Kasus Etihad Airways yang menurunkan Dwi Aryani dari pesawat karena menggunakan kursi roda adalah satu dari banyaknya kasus mengenai kurangnya kesadaran masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Pemerintah tentunya berupaya melindungi hak penyandang disabilitas agar kasus tersebut tidak terulang kembali. Hal ini terbukti dari terbentuknya Undang Undang no. 8 tahun 2016 tentang disabilitas yang dibentuk oleh DPR.
Undang undang tersebut mungkin belum sepenuhnya mengakomodir harapan penyandang disabilitas. Dikutip dari Tirto.id pada tanggal 8 September 2016, Ketua Forum Kesejahteraan Penyandang Cacat Tubuh Indonesia (FKPCTI) Mahmud Fasa mengatakan, pihaknya mengajukan 268 pasal ke badan lesgislasi DPR, tetapi hanya 153 pasal yang muncul. Terdapat lebih dari 100 pasal yang terpotong. Ia pun merasa tidak puas dengan keputusan tersebut.
Meskipun tidak semua pasal tersebut disahkan oleh pemerintah, namun terdapat satu poin penting yang diharapkan dapat menggawangi pelaksanaan UU. Poin tersebut adalah tentang pembentukan Komnas disabilitas yang bertugas melaksanakan pemantauan, evaluasi, advokasi pelaksanaan penghormatan, pelindungan dan pemenuhan hak-hak penyadang disabilitas. Semua tugas akan dilaporkan kepada Presiden. Komnas Disabilitas harus terbentuk tiga tahun setelah UU disahkan atau maksimal pada Maret 2019.
Jika Komnas Disabilitas tidak terbentuk, maka undang undang tentang disabilitas ini terancam hanya sebatas tulisan diatas kertas saja. “Pembentukannya sangat penting. Ini menjadi lembaga pemantauan dan implementasi UU Penyandang Disabilitas. Perlu lembaga independen yang monitor, evaluasi dan implementasi hak-hak disabilitas,” kata Hadianti Ramadhani, project officer Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas kepada tirto.id, pada Rabu (7/9/2016).
Di dalam UU ini ditegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak hidup bebas dan terlepas dari stigma buruk yang menimpa dirinya. UU tersebut mengatakan bahwa jika ada masyarakat yang mengurangi hak hak penyandang disabilitas dikenakan pidana dua tahun di penjara dan denda Rp 150 juta. Hal ini ditujukan untuk melindungi penyandang disabilitas dari penipuan dan penghinaan yang diberikan oleh masyarakat. Hal ini juga berlaku untuk keluarga yang semena mena menyerahkan penyandang disabilitas fisik maupun mental ke panti. Mereka harus dirawat oleh keluarganya yang diawasi oleh ahli terapis.
Diskriminasi di dunia Pendidikan
Berdasarkan pantauan komunitas yang peduli penyandang disabilitas, diskriminasi di bidang pendidikan antara lain pernah terjadi dalam mekanisme Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014. Pada bagian daftar perguruan tinggi berserta jurusannya, tertera beberapa opsi persyaratan untuk calon mahasiswa yang mendaftar. Terdapat tujuh kode persyaratan, yakni : tidak tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa, buta warna sebagian, buta warna keseluruhan maupun sebagian. Hal itu tentu merupakan contoh diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dalam bidang pendidikan. Tak heran jika hanya terdapat hitungan jari penyandang disabilitas yang dapat duduk di bangku perguruan tinggi.
Fajri Nursyamsi, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) juga membenarkan adanya diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di perguruan tinggi. Menurut Fajri, turunnya jumlah penyandang disabilitas yang mengenyam pendidikan tinggi bukan hanya masalah biaya pendidikan dan adaptasi, tetapi juga perlakuan diskriminasi dari lembaga pendidikan. Faktor-faktor itu menyebabkan orang putus sekolah.
UU Penyandang disabilitas pastinya dapat mengakomodir hal tersebut. Dalam pasal 10 disebutkan tentang hak penyandang disabilitas. Salah satu poinnya yakni: “Hak pendidikan untuk penyandang disabilitas meliputi hak: (c) mempunyai kesamaan kesempatan sebagai penyelenggara pendidikan bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan”.
Kurangnya Lapangan Pekerjaan
Serupa dengan bidang pendidikan, penyandang disabilitas juga memiliki peluang pekerjaan yang kecil. Persyaratan lowongan pekerjaan dalam sebuah perusahaan dibilang terlalu tinggi untuk penyandang disabilitas. FKPCTI meminta untuk dihapusnya syarat tinggi yang ditetapkan perusahaan bagi penyandang disabilitas.
Kementerian Ketenagakerjaan mengakui adanya syarat tinggi yang ditetapkan perusahaan bagi bagi penyandang disabilitas. Menurut Sapto Purnomo, Kasubdit PTK Khusus Direktorat PTKDN, Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK, Kementerian Ketenagkerjaan, pihaknya membantu menegosiasikan kepada perusahaan. “Kalau syaratnya terlalu tinggi untuk penyandang disabilitas maka tugas kami untuk menegosiasikan kepada pihak perusahaan,” ucapnya, pada Selasa (6/9/2016).
Pemerintah sebenarnya sudah mewajibkan perusahaan negara untuk memperkerjakan penyelandang disabilitas sebanyak 2 persen dari total tenaga kerja; dan 1 persen untuk perusahaan swasta. Bahkan, UU juga memberikan insentif bagi perusahaan swasta yang menjalani kewajiban ini. Sebenarnya, Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sudah lama memberlakukan aturan ini.
Kemenaker terus aktif memberikan sosialisasi terkait pemberlakuan kerja untuk penyandang disabilitas karena hal tersebut diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas yang menyebut, pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Sedangkan ayat (2) mewajibkan perusahaan swasta mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
Fasilitas untuk Disabilitas
Tentu sulit bagi penyandang disabilitas untuk bergerak dengan nyaman jika pemerintah tidak memberikan fasilitas yang memadai untuk penyandang disabilitas. Hal ini tak bisa dihilangkan dari catatan saat rapat pembahasan UU berlangsung.
anggota Komis VIII Ledia Hanifa dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengungkap betapa abainya pemerintah terhadap penyandang disabilitas. “Contohnya saja Gedung Nusantara (DPR) ini. Sulit sekali bagi penyandang disabilitas untuk masuk.” Ucapnya.
Ledia mengatakan, dalam aturan Kementerian Pekerjaan Umum, sudah tertera kewajiban membangun fasilitas khusus penyandang disabilitas seperti jalan untuk kursi roda. Namun, pihak yang seharusnya menjalankan, sendiri, cenderung abai. Dalam aturan tersebut.
Fasilitas yang terdapat di transportasi umum juga tak kalah memilukan. Hal itu dapat dilihat kurang ramahnya halte Transjakarta untuk penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda. Tangga dari halte tersebut cenderung tinggi dan suram. Maka dari itu, pemerintah diminta untuk lebih memerhatikan fasilitas tersebut.
Tentu sulit bagi penyandang disabilitas untuk bergerak dengan nyaman jika pemerintah tidak memberikan fasilitas yang memadai untuk penyandang disabilitas. Hal ini tak bisa dihilangkan dari catatan saat rapat pembahasan UU berlangsung.