Hadapi RI 4.0, Indonesia Butuh Kudis
Tinggal tersisa beberapa hari lagi sebelum pelantikan Jokowi-Maruf sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2109-2024.
Pelantikan tersebut tentu saja akan diikuti dengan pengumuman susunan kabinet periode kedua Jokowi ini.
Walaupun jumlah kementerian yang beredar dikabarkan tetap 34 kementerian, namun ada beberapa kementerian yang dilebur, sebagai contoh Kemenko bidang Maritim akan menjadi Kemenko Bidang Maritim dan Investasi. Lalu Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) juga berpeluang dilebur dengan Kementerian Perdagangan.
Kementerian baru yang diperkirakan akan muncul salah satunya adalah Kementerian Urusan Digital dan Startup (Kudis), tentu saja tidak persis seperti itu namanya, nama tersebut hanyalah rekaan saya belaka.
Namun intinya kementerian tersebut akan mengurusi masalah ekonomi digital dan kreatif.
Hal ini penting dan perlu mengingat sudah banyak negara di dunia yang memiliki kementerian digital ini. Negara- negara industri maju seperti Inggris, Perancis, Yunani, Rusia dan Polandia sudah memiliki kementerian urusan digital. Bahkan negara-negara di Afrika seperti Benin, Mali, Togo dan Pantai Gading mulai membentuk kementerian digital.
Ada banyak alasan utama kenapa Indonesia harus memiliki kementerian digital.
Seperti yang pernah saya tulis di bawah ini.
https://www.Indovoices.com/ekonomi/forbes-nobatkan-indonesia-macan-baru-asia-tenggara/
Menurut lembaga riset pasar e-Marketer, populasi netter Tanah Air mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Mendudukkan Indonesia di peringkat ke-6 terbesar di dunia dalam hal jumlah pengguna internet.
Hanya berselang empat tahun, di tahun 2018, pemakai internet menjadi 150 juta tahun lalu. Sekaligus menempatkan Indonesia sebagai pengguna Internet terbesar ke-5 dunia. Dan di tahun 2019 ini diperkirakan dari total populasi sebanyak 264 juta jiwa penduduk Indonesia, ada sebanyak 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8 persen yang sudah terhubung ke internet. Alias melonjak dua kali lipat dari tahun 2014, hanya berselang 5 tahun.
Dengan dukungan jumlah pemakai internet yang sangat besar, Perusahaan konsultan manajemen McKinsey memperkirakan bila Indonesia mampu mengoptimalkan digitalisasi, maka ekonominya dapat tumbuh hingga US $ 100-150 miliar atau mencapai 10 persen dari Produk Domestik Bruto negara ini – pada tahun 2025.
Belum lagi Indonesia dikenal sebagai salah satu rumah bagi munculnya Startup-startup Unicorn yakni sebutan untuk startup yang memiliki valuasi nilai valuasi di atas 1 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 14,1 triliun. Startup Unicorn itu adalah Gojek, Bukalapak, Tokopedia, Traveloka. Dan yang terbaru adalah Ovo, yang belum lama ini menjadi Startup Unicorn ke-5 Indonesia.
Luar biasa bukan? Tentu saja luar biasa. Namun sayangnya tidak ada makan siang gratis. Semua pencapaian itu tidak dapat diraih dengan cuma-cuma. Ada begitu banyak hambatan yang harus diselesaikan, mulai dari masalah Cybercrimes, termasuk menjamurnya malware dan penipuan online hingga pornografi yang sebenarnya hanya permasalahan kecil.
Masalah besar sesungguhnya adalah Tingginya kesenjangan bakat digital: tidak banyak penduduk Indonesia yang memiliki keterampilan kerja digital untuk memenuhi permintaan dari pasar tenaga kerja.
Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi Indonesia pernah menyebutkan bila negara ini membutuhkan setidaknya 650.000 talenta yang terlatih secara digital setiap tahunnya. Sementara talenta yang muncul saat ini masih jauh di bawah angka tersebut.
Belum lagi Indonesia juga harus berjuang terhadap kurangnya pengembangan teknologi. Sekolah pendidikan bisnis Institut Internasional untuk Pengembangan Manajemen (IMD) yang berbasis di Swiss menempatkan Indonesia di peringkat ke 59 dari 63 negara di dunia dalam hal pengembangan teknologi Peringkat Daya Digital Dunia 2018.
Indonesia walaupun telah memiliki Roadmap Making Indonesia 4.0, namun masih dianggap sebagai salah satu negara yang tidak memiliki strategi digital terintegrasi dalam tata kelola internet.
Walaupun pemerintah Indonesia memiliki 34 kementerian, namun sangat sedikit dari kementerian tersebut yang betul-betul memberi perhatian terhadap masalah digital. Memang benar ada beberapa inisiatif yang dimunculkan, seperti Beasiswa 4.0 dari Kementerian Perindustrian Making Indonesia 4.0 dan Beasiswa Digital Talent Komunikasi dan Teknologi Informasi, namun sayangnya inisiatif tersebut berjalan sendiri-sendiri, tidak ada keterkaitan. Akibatnya munculah ketidakjelasan terhadap tujuan utama yang ingin dicapai.
Meskipun Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi mencoba mengatasi masalah ini dengan mendirikan Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi. Namun sayangnya, direktorat jenderal hanya berfokus pada pengaturan penyebaran informasi, privasi data, dan masalah yang terkait dengan penggunaan platform e-commerce. Fokusnya adalah pada masalah regulasi dan pembangunan infrastruktur komunikasi.
Sementara itu, lembaga lain fokus mengawasi sektor ekonomi digital seperti misalnya Otoritas Jasa Keuangan. Badan ini menangani penipuan dalam bisnis teknologi keuangan (fintech) dengan menerbitkan peraturannya sendiri tentang inovasi pembiayaan digital.
Untuk itulah dibutuhkan kementerian yang fokus untuk menangani perkembangan digital dan startup di tanah air. Kementerian Urusan Digital dan Startup yang saya singkat menjadi Kudis ini akan menangani ketersediaan tenaga kerja yang memiliki keterampilan digital, memiliki kerangka kerja yang bersifat nasional dan keamanan siber, dan tata kelola digital. Kementerian digital juga dapat hadir sebagai perpanjangan bagi kementerian lain untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan mereka tentang masalah digital dengan berperan sebagai konsultan.
Bila Indonesia mampu meraih dan memanfaatkan peluang ini melalui kementerian urusan digital dan startup, maka Indonesia baru bisa menuai manfaat transformasi digital, peningkatan produksi barang dan kemudahan komunikasi.
Kementerian Urusan Digital dan Startup (Kudis), dapat menjadi jawaban dari pemerintah Indonesia dalam menghadapi tantangan Revolusi Industri (RI) 4.0.
Yang terakhir, sebagus apa pun sebuah kementerian, tentu tidak akan bermanfaat bila dipimpin oleh menteri yang kurang cakap dan tidak mampu menginplementasikan apa yang sudah digariskan dalam Roadmap Making Indonesia 4.0. Akhirnya teori yang bagus di atas kertas hanya akan tetap menjadi teori. Mampukah Jokowi menunjukkan orang yang tepat untuk memimpin Kudis? Saya penasaran, siapa yang akan terpilih, semoga saja menterinya tidak benar-benar kudisan atau kurapan, bagaimana menurut Anda?
Untuk membaca tulisan saya yang lain, sikahkan klik di sini