Bukan berita wafat dirinya benar yang membuatnya terkejut dan meradang. Ia belum mati. Yang mati itu kakaknya. Berita French Newspaper di tahun 1888 itu sangatlah salah.
Tapi judul berita wafat tersebut yang lebih menghentak: Pedagang Kematian itu Telah Mati!
Ujarnya, saya ini seorang ilmuwan. Seorang penemu. Bukan pedagang. Apalagi di era itu kata pedagang berkonotasi negatif. Pedagang dilabelkan umumnya kepada orang yang hanya berpikir untung dan rugi bagi dirinya. Tak peduli kadang dilakukan dengan menipu pula.
Ia seorang inventor. Ia sudah mendapatkan aneka hak paten dari banyak penemuannya. Bahwa kemudian penemuan itu memiliki nilai komersial, dan ia ikut kaya raya, itu hanya konswensi logis saja. Ia juga penyair. Ia menulis puisi. Ia menulis naskah drama. Jelas ia bukan pedagang.
Celakanya, tak hanya pedagang. Ia disebut pula dengan label yang sangat gelap: “Pedagang Kematian.”
Ia hanya menemukan dinamit. Dengan dinamit, jalan lebih mudah dibuat. Gunung dapat ditembus dengan cara meledakannya. Bukankah infrastuktur lebih mudah dibangun melintasi bukit untuk menumbuhkan peradaban?
Tapi ternyata dinamit digunakan pula oleh banyak negara untuk alat perang. Ia membuat orang lebih banyak mati. Dan dinamit memang menghancurkan jasad yang mati lebih dahsyat dibandingkan senapan.
Ia memprotes keras: “Sungguh tak adil. Itu jangan semua ditimpakan kepada saya. Bukankah apapun yang kita temukan, dapat disalah gunakan?”
Alfred Nobel namanya. Ia kaya raya karena penemuannya. Hartanya saat itu sekitar dua trilyun rupiah jika diukur dari nilai uang sekarang.
Ia merenung dalam. Apa guna bagi dirinya semua penemuan tersebut? Apa berkah baginya semua kekayaan itu jika sejarah mengenangnya sebagai raja kegelapan, yang menyebabkan begitu banyak kematian?
Itulah awal yang membalik kehidupan. Ia tak ingin mati dengan reputasi buruk. Ia ingin dikenang dengan sebutan yang penuh respek karena kontribusinya untuk kemanusiaan.
Setelah lama merenung, ia membuat keputusan. Kepada keluarga dan ahli hukum, ia sampaikan kehendak tertingginya. Ia ingin menyumbangkan 96 persen hartanya untuk kepentingan kemanusiaan. Ia meminta keluarganya ikhlas mendapatkan 4 persen saja.
Tapi bagaimana cara menggunakan 96 persen kekayaannya, yang bernilai sekitar 2 trilyun rupiah? Ia pun membuat wasiat. Ia ingin namanya dibersihkan. Namanya menjadi penghargaan untuk siapapun yang berjasa paling besar bagi kemanusiaan setiap tahun.
Tapi begitu banyak yang berjasa! Saat itu ia membatasi. Hadiah Nobel setiap tahun, bagi yang paling berjasa di bidang ilmu kimia, ilmu fisika, ilmu kesehatan, sastra dan perdamaian.
Dimulailah tradisi penghargaan nobel di tahun 1901. Hingga kini (2019) sudah diberikan 590 hadiah kepada 935 pemenang. Mulai tahun 1969, Nobel juga diberikan kepada pencapaian di bidang ekonomi.
Setelah lebih dari seratus tahun kematiannya, kata Nobel lebih cepat mengingatkan kita kepada hadiah yang teramat bergengsi, bukan kepada pedagang kematian.
-000-
Saya mengunjungi negara Kelahiran Alfred Nobel, Swedia di tahun 2012. Di ibu kota negara ini, Stockholm, hadiah Nobel dititahkan.
Nobel Museum didirikan tahun 2001. Saat itu ia dibangun dan dibuka memang sengaja bertepatan dengan perayaan 100 tahun tradisi hadiah Nobel.
Aneka hal ihwal soal Nobel ada di sana. Tak hanya tersedia informasi soal penerima nobel yang sudah ratusan itu. Tersaji pula riwayat hidup para nobel laureates, penerima nobel. Juga dapat dibaca perdebatan dan proses soal mengapa tokoh itu mendapatkan hadiah nobel.
Saya juga mengunjungi Blue Hall di Stockholm City Hall. Di gedung ini terdapat ruang makan malam yang megah, besar dan agung. Terdapat susunan meja dan kursi untuk 1300 undangan, termasuk keluarga kerajaan, dan 200 undangan khusus para siswa.
