Sumber: tangerangpos.com
Lebih baik berjumpa dengan 1000 orang buta huruf, ketimbang berjumpa dengan 1 orang buta hati. Sebab 1000 orang buta huruf hanya membutuhkan 1 tanda keilmuan untuk persatuan, sedang 1 orang buta hati membutuhkan 1000 tanda kejahilan untuk perpecahan (Sekolah Peradaban)
Sebanyak 171 daerah akan mengadakan pemilihan kepala dearah (Pilkada) antara lain 17 Propinsi , 39 kota dan 115 kabupaten. Pilkada serentak di tahun 2018 ini merupakan pilkada serentak yang lebih banyak di tahun sebelumnya. Tujuan dari pilkada adalah mulia adanya untuk mewujudkan keadilan demokrasi yang ada diseluruh wilayah Indonesia. Dan pilkada serentak ini salah satu bukti bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar di dunia.
Dalam Pilkada serentak andil partai politik sangat dominan, sesuai dengan regulasi yang ada setiap calon membutuhkan minimal 20 kursi di DPR setiap daerah, hal menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi partai untuk mengusung calonnya. Semua partai melakukan lobi dan konsolidasi untuk memenuhi target syarat tersebut, sehingga partai yang kekurangan kursi melakukan koalisi untuk menentukan calon yang akan di usung.
Partai politik telah memilih jagoan-jagoan yang akan di usung dalam pilkada serentak 2018. Tidak bisa dipungkiri bahwa di beberapa tatanan dan simpatisan partai akan terjadi perpecahan dan perbedaan pendapat. Memang para petinggi partai selalu mengatakan tidak ada perpecahan di tatanan partai hanya saja perpecahan di bungkus dengan perbedaan pandangan dan pendapat.
Tidak heran kalau kita melihat banyak ketua umum partai merupakan barisan sakit hati dari partai tertentu.Jadi sangat sulit bagi kita membedakan mana perbedaan pendapat dan mana perpecahan.
Gagasan untuk melakukan pilkada serentak adalah untuk menghemat biaya, sehingga biaya untuk pesta demokrasi bisa di minimalis, dengan tujuan untuk menghemat anggaran. Niatan untuk menghemat anggaran adalah suatu terobosan yang baik, namun tidak baik kalau pilkada serentak dirangkai untuk membuat perpecahan.
Masih melekat di hati pilkada Jakarta yang menguras tenaga, pikiran dan emosi, pilkada Jakarta meninggalkan luka yang mendalam bagi seluruh masyarakat kerena isu-isu sara yang dimainkan para oknum-oknum yang ingin menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa. Pilkada serentak bukan ajang memecah belah umat, tetapi untuk memilih pemimpin-pemimpin di berbagai daerah untuk melayani masyarakat.
Pengalaman Pilkada Jakarta menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat dan elite politik supaya tidak memainkan isu sara dalam pilkada, karena akan mengundang perpecahan dan menodai negara Kesatuan Republlik Indonesia (NKRI). Pilkada adalah perwujudan kita berpartisipasi dalam membangun bangsa dalam memilih pemimpin.
Namun bagi mereka yang mengincar kekuasaan dan kemenangan tidak menutup kemungkinan akan melakukan strategi yang sama untuk menumbangkan calon-calon yang dianggap kuat dan memiliki kredibilitas.
Strategi politik identitas menjadi strategi primadona dan isu sara menjadi senjata pamungkas karena telah berhasil dilakukan di pilkada Jakarta. Pilkada serentak tujuannya adalah untuk mempersatukan bukan memecah belah. Jangan sampai isu yang ada pada Pilkada Jakarta terulang lagi di pilkada serentak tahun 2018.
Dalam pilkada seharusnya partai politik berkompetisi dengan stategi yang benar dan mendidik masyarakat. peran andil partai politik menjadi hal yang utama dalam memberi edukasi kepada masyarakat. Pilkada serentak 2018 menjadi ujian untuk partai politik memberikan prestasi politik yang halal. Jangan hanya untuk menjadi pemimpin disuatu tempat atau daerah isu sara dimainkan untuk merusak umat atau masyarakat. hal tersebut bukan prestasi politik halal.
Kalaulah pilkada hanya untuk memecah-belah dan membuat perpecahan untuk apa dilakukan pilkada, cukuplah Presiden memilih gubernur , wali kota dan bupati atau dikembalikan saja di zaman orde baru Gubernur, Walikota, dan bupati di pilih oleh DPR.
Demokrasi Indoensia telah dibangun menuju demokrasi yang dewasa dan berkeadilan. Jangan sampai gara-gara isu sara yang di mainkan pada saat pilkada membuat negara ini hancur. Pilkada dilakukan untuk menjamin keadilan seluruh rakyat Indonesia menentukan pemimpin sendiri, hal ini merupakan bentuk keadilan dalam berdemokrasi.
Pemahaman masyarakat dengan Pilkada, harus berubah jangan lagi kita di mainkan dengan isu-isu yang mengundang perpecahan. Kita tidak mau NKRI hancur oleh segelintir orang yang memainkan isu-isu sara untuk menguasai Indonesia ini.
Masyarakat yang cerdas dalam berdemokrasi adalah masyarakat yang tidak mau dipermainkan dengan isu sara. Pemikiran Gusdur mangatakan “ Pemahaman apa pun yang berbeda apalagi bertentangan bisa menjadi bibit perpecahan, apalagi bertentangan, bisa menjadi bibit-bibit perpecahan persatuan bangsa”.
Perbedaan-perbedaan kita telah disatukan dan di ikat dengan bhineka tunggal ika. Pilkada serentak 2018 menjadi peneguhan persatuan dan kebangkitan kedewasaan demokrasi Indonesia, kita ingin negeri yang berdaulat, aman dan sentosa. Demokrasi yang dewasa tidak lagi bicara apa agamnya, apa suku, apa jabatan, tetapi demokrasi yang dewasa melihat kinerja, prestasi dalam memimpin, bersih dan berkualitas.