Marianus Sae, calon gubernur Nusa Tenggara Timur yang diusung PDI perjuangan kena tangkap KPK dalam sebuah operasi tangkap tangan. Sial bagi bupati Ngada tersebut karena penangkapan dirinya hanya berjarak satu hari jelang penetapan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur oleh KPU.
Tepatlah apa yang dikatakan William Shakespeare apalah arti sebuah nama, “What’s in a name”. Nama boleh saja bagus, tetapi toh belum tentu merepresentasikan kepribadian atau karakter seseorang. Ada orang namanya Darmawan tetapi pelitnya minta ampun, ada orang namanya Budiman tapi songongnya amit-amit. Dan kali ini ada Marianus Sae, “Sae” dalam bahasa Jawa artinya “Bagus”, namun ternyata perbuatannya tak sebagus namanya. Sae ternyata “Mboten Sae”, tertangkap tangan oleh KPK karena diduga melakukan penyalahgunaan wewenang.
Bahwa ada asas praduga tak bersalah, iya. Tetapi siapa menyangkal bahwa selama ini jika KPK sudah menetapkan seseorang menjadi tersangka maka hampir dapat dipastikan terbukti di pengadilan. Apalagi operasi tangkap tangan yang artinya tertangkap basah menerima aliran uang. Tidak tanggung-tanggung Marianus diduga menerima sekitar 4,1 miliar rupiah.
Lagi-lagi menyadarkan kita bahwa sulit mencari kepala daerah yang benar-benar bersih, transparan dan profesional.
Ada dua hal yang perlu kita garis bawahi dengan penangkapan Marianus Sae ini. Yang pertama, membuktikan bahwa korupsi tidak mengenal agama. Dan yang kedua, ternyata kita harus mengakui bahwa belum ada politisi yang bisa disejajarkan dengan Ahok soal jujur, bersih, transparan dan profesional.
Korupsi tidak mengenal agama
Saya malah ingat hasil kajian atau penelitian dari salah seorang pengamat politik idola saya Burhanuddin Muhtadi beberapa waktu yang lalu.
Dalam pemaparan penelitiannya, Burhanuddin Muhtadi menjelaskan mengapa Indonesia yang adalah negara agamis tetapi tingkat korupsinya tergolong tinggi. Sebuah anomali karena pada dasarnya semua agama melarang para pemeluknya untuk mengambil hak dari orang lain termasuk korupsi.
Dan betapa mengejutkan hasil penelitian pak Burhanuddin Muhtadi ini. Analisis bivariat dan multivariat menunjukkan makna agama dan perilaku ritual yang dijalani hanya berhubungan signifikan dengan sikap mereka terhadap korupsi, tetapi tidak pada perilaku korupsi. Pendek kata, semakin religius, semakin tinggi tingkat kesalehan seseorang, akan semakin bersikap antikorupsi. Tetapi perilaku korup tetap berjalan dan tidak ada hubungannya dengan masalah agama. Persis dengan iklan partai nganu : Katakan tidak pada(hal) korupsi!!
Agama memang tidak mengenal korupsi, tetapi korupsi ternyata juga tidak mengenal agama. Mereka tidak ada hubunganya dan tidak saling kenal. Kalau sudah begini, apakah kita akan tetap memilih pemimpin berdasarkan agama? Inilah yang musti kita renungkan.
Ahok dari Flores…
Betapa sulitnya mencari pemimpin yang mumpuni dalam bekerja, anti korupsi dalam sikap maupun perilaku. Ketua umun PDI Perjuangan Megawati yang sudah melanglang buana di jagad politik puluhan tahun pun mengakui bahwa dirinya sangat kesulitan mencari sosok yang mantap untuk dijadikan calon kepala daerah.
“Duh cari pemimpin saja susah. Nah akhrinya ketemu deh. Ini dari Bupati Ngada, dia namanya Marianus Sae,” ujar Megawati ketika mengumumkan calon kepala daerah yang akan diusung PDI Perjuangan.-CNN
Marianus sempat dianggap sebagai “Ahok dari Flores” karena prestasinya sebagai Bupati Ngada. Ketegasan dan komitmen Marianus sukses merubah Kabupaten Ngada dari daerah tertinggal menjadi daerah yang cukup berkembang pesat di Nusa Tenggara Timur.
Tetapi apa hendak dikata, memang kapasitas Ahok tidak atau belum ada duanya. Marianus yang digadang gadang melanjutkan komitmen bersih, transparan dan profesional yang ada dalam diri Ahok ternyata “terciduk sebelum ember penuh”. Baru mau naik kelas menjadi gubernur, sudah kena tangkap duluan. Dan ini berarti kita harus kembali menunggu, entah sampai kapan akan muncul orang-orang terbaik di negeri ini yang sekaliber Ahok yang bersih, transparan dan profesional dalam memimpin sebuah daerah.
Dan terakhir, jika kita menyesal sudah kehilangan Ahok, apakah kita akan melakukan kesalahan yang sama dengan membiarkan Jokowi kalah di pilpres 2019? saya yakin tidak. Oleh karena itu mari kita sama-sama memenangkan Djarot di Sumatera Utara, Dedi Mulyadi di Jawa Barat, Ganjar di Jawa Tengah, Khofifah dan kang Emil di Jawa Timur dan muaranya adalah kita akan sama-sama mempertahankan Jokowi hingga dua periode.
Selamat mempertahankan Jokowi!!