Kalahnya Djarot – Sihar di Pilkada Sumatera Utara bukan hanya menyisakan kekecewaan dihati pemilihnya, tapi sekaligus membuat kecewa pendukung Ahok-Djarot di Jakarta. Jelas ada harapan yang bakal diteruskan Djarot demi tata kelola pemerintahan yang bersih dan maju di Sumatera-Utara. Setelah Ahok-Djarot jatuh dihempas politik SARA, Jakarta berjalan mundur ditangan Gubernur baru. Melihat fakta ini, banyak yang berharap Djarot kembali tampil sebagai tokoh berintegritas yang akan membawa perubahan, tidak jadi masalah beliau ada dimana.
Kekalahan Djarot harus jadi evaluasi kedepan. Saya menilai partai pendukung salah perhitungan, kelewat pede dengan mengusung Djarot dalam waktu yang singkat. Sumatera Utara beda dengan Jawa Tengah atau Bali, yang memang basis pemilih partai ini. Perlu pendekatan kultural yang kurang lebih sama dengan Jawa-Barat. Lebih-lebih dengan situasi politik akhir-akhir ini, politik Identitas dan Ideologi sedang berkembang, dan sudah dimainkan sejak Pilpres 2014 lalu, makin semarak lagi di Pilkada Jakarta kemarin.
Saya menyesalkan PDI Perjuangan yang tidak juga bergerak mengikuti perubahan ini, tidak berusaha keras menyatukan kembali masyarakat yang terlanjur terpecah-belah akibat masifnya propaganda berdalih agama yang dilakukan partai pesaing, yang melabelkan dirinya sebagai ‘Partai Allah’. Nasionalisme jelas tidak bertentangan dengan agama, begitu juga sebaliknya. Bila keduanya dibenturkan, hasilnya apa? Terjadi komplikasi diorgan terpenting bangsa; cacatnya persatuan. Sakitnya sedang kita rasakan, dan harus diobati, segera!
PDI Perjuangan punya banyak kader berkualitas dan berintegritas, asset berharga yang dimiliki partai politik. Tapi sekarang partai nasionalis ini justru diposisikan sebagai partai yang menyengsarakan rakyat kecil, partai yang berpihak pada aseng-asing, penjual asset negara, sarangnya komunis… Banyak fitnah yang harus diluruskan dengan sungguh-sungguh. Banyak yang harus dibenahi agar suara rakyat yang menjauh kembali lagi. PDI- Perjuangan bukan partai politik yang baru tumbuh, bukan hanya sekali-dua kali berhadapan dengan rezim orde baru.
Partai ini sudah teruji, bermetamorfosa dari PNI era Soekarno ke PDI era Megawati. Sayang kalau di Pemilu Legislatif nanti elektabilitasnya bakal merosot tajam, setajam partai Demokrat yang terjun bebas karena banyaknya kasus korupsi.
Saya dan keluarga besar pendukung setia Partai Demokrasi Indonesia, dengan atau tanpa Perjuangan dibelakangnya. Saya tidak akan pindah kelain partai, biar saya sebal dengan Rieke Dyah Pitaloka, biar saya gregetan dengan Masinton Pasaribu, tetap saja, akan saya ikuti terus partai ini selama tidak berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin a la PKS atau Hizbut Tahrir a la Khilafah Indonesia (dua-duanya ideologi adopsi dari negara lain, bukan ideologi bangsa sendiri), saya tidak mau.
Pilpres tinggal setahun lagi, jangan sia-siakan waktu dengan membuat blunder yang tidak perlu, karena naik- turunnya elektabilitas partai juga berimbas pada naik-turunnya elektabilitas calon presiden. PDI-Perjuangan harus mempererat hubungan dengan partai-partai koalisi, dekati rakyat dengan menampung aspirasinya dan berjuang bersama mereka.
Tampilkan kader-kader muda potensial seperti Adian Napitupulu, Maruarar Sirait dan Budiman Sudjatmiko, juga putera-putera daerah yang akan bergerak memperjuangkan perolehan suara di daerahnya masing-masing. Era milenial harus berhadapan dengan generasi muda, itu untuk jangka panjang. Jangka pendeknya, perjuangkan Pak Jokowi jadi presiden dua periode, itu harus pasti (terjadi)
Ini cuma pendapat saya pribadi. Kurang-kurangnya dimaafkan saja, ya?
Salam kekurangan.