Di ruang inilah hadiah Nobel diserahkan. Di ruangan ini pula para penerima hadiah Nobel berpidato menyampaikan pandangan ketika menerima Nobel.
Lama saya terdiam hikmat di sana. Saya membayangkan duduk di kursi itu, mendengar William Faulkner berpidato ketika ia menerima Nobel Sastra di tahun di tahun 1949.
Ujar Faulkner, “Saya meyakini manusia akan selalu melampaui rintangan zaman. Ia memiliki jiwa. Ia memiliki kasih sayang, pengorbanan dan daya tahan terhadap derita. Karakter ini menjadi isu abadi yang ditulis oleh para penyair dan sastrawan besar.”
Sebanyak 1300 pengunjung bertepuk. Saya membayangkan, dari kursi itu saya ikut bertepuk sambil berdiri.
Saya juga berfantasi hadir ketika di ruangan ini, Dalai Lama menerima penghargaan Nobel Perdamaian di tahun 1989. Guru suci tersebut berpidato, seperti yang bisa kita dengar rekamannya:
“Saya menerima hadiah ini, atas nama mereka yang ditindas di seluruh dunia. Atas nama mereka yang berjuang untuk keadilan dan kebebasan. Saya menerima hadiah ini, dengan mengingat Mahatma Gandhi yang memulai perlawanan dengan semangat non- kekerasan.”
Kembali aula ini bergema. Lebih dari seribu tamu kehormatan berdiri tepuk tangan. Saya juga membayangkan dari kursi sebelah sana, ikut berdiri.
Wah, kini bulu kuduk saya ikut berdiri. Saya merasakan getaran di ruang itu. Ialah ruangan yang menjadi saksi begitu banyak pencapaian peradaban yang ditasbihkan di sini.
-000-
Setelah lebih dari 100 tahun, tentu apapun, termasuk penghargaan hadiah nobel tak terlepas dari kontroversi. Mengapa tokoh sekaliber Mahatma Gandhi tak pernah menerima Nobel Perdamaian? Mengapa ilmuwan sebesar Thomas Alfa Edison juga tak pernah menerima Nobel?
Layakkah Henry Kisinger menerima Nobel perdamaian ketika ia justru yang menyebabkan perang? Pantaskah Obama juga menerima Nobel ketika itu ia belum menunjukkan legacynya?
Cukupkah hadiah bagi setiap pemenang, sekitar 1.1 juta USD? Kurs rupiah bagi hadiah itu sekitar 15 milyar rupiah untuk setiap pemenang. Bukankah dana Alfred Nobel lebih dari 2 trilyun di awal?
Hebatnya dana abadi dari Alfred Nobel terus bertambah. Awalnya nilai uang Alfred Nobel yang disumbangkan memang sekitar 2 trilyun rupiah. Ini nilai yang sudah disesuaikan dengan nilai sekarang.
Tapi dana yang tersedia, yang abadi, walau setiap tahun selalu dibagikan sebagian, justru meningkat. Jumlah dana tersedia kini sekitar 6 trilyun rupiah.
Dana abadi dari Alfred Nobel ternyata tidak disimpan begitu saja di bank. Dana itu diputar pula agar justru berkembang biak. Tak hanya dibelikan bond (20 persen) dan saham (50 persen), tapi juga dibelikan lain lain (30 persen) seperti real estate.
Banyak hal memang tak terduga. Jika di tahun 1888, koran France Newspaper tidak salah tulis, mungkin kita tak mengenal hadiah yang bernama Nobel Prize. Dan saya pun tidak berdiri lama merenung dengan hikmat di ruangan Nobel itu.
Dan siapa pula menduga? Pada waktunya, siapa tahu ada pula manusia yang menerima Nobel karena pencapaiannya entah di bidang keilmuwan, sastra atau kemanusiaan?
Sebelum kini ramai ramai orang super kaya, berniat menyumbangkan dananya untuk kepentingan publik, dari 50 persen hingga 90 persen atas semua kekayaannya, lebih dari 100 tahun lalu, Alfred Nobel ikut memulai tradisi itu, menyumbangkan 96 persen kekayaan untuk publik.
Siapa pula menduga? Siapa tahu pada waktunya orang super kaya di Indonesia ada pula yang membuat pernyataan publik? Misalnya, Ia menyumbangkan 50 persen hingga 96 persen dari seluruh kekayaannya untuk kemanusiaan dan ilmu pengetahuan?***
Agustus 2019
Link: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/2300548250041311?sfns=mo