Bagi kita yang pernah menonton film “Forest Gump” pasti akan mengingatnya sebagai karya humanis terbaik yang pernah dibuat. Film ini menceritakan seorang pria jenius penderita difabel namun dalam epik perjalanan hidupnya, bertemu dengan tokoh-tokoh besar, berada di setiap peristiwa bersejarah, mempengaruhi terjadinya perubahan budaya, politik, ekonomi hingga prespektif pemimpin menyelesaikan persoalan.
Tak sama persis, sosok hanya sebuah obyek imajinasi, namun Indonesia masa kini adalah juga Indonesia yang stag dan buntu, dimana teori-teori modernisasi tak pernah meyakinkan dan membawa kesejahteraan bagi bangsa dan Negara Indonesia. Ujungnya, meski melewati Reformasi 1998, hanya melahirkan korupsi sistemik di semua lini, yang dilakukan oleh orang-orang pandai dan terhormat. Intrik kepentingin silih berganti menyita energi kita yang seharusnya terpakai untuk meningkatkan harkat dan martabat berbangsa.
Jokowi muncul di tengah keputusasaan soal kepemimpinan. Menawarkan anti-hero, anti-tesis memutar balikkan kalkulasi politik dan teori mainstream dan mainset Indonesia pada umumnya. Membuat para profesor ahli ketatanegaraan, ilmu politik, ekonomi, intelejen hingga ahli ramal tak habis fikir dengan apa yang Jokowi lakukan. Adegan si aktor Tom Hank yang pada awalnya joging sendirian di tengah cibiran orang. Terus berlari tak peduli hujatan dan teriakan justru membuat orang semakin penasaran. Beberapa orang mengikuti sekedar tahu apa yang dilakukan manusia “gila” itu. Terus berlari lurus melintasi banyak hal, tempat dan kejadian. Menyisakan fenomena di jejak yang dia tinggalkan. Pengikut larinya makin berbiak, makin membesar menjadi empati tersendiri. Konsep anti-tesisnya membuat nyaman sebagian orang, sebagian lagi terbelah antara tidak nyaman dan kebingungan.
Hingga muncul pertanyaan, apakah yang dilakukan Jokowi ‘berlari” adalah sebuah “kebodohan”? Jawabannya tidak. Jokowi sedang bergerak melakukan apa saja, melewati apapun untuk mencapai tujuan. Dia tidak peduli rintangan, rasa sakit, kelelahan bahkan urusan pribadinya.. Dalam film Forest Gump, orang orang yang mengikutinya berlari, memilihnya sebagai panutan yang justru tidak semakin surut jumlahnya karena mereka merasa nyaman saat berlari. Sementara orang orang hebat lain berdiri di pinggir jalan menonton pertunjukan sambil berteriak memaki, menghujat, mengganggu perjalanan mereka.
Kalau boleh meminjam kalimat ungkapannya : Bahwa ada ribuan jalan mendaki gunung, semua mengarah ke puncak yang sama, tak ada yang sia sia jalur mana ditempuh. Kecuali engkau membuang-buang waktu, berjalan di kaki gunung, hilir-mudik, sibuk memberitahu para pendaki bahwa jalan mereka salah.
Kadang dalam situasi bangsa yang serba “komplikasi” berbagai macam kegelisahan, kita tak butuh lagi teori, analisa, ramalan dan retorika masa lalu.
Bergeraklah… Berlarilah lurus ke depan dan lakukan dengan merdeka.
Itu saja.