Sekarang boleh dibilang meme sedang dipakai untuk ruang pajang. Saat Bu Dendy jadi trending topic number one di twitter, misalnya, meme-nya segera bertebaran. Menjelang pilkada seretak, saya tersenyum sendiri saat melihat meme dengan tulisan “Pilkada Serentak” yang dibayangi tulisan “Black Campaign Serentak”, “Money Politic Serentak”, dan “Hoax Serentak.” Tahun politik ini bisa kita duga akan ramai oleh hal-hal semacam itu. Bagi yang tidak gampang dibodohi alarm hati nurani akan berbunyi, “Fenomena apa ini?” Mari kita analisis dengan memakai pisau bedah kritis kita.
Hoax serentak bisa saja terjadi untuk mendukung atau menjatuhkan calon pasangan tertentu. Contoh kasus di Jawa Timur. Menjelang pemilihan gubernur, wakilnya ‘ditembak’ dengan penyebaran foto dirinya bersama kaki wanita di sebuah mobil. Entah foto itu asli atau editan, saya tidak tahu. Yang jelas calon wakil gubernur itu terpaksa mundur dan digantikan sosok lain.
Sebenarnya, hoax itu apa sih? Apa suara orang muntah? Salah satu definisi hoax ‘terbaik’ justru saya dapatkan dalam sebuah meme yang berbunyi: “Hoax itu dibuat oleh orang pintar yang jahat dan disebarkan oleh orang baik yang bodoh.” Yang jadi masalah, bagaimana dengan hoax yang membikin bahkan orang yang dicap bodoh pun ngakak karena saking tidak masuk akalnya? Apakah yang membuat hoax ini pintar? Sebaliknya, bagaimana dengan hoax yang begitu meyakinkan dan banyak sekali ‘manfaatnya’ sehingga disebarin oleh banyak orang. Apakah yang nyebarin adalah orang baik yang bodoh? Bagaimana bisa dikatakan bodoh karena orang yang masuk kategori pintar pun ikut menyebarkannya?
Black Campain sudah sering kita dengar atau bahkan saksikan sendiri. Pilpres dan pilkada DKI kemarin contohnya. Partai pengusung atau pendukung yang gelap mata bisa saja melakukan kampanye hitam terhadap calon lawan. Ada yang kasar. Ada yang halus. Ada yang superhalus, yaitu melakukan kampanye hitam terhadap calonnya sendiri dan menuduh pihak lawan yang melakukannya. Membingungkan bukan?
Kampanye hitam yang dibuat dengan ceroboh justru menguntungkan pihak yang dihitamkan oleh kampanye itu. Misalnya, tuduhan aseng dan antek PKI ditujukan untuk orang yang secara kasat mata, tidak menunjukkan tanda-tanda keasingannya dan menjalankan ibadah agamanya secara intens dan teratur.
Money Politic dalam berbagai bentuknya selalu marak dalam setiap pilkada bisa berupa pembagian sembako sampai terang-terangan menyebar uang. Calon pemilih yang cerdas—atau culas he, he, he—biasanya punya prinsip, “Terima uangnya, mencoblos tetap sesuai hati nurani!”
Pertanyaan kritis yang perlu kita ajukan, “Apakan pemberian atau pembangunan fasilitas tertentu dengan kompensasi suara tidak termasuk politik uang?” Ada tokoh masyarakat yang dengan nada santai berkata, “Dia menang, kita menang. Dia mendapat jabatan, kita mendapat fasilitas umum.”
Ketika ketiga praktik itu ditanyakan kepada tim pemenangan paslon, jawaban mereka standar: “Kami tidak bisa mengontrol sampai ke akar rumput. Yang jelas itu bukan kebijakan kami.” Atau, malah menuduh, “Itu pasti kerjaan tim lawan yang ingin menjatuhkan kami.”
Bagaimana mengatasi ketiga penyakit yang senantiasa tumbuh subur sebelum, menjelang dan pada Hari-H dan Jam-J coblosan? Clickbait versus Clickbait. Fire versus Fire. Itulah yang saya tulis di sebuah portal online. Apakah yang saya maksudkan? Waktu bertugas di Australia, di sebelah kantor saya ada museum kebakaran. Di dalam saya membaca satu artikel tentang bagaimana fire brigade di negara kanguru itu memerangi api. Salah satunya dengan membakar ilalang di sebelah kawasan yang terbakar agar saat api merambat ke tempat itu, tidak ada lagi bahan yang bisa dilalap. Jadi, jika ada tulisan hoax yang bikin muntah, saya balas dengan judul yang clickbait juga untuk meng-counter-nya.
Apakah efektif? Saya tidak punya perangkat untuk mengeceknya. Namun, penjaga gawang portal itu mengabari saya: “Pak Xavier, dalam waktu kurang dari satu hari, sudah ada 98.000 orang yang membaca tulisan Bapak.” Sekali lagi jumlah page view sebanyak itu tidak secara otomatis membuat semua yang terinfeksi oleh hoax sadar, apalagi mencegah penyebarannya, karena saya percaya lebih banyak lagi yang tidak tahu dan terus membuatnya viral karena merasa telah ‘berjasa’ menolong orang lain, terlepas dari informasinya akurat atau tidak.
Sebagai pembicara publik, ada saja orang yang bertanya tentang pilihan bahkan ketika sudah berada di bilik suara: “Pilih yang mana, Pak Xavier?”
Tidak mudah untuk memberi jawaban dan saya tidak pernah mengarahkan mereka untuk memilih calon kepala daerah. Di samping itu masalah pribadi, saat sudah berada di bilik suara, tidak ada waktu bagi saya untuk menjelaskan kriteria calon yang pas untuk mereka coblos.
Pengalaman saya saat merayakan pergantian tahun di Australia dan berlibur di Brunei Darussalam bisa dijadikan semacam cermin. Ketika pesta barbeque, asap daging yang dibakar membuat mata saya pedas. Namun, setelah daging matang, asap itu sebentar saja lenyap dari piring. Asap daging bakar menguar di alun-alun Brunei saat saya dan keluarga turun dari mobil. Aroma daging yang menggugah selera itulah yang membuat anak bungsu saya membeli setusuk sate. “Enak sekali, Pa,” ujarnya dan pesan lagi. Rasa tidak bisa menipu. Bisa saja aromnya sedap, namun kalau rasanya hambar, pasti kami tidak akan membelinya.
Calon kepala daerah yang baik tidak bisa menipu orang dalam waktu yang lama. Jika dia tinggal sedaerah dengan kita, paling tidak kita tahu track record-nya selama ini. Black campaign, hoax dan money politic tidak akan mempan melawan keteladanan. Pencitraan apalagi! Oleh sebab itu, mari menghadapi tahun politik dengan mata hati yang tercelik.
Xavier Quentin Pranata, yang suka nonton drama tapi tidak suka pencitraan.