
Ditahun-tahun politik ini, suasana mulai terasa hangat, semakin dekat akan semakin panas. Seorang teman sangat khawatir bakal timbul kerusuhan mendekati Pilpres 2019 nanti. “Apa Indonesia bakal seperti Suriah, Afghanistan atau Yaman, yang rakyatnya berperang melawan saudaranya sendiri?” Sambil tersenyum saya menjawab, “Tidak akan terjadi! Selama generasi tua, generasi muda, dan generasi-genarasi berikutnya punya kesadaran dan tanggung jawab untuk menjaga negara dan bangsanya sendiri dari perpecahan, Indonesia akan menjadi negara yang aman dan selamat sampai kiamat”.
Politik dengan membawa-bawa agama masih laku dijual, dan akan terus dilakukan sepanjang Pilpres belum selesai. Demi kekuasaan, sekelompok orang dengan sengaja memancing diair keruh, memantik emosi masyarakat dengan trik yang sangat jitu; kalau tidak bisa mempengaruhi akal dan pikirannya, permainkan saja keyakinannya. Kira-kira begitu.
Contoh kecil arogansi orang yang tidak punya kesadaran baru saja dialami seorang ibu dan anak. Dengan mata kepala sendiri, puluhan (mungkin ratusan) orang melihat langsung bagaimana ‘bang jago’ pendukung presiden yang belum jelas, yang pokoknya #2019GantiPresiden, memaki-maki seorang perempuan dan anak kecil yang sedang jalan-jalan rekreasi. Itu baru masalah kaos yang beda hashtag. Apalagi kalau kita sampai menyinggung-nyinggung masalah keyakinan, bisa-bisa dipersekusi!
Presiden Jokowi, hari Senin kemarin, menyambut kedatangan tamu kehormatan, Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Muhammad At-Thayeb, dari Kairo-Mesir. Pertemuan yang diinisiasi Prof.Dr. Din Syamsudin, terkait rangkaian pertemuan High Level Consultation dengan tujuan mensyiarkan Wasathiyah Islam, atau The Middle Path Islam _ Jalan Tengah Islam. Islam moderat yang mengedepankan perdamaian untuk mengatasi krisis diberbagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim, dengan cakupan yang lebih luas, untuk menjawab tantangan dunia.
Moderatnya Islam bukan berarti Liberal dalam pengertian ‘bebas sepemahaman nya sendiri’ seperti anggapan masyarakat disini. Dalam bahasa Arab, Wasathiyah memiliki tiga makna; kadar sesuatu (ukuran), adil, dan hal yang terbaik (mulia). Wasathiyah Islam diharapkan identik dengan penganutnya. Apalagi Indonesia, yang dikenal dunia karena masyarakatnya yang ramah dan berbudi pekerti luhur, dengan Pancasila sebagai perekat perbedaan, sudah selayaknya menjauhi kekerasan sebagai penyelesaian masalah, dan jangan membuat masalah dengan memulai kekerasan.
Intinya, wawasan ke Islaman yang menegakkan keseimbangan, penuh toleransi, mengambil jalan tengah, cenderung menyelesaikan masalah dengan kompromi dan tidak menjelekkan apalagi sampai mengkafirkan pihak lain. Jangan terjebak radikalisme, fundamentalisme, apalagi extrimisme. Pancasila merupakan manifestasi Wasathiyah Islam, yang relatif berhasil kita tampilkan secara nyata. (Prof.Dr. Din Syamsudin. Sekkab.com, Senin, 30 April 2019)
Jadi, siapa sebenarnya yang ingin bertikai? Pilkada Jakarta adalah bukti nyata ambisi sekelompok orang yang ingin berkuasa sampai tega memisahkan masyarakat yang satu dengan yang lain. Bagaimana terpecah-belahnya kita saat itu, sakitnya masih terasa didalam hati. Akankah sejarah kelam Pilkada Jakarta terulang kembali di Pilpres 2019 nanti?
Sudah waktunya kita benar-benar berpikir.