapa model bisnis, yang tentunya memerlukan perlakuan pajak yang berbeda.
Misalnya, ada model ritel online, yang mana semua stok barang diatur oleh pemilik situs, maka pengenaan PPN dan penyetorannya dilakukan oleh pemilik situs tersebut.
Sementara model bisnis lain, seperti marketplace, hanya menyediakan tempat usaha untuk para pedagang yang berjualan di situs mereka. Dalam hal ini, seharusnya pemungutan dan penyetoran PPN dilakukan oleh para pedagang tersebut.
Sama halnya dengan yang terjadi di pusat perbelanjaan seperti mal atau Tanah Abang. Tentunya hanya pedagang dengan omzet tertentu yang memiliki PKP dan berkewajiban memungut PPN.
Lain lagi dengan iklan baris online yang sama sekali tidak memfasilitasi transaksi antara penjual dan pembeli. Seperti halnya iklan baris di koran, media yang bersangkutan tentunya tidak mungkin mengenakan PPN terhadap transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli.
Namun demikian, aneka model bisnis di atas tetap mengenakan pajak untuk layanan atau produk yang mereka jual kepada penggunanya.
Untuk iklan baris online yang pendapatan utamanya bersumber dari fitur premium (seperti sundul, posisi, dan iklan teratas), tentu mengenakan PPN untuk setiap fitur yang dijual.
idEA menilai, perlu pemahaman yang mendalam mengenai model bisnis masing-masing untuk dapat memberlakukan aturan yang obyektif dan konstruktif bagi industri.
Di luar soal PPN, sempat juga timbul wacana perihal pengenaan pajak cuma-cuma bagi model bisnis seperti iklan baris onlineyang sebagian besar jasanya dapat dinikmati oleh masyarakat pengguna secara gratis.
Model bisnis yang sering dikenal dengan konsep “freemium” ini cukup jamak di ranah digital, yang pada umumnya menguntungkan bagi konsumen.
Tentunya layanan gratis ini tidak bisa disamakan dengan pemberian sampel produk gratis yang menurut aturan memang dikenakan pajak cuma-cuma.
“Pada intinya kami sebagai pelaku usaha telah dan terus beriktikad baik untuk melaksanakan kewajiban pajak sesuai aturan yang berlaku. Yang kami inginkan adalah kejelasan mengenai aturan perpajakan tersebut,” kata Daniel Tumiwa, Ketua Umum idEA, melalui siaran pers ke Kompas.com.
Menurut perspektif asosiasi, aturan pajak yang berlaku di ranahoffline secara otomatis berlaku juga di online. Untuk itu, tidak perlu dibuat aturan tambahan yang justru akan membingungkan industri.
Dia menilai, apabila dibuat pajak berlapis, para pelaku usahaonline yang berbadan hukum di negara ini akan menjadi kurang kompetitif dibandingkan pemain di luar negeri.
“Daripada fokus pada pemain dalam negeri yang sebenarnya sudah ikut aturan, coba juga pikirkan strategi memajaki pemain asing yang mendulang keuntungan dari pasar Indonesia,” tambah dia.
Ekonomi digital
Saat ini Indonesia tengah menjadi sorotan dunia karena digadang akan menjadi kekuatan baru ekonomi digital di Asia. Dalam waktu dekat ini, Indonesia akan menyelenggarakan perhelatan e-commerce terbesar “Indonesia E-Commerce Summit & Expo (IESE)” pada tanggal 27 – 29 April mendatang.
Acara yang diselenggarakan oleh Asosiasi E-Commerce Indonesia bersama Kementerian Perdagangan, Kementerian Kominfo, dan Badan Ekonomi Kreatif ini bertujuan untuk semakin mengukuhkan posisi Indonesia dalam kancah perekonomian digital dunia.
“Akan menjadi ironis apabila aturan perpajakan yang tidak jelas ini menodai iklim positif yang tengah dibangun bersama,” lanjut Daniel.