Oleh: Xavier Quentin Pranata
Indovoices.com – Saya terus terang kecewa dengan debat capres-cawapres semalam. Masing-masing paslon tampak sibuk ‘menghafal’ bagiannya masing-masing sehingga kehilangan substansi, analisis kritis dan solusi yang membumi. Beda kelas dengan debat cagub-cawagub DKI yang lalu baik Jokowi-Ahok lawan petahana maupun Ahok-Jarot vs Anies-Sandi.
Paling tidak ada lima hal yang hilang dari debat semalam.
Pertama, karena kisi-kisi pertanyaan sudah diberikan seminggu sebelum debat—dan ini mengundang kritik para pakar maupun kaum awam—peserta debat hanya ingin menyelesaikan apa yang menjadi bagiannya sebelum waktu habis. Akibatnya, point-point penting kurang ditekankan dan dielaborasi. Mengingat waktu, memang tidak bisa setiap point diperjelas, namun kalau semua disampaikan secara datar dan seperti ‘membaca’ makalah di udara, ya kehilangan ketajamannya.
Kedua, peran cawapres kurang mendapat bagian. Mereka seperti dijadikan ‘pelengkap penderita’ dan bukan salah satu determinant factor. Mereka seakan-akan hanya dipakai untuk mendukung pernyataan capres dan ‘menghabiskan’ waktu yang sisa. Saya berharap kedua cawapres bisa mem-back up pernyataan capres dengan data tambahan dan argumentasi yang mematahkan pihak lawan. Nyatanya, mereka justru dipatahkan oleh capresnya sendiri dan waktu. Ada yang hanya memperoleh sisa waktu yang benar-benar sisa, sehingga untuk mengucapkan satu kalimat saja tidak selesai dan mendapat teguran moderator.
Ketiga, ada tiga isu penting yang justru hilang atau ‘sengaja’ dihilangkan karena menyangkut masalah kontroversial, yaitu kasus penculikan aktivis yang ikut-ikutan ‘diculik’ dan ‘dihilangkan’ dari materi debat, kasus Bank Century dan BLBI, serta penyiraman air keras Novel Baswedan yang sampai hari ini ikut tersiram air hujan sehingga tidak jelas jejaknya. Apakah capres dua belah pihak takut membuka ‘kotak pandora’ sehingga ketika ketiga masalah itu dibuka, banyak pihak yang terkena kutukan kotak pembawa bencana itu?
Keempat, meskipun terjadi saling serang kelemahan pihak lawan, mereka tidak berani mengatakannya secara gamblang. Untuk kasus yang terang benderang seperti Ratnau Sarumpaet pun, Jokowi hanya memakai kata-kata sindirian aniaya dan operasi plastik. Sandi yang berani menyebutkan kasus-kasus yang dianggap gagal ditangani pemerintahan petahana. Mengapa? Untuk kasus-kasus yang sensitif, saya percaya masing-masing pihak berhati-hati, karena kalau salah bicara bisa jadi gorengan pihak lawan.
Kelima, ini yang benar-benar hilang dari debat semalam. Tepuk tangan. Mungkin karena sudah dicantumkan sejak awal bahwa tepuk tangan dan yel-yel baru boleh dilakukan masing-masing pendukung setelah acara setiap segmen berakhir. Saya oke saja jika tepuk tangan sampai mengganggu jalannya debat sehingga kita yang ada di dalamnya maupun yang menyaksikan lewat layar kaca jadi tidak bisa mendengar ucapan paslon. Namun, melarang tepuk tangan sama sekali membuat suasana jadi dingin, kaku dan sangat normatif. Debat yang seharusnya memikat jadi kehilangan daya pikatnya.
Segala sesuatu yang diatur sedemikian kaku pasti ada yang dikorbankan. Pidato yang tidak menarik pun bisa panen tepuk tangan jika pejabat yang disegani (baca: ditakuti) naik ke mimbar. Saya pernah membaca kisah yang masih membuat saya menyunggingkan senyum saat menulis bagian ini. Di suatu acara, seorang ibu dengan suara jelek menyanyi. Suaranya yang bak gagak masuk angin menuai tepuk tangan yang gemuruh. Seorang tamu undangan bertanya kepada sebelahnya, “Aneh sekali penduduk desa ini. Penyanyi cantik bersuara emas yang tadi tidak mendapatkan tepukan tangan semeriah ini. Bagaimana sih selera orang sini?”
“Ssst! Jangan keras-keras. Yang baru nyanyi tadi istri Pak Camat,” ujar yang ditanya menjawab dengan mimik ketakutan.
Kisah lainnya saya dapatkan dari seorang pianis. Seorang pianis muda selesai mengadakan konser tunggal. Setiap selesai memainkan satu lagu, penonton menyambutnya dengan tepuk tangan disertai standing ovation. Namun, gadis ini diam membeku. Tidak ada ekspresi.
“Kok kamu kelihatan sedih?” tanya seorang pengunjung, “Bukankah sambutan penonton luar biasa?”
“Soalnya guru saya tidak bertepuk tangan, apalagi berdiri,” ujarnya sambil mengusap air matanya.
Suatu kali dia memainkan satu nomor lagu di ruangan kecil dan dihadiri segelintir orang. Begitu selesai dengan lagu itu dan melihat gurunya memberi standing applause, gadis itu melompat dari kursinya sambil berteriak, “Yes!” Wajahnya berbinar-binar dengan senyum lebar.
Kembali ke debat semalam, standing ovation dan standing applause saya berikan kepada pendukung masing-masing paslon yang nobar di sebuah café di Jakarta dengan suasana yang kondusif. Mereka menunjukkan bagaimana demokrasi yang dewasa. Merekalah yang layak mendapatkan tepuk tangan. Saya berharap saya bisa memberi tepuk tangan pada debat putaran berikutnya. Bagaimana dengan Anda?
- Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.