“Woi Bagudung.. Di mana matamu?!”
“Pantanglah.. Tak kau lihat merah lampumu itu”
“Babami.. Maju kali mulutmu.. Ga tahu kau sapa yang pegang daerah ini?!”
Selamat nangkring..
Mungkin kalimat di atas tidak asing bagi orang-orang yang tinggal di daerah yang katanya sangat toleran ini. Bagaimana tidak toleran. Lah saya nangkring di jalan Jamin Ginting ini (bukan jonru Ginting) ada kepala babi digantung. Bagaimana bisa bertahan para kaum intoleran melihat beginian?!
Lah pakai topi santa saja mereka sudah protes kepada sesama muslimnya. Apalagi ini dipertontonkan di depan publik. Padahal niatnya memang hanya jualan dagingnya saja. Tetapi namanya kurang kuat iman, kepala babi tergantung saja mereka sudah naik pitam dan mau makan tuh kepala babi. Hahaha..
Syukurnya, meski tidak haram, mereka ini tidak doyan makan laba-laba dan bahkan tidak ada dendam dengan laba-laba. Bayangkan jika mereka ada dendam sama saya. Wah, bisa-bisa saya akan dikejar-kejar dan dikafir-kafirkan. Apalagi saya datangnya dari Amrik sono. Jangan kaget kalau saya dah gaul yah. Kebanyakan gaul sama anak-anak alay. Hahaha..
Yah, saya sekarang lagi di Medan. Setelah disuruh pantau Pilkada Jatim, kini saya diminta ke mantau Pilkada Medan, eh Pilkada Sumut. Dan taarrrraaa!! Hancur sekali kota ini. Benar-benar kayak kampung. Pantas si bos kalau mau ke Medan bilangnya mau pulang kampung. Ternyata memang kampung yah.
Setahu saya, kalau yang namanya kota, tidak ada seperti ini. Ini seperti di hutan rimba. Nama-nama binatang bermunculan. Mulai Anjing, Babi, Monyet, dll. Tapi belum ada yang imut-imut keluar. Seperti Kelinci, Tupai, dan lain-lain. Memang benar kata orang tentang Medan ini bah. Hahahaha.. Dah kena virus bah juga.
Ups.. Hampir lupa.. Kesini mau mantau Pilkada Sumut. Tengok kanan kiri, celingak celinguk. Mampir ke kedai kopi dulu. Minum kopi sidikalang sambil cari-cari info. anya sana tanya sini. Embat pisang goreng dan bakwan. Seruput kopi. Begitu lagi. Selesai rogoh kantong dan bayar makanan yang sudah dimakan.
“Berapa kau makan goreng tadi?!”
“3 Bu”
“Ahh.. Pintar kali muncungmu itu”
“5 kau makan, 3 kau bilang. Bayar dua lagi bodat. Tampang kayak orang bule tapi kelakuan gelandangan kau”
“Maaf Namboru”
“Namboru kau bilang. Sudah sana kau pergi”
Waduh, ketiban kemalangan saya. Rencana mau hemat budget nipu makan goreng, ternyata si namboru lihai juga matanya. Oh ya, apa itu yah arti namboru?? Tadi ikut-ikutan saja ada yang manggil gitu. Kirain jadi reda marahnya. Malah kena usir. Nasib dah.
Nah, hasil cerita-cerita tadi, saya dapat info kalau yang sudah pasti maju dan berpasangan adalah Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi dan Bupati Langkat Ngogesa Sitepu. Yang mungkin bisa membatalkan sepertinya adalah uang. Hahaha..
Iya, karena katanya ada anekdot SUMUT kepanjangannya adalah Semua Urusan Memakai Uang Tunai. Artinya ada yang tunai mengapa menunggu yang janji cuman dapat proyek. Bukan begitu?!
Lalu selain mereka siapa lagi?? Ada yang bilang Maruara Sirait, Raden Muhammad Syafii, Edy Rahmayadi, Musa Rajeckshah, JR Saragih, dan masih berseliweran para tokoh yang lain. Tetapi jujur saja, dari pembicaraan di kedai kopi tadi, antusiasme para kopiers sangat rendah untuk Pilkada Sumut ini. Mereka tidak melihat Sumut akan berubah melalui Pilkada kali ini. Alasannya karena mereka belum menemukan sosok seperti Ahok untuk memimpin di Sumut.
Tidak usah heran. Nama Ahok memang bergema di Sumut ini. Makanya tidak heran kalau kemarin saat Ahok ditolak orang Jakarta, orang Sumut paling getol memintanya ikut Pilkada Sumut. Tetapi sayangnya malah kini Ahok masuk penjara. Orang Sumut memang membutuhkan seorang pemimpin seperti Ahok.
Waktu saya singgung nama Maruarar dan Edy yang galak seperti Ahok, mereka tetap saja masih menyangsikannya. Sepertinya memang kekecewaan berat sedang dialami masyarakat Sumut. Bagaimana tidak Gubernurnya langganan masuk jerat KPK. Walikota Medan juga seirama ikut terjerat juga.
Sedih juga melihat Pilkada Sumut ini. Kalau Pilkada Jatim masih ada tokoh potensial melakukan perubahan, ini malah sangat sulit ditemukan dan masyarakatnya pun sudah banyak yang apatis. Entah bagaimana nanti akhirnya. Tetapi kalaulah nanti akan ada yang maju seorang tokoh perubahan, mampukah mereka menghadapi kesemrawutan birokrasi Sumut dengan para ormas premannya??
Sambil berlalu dan menghisap bau BPK saya pun hanya bisa menaikkan doa kepada dewa laba-laba. Semoga Sumut bisa menemukan pemimpin yang melakukan perubahan.
Salam Jaring laba-laba.