Indovoices.com –Sebagai negara dengan dua pertiga wilayah merupakan lautan, Indonesia memiliki potensi besar untuk memaksimalkan sumber daya di sektor kelautan dan perikanan.
Sayangnya, potensi tersebut menjadi tidak maksimal karena berbagai persoalan illegal, unreported and unregulated fishing atau IUU Fishing yang masih marak terjadi di zona laut Indonesia.
Bila praktik IUU Fishing ini tak ditangani oleh pemerintah secara serius, sektor kelautan dan perikanan bakal mengalami kerugian besar. Tak hanya secara materi, bahkan Indonesia terancam tidak dapat menikmati sumber daya laut sendiri.
Berikut rangkuman mengenai kerugian yang dialami Indonesia akibat praktik illegal fishing:
Kerugian Negara Mencapai Rp 56 Triliun per Tahun
Menurut CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Mas Achmad Santosa, setidaknya Indonesia mengalami kerugian mencapai USD 4 miliar per tahun atau setara Rp 56,13 triliun akibat praktik illegal fishing.
“Di Indonesia sendiri, besar kerugian yang dialami negara dari praktik illegal fishing setidaknya USD 4 miliar per tahun,” ujarnya.
Sementara estimasi untuk kerugian secara global mencapai USD 15,5 miliar sampai USD 36,4 miliar dari 11-26 juta ton ikan yang ditangkap. Khusus di wilayah Samudera Pasifik, mencapai 4-7 juta ton per tahun dengan nilai USD 4,3 miliar hingga USD 8,3 miliar.
Terancam Tak Menikmati Sumber Daya Perikanan di Laut Natuna
Kepala Bakamla, Laksamana Madya Aan Kurnia, mengatakan masalah illegal fishing saat ini masih terjadi di Laut Natuna Utara. Menurut dia, jika tak diselesaikan secepatnya bisa menjadi ancaman serius.
“Sumber daya perikanan di Laut Natuna Utara berpotensi besar untuk tidak dinikmati oleh Indonesia,” kata Aan kepada kumparan, Rabu (10/6).
Masalah tersebut, kata Aan, terutama disebabkan maraknya praktik illegal fishing di salah satu wilayah ZEE Indonesia. Ketidakhadiran kapal nelayan Indonesia juga membuat persoalan semakin kompleks.
Nasib Nelayan Lokal Terancam
Menurut Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Abdul Halim, maraknya praktik IUU Fishing ini juga dikhawatirkan mengancam kesejahteraan nelayan lokal. Pencurian secara masif telah menyebabkan stok ikan mengalami deplesi.
“Kerugian bagi nelayan, kesempatan mereka untuk memperoleh tangkapan yang baik menjadi berkurang atau bahkan hilang,” ujar Abdul Halim.
Para nelayan ini terancam kehilangan mata pencaharian. Mereka, menurut Abdul Halim, kalah secara teknologi dari kapal-kapal asing yang melakukan pencurian di tengah lautan.
Tak Hanya Curi Ikan, Praktik Perbudakan hingga Pencurian Satwa Langka juga Terjadi
Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019, Susi Pudjiastuti, juga turut menyampaikan keresahan terhadap maraknya praktek IUU Fishing.
Menurut Susi, kerugian yang diderita bukan cuma pencurian ikan, melainkan juga ada ancaman masalah perbudakan, pencurian terhadap minyak hingga penjualan satwa langka.
“Dari penyelidikan kita itu illegal fishing juga ada perbudakan, human trafficking, ada endangered species animal trade. IUU Fishing bukan sekadar kejahatan mencuri ikan, mereka di Indonesia juga ambil kura-kura, ambil burung, kulit buaya dan lain-lain, mereka juga membawa barang barang ilegal yang diperdagangkan di tengah laut,” ujar Susi saat menjadi pembicara webinar.
Ribuan ABK WNI Jadi Korban Perbudakan
Sebagaimana yang dikatakan oleh Susi, tak sedikit warga negara Indonesia yang menjadi korban perbudakan akibat adanya praktik IUU Fishing.
Menurut Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia, Judha Nugraha, sudah ribuan WNI yang bekerja sebagai anak buah kapal atau ABK jadi korban perbudakan.
“Kasus-kasus ini adalah puncak gunung es. Dalam catatan kami, tahun 2017 ada sekitar 1.200-an kasus yang kami tangani terkait dengan pelaut. Tahun 2018 juga sama sekitar 1.200-an, 2019 ada 1.095 kasus yang kami tangani,” ujarnya dalam sebuah diskusi virtual. (msn)