Diperkirakan akan ada 3 cagub dan cawagub yang akan berlaga untuk memperebutkan posisi sebagai Gubernur Sumatera Utara. Ketiga pasang calon tersebut adalah petahana Tengku Erry Nuradi dan Ngogesa Sitepu yang sementara ini didukung oleh Golkar, PKB, PKPI dan Nasdem. Pasangan Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah yang diusung oleh koalisi 3 partai (PAN, Gerindra dan PKS), serta Djarot Saiful Hidayat yang akan diusung oleh PDIP.
Tengku Erry Nuradi sendiri awalnya adalah wakil dari Gubernur Gatot Pujo Nugroho, yang kemudian menggantikan Gatot yang saat itu ditangkap oleh KPK terkait kasus suap. Selama menggantikan Gatot, belum ada prestasi yang membanggakan dibawah kepemimpinannya.
Memang ada pembangunan besar-besaran terkait jalan tol dan bandara udara, namun itu adalah proyeknya pemerintahan pusat, sedangkan pengembangan kawasan strategis nasional Mebidangro (Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo) yang dibangga-banggakan oleh dirinya ternyata telah dimulai sejak tahun 2011 sebelum dirinya menjabat, demikian juga dengan Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangke yang merupakan KEK pertama di Indonesia yang diresmikan pembangunannya oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 27 Januari 2015. Jadi tidak dapat dikatakan sebagai prestasi Tengku Erri Nuradi.
Cagub berikutnya adalah Letjend Edy Rahmayadi yang mengundurkan diri sebagai Pangkostrad TNI, yang sama sekali belum punya pengalaman berpolitik dan birokrasi, jadi bagaimana bisa memimpin Sumatera Utara yang cukup kompleks permasalahannya?. Yang dikhawatirkan adalah jabatan Gubernur hanya dijadikan batu loncatan mengingat karirnya di dunia militer yang sudah mentok. Selain itu dengan minimnya pengalaman politik dan birokrasi, dapat saja dimanfaatkan oleh partai-partai politik pengusung untuk memfasilitasi kepentingan mereka, akhirnya yang jadi korban ya masyarakat Sumut lagi yang tidak menikmati adanya pembangunan dan kesejahteraan.
Yang terakhir adalah Djarot Saifulah Hidayat, tokoh yang sudah kita kenal sebagai pendamping Basuki Tjahaya Purnama di DKI ketika menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Pengalamannya sudah sangat banyak didalam dunia politik dan birokrasi, pernah menjabat sebagai Walikota Blitar sebelum menjadi Wagub di DKI, bahkan sempat menggantikan Ahok beberapa bulan menjadi Gubernur DKI.
Majunya Djarot sebagai Cagub Sumut tak lepas dari dukungan sahabatnya Ahok. Kita tahu Ahok adalah orang yang keras menghadapi para koruptor, orang yang memiliki integritas dan komitmen untuk mensejahterakan masyarakat Jakarta ketika dibawah kepemimpinannya.
Bersih, Transparan dan Profesional menjadi prinsip kerjanya yang bukan hanya slogan semata, namun benar-benar diterapkan dalam kegiatannya menjalankan roda pemerintahan di DKI ketika itu.
Bila sampai Ahok mendukung Djarot, bisa diartikan Ahok juga memiliki keyakinan bahwa Djarot memiliki kemampuan dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk memimpin Sumatera Utara. Bekerja bersama Djarot selama 3 tahun tentu membuat Ahok mengenal kepribadian Djarot sebenarnya.
Kelemahan Djarot hanyalah karena dia bukan putra daerah, tapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mendukung beliau, toh Sumatera Utara sendiri bukannya belum pernah dipimpin oleh putera daerah, sering malah, tapