“….Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa ” (Al Maa-idah 8)
Saya hanya bisa mengurut dada sambil tertunduk sedih, mengucap Istighfar berkali-kali saat membaca tulisan ‘seseorang’ di Facebook kemarin. Sungguh, pikiran saya yang sempit ini tidak mampu memahami apa yang ada dalam pikirannya.
Pikiran saya yang kecil ini tidak sanggup mengurai makna kebahagiaan dan kegembiraan macam apa yang dia rasakan saat mendengar kabar kematian orang. Wafatnya seseorang, siapapun adanya dia, adalah musibah dan kehilangan besar yang harus dipikul keluarganya, pantaskah kita mengucap syukur dan bersuka ria diatas penderitaan orang lain seperti yang ingin dia lakukan?
Mungkin dia memiliki keluasan dan kedalaman ilmu agama, tapi bagi saya tiada arti, karena perilaku ‘seseorang’ ini tidak mencerminkan kelembutan hati dan sifat mulia Rasulullah SAW. Saya hanya memahami Islam yang penuh toleransi dan empati, sebagaimana yang diajarkan guru-guru mengaji saya di Madrasah sejak saya kecil.
Insya Allah, ajaran mereka tidak mungkin menyakiti, apalagi sampai melukai orang lain. Indonesia dimerdekakan oleh banyak golongan, bukan hanya sebatas umat Islam.
Bukan karena eyang saya seorang Polisi Negara di zamannya, bukan juga karena beliau pejuang gerilya yang kepalanya nyaris terpisah dari badan karena murka serdadu NICA disaat Revolusi fisik berlangsung dulu. yang membuat hati saya dipenuhi perasaan sedih bercampur ngeri, memikirkan ketajaman lisan manusia diatas tulisan, yang hanya satu-dua paragraf saja, bisa membuat negara ini bergejolak.
Kalau dia ingin bersorak meluapkan kegembiraan dan kekagumannya pada para ‘pahlawan’ pujaan, jauh lebih baik bila hal itu dia lakukan di Makam Pahlawan Kalibata, yang dekat saja. Disana terbaring jasad-jasad pejuang Indonesia, yang gugur berkalang tanah demi mewariskan kemerdekaan ini untuk generasi penerus.
Bukan saya, bukan dia, bukan juga pejuang-pejuang khilafah yang menenteng-nenteng senjata demi membebaskan bangsa ini dari ketertindasan dan penjajahan bangsa asing. Tidakkah dia memikirkan persatuan dan perdamaian untuk mengisi kemerdekaan yang kita terima sebagai warisan?
Saya bukan orang hebat seperti dia, yang bila membenci sesuatu dengan mudahnya memuntahkan sumpah serapah dan hinaan yang perih, tidak juga bila menyukai sesuatu akan menyanjung setinggi langit sampai pandangan jadi gelap kesilauan.
Jika orang-orang seperti saya, yang tidak bersyukur, apalagi bersuka-cita atas tewasnya para abdi negara ini disebut MUNAFIQ, saya lebih tidak tahu lagi ‘apa dan siapa’ dia yang hidup di bumi pertiwi ini, yang tanahnya dia injak untuk berjalan kesana-kemari, yang udaranya dia hirup untuk mengisi paru-paru, yang sandang pangannya terpenuhi tanpa harus membajak sawah dan memintal benang terlebih dahulu untuk mendapatkannya.
_ DIMANA BUMI DIPIJAK, DISITU LANGIT DIJUNJUNG _ Begitu sulitnya bertawadhu dan bersikap rendah hati.
Seandainya suatu hari terjadi, bila ada orang-orang jahat yang datang ingin menjarah rumahnya dengan menempelkan parang dileher, kira-kira apa yang akan dia lakukan? Berteriak dan menuding “Monyet Berseragam Bencong” tidak becus menjaga keamanan rumahnya? Seandainya suatu hari terjadi, puluhan juta uangnya melayang dirampas orang dijalan, atau dia sekarat dipukuli orang tanpa alasan, kira-kira apa yang akan dia lakukan?
Menuntut dan mengadili “Monyet Berseragam Bencong” yang jadi penyebab kesialan nasibnya? “Monyet Berseragam Bencong” yang dia sumpah serapahi inilah abdi negara sesungguhnya, yang siap bertaruh nyawa demi menjaga keamanan dan melindungi hidup seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Penghargaan dan duka cita saya yang mendalam untuk Keluarga Besar POLRI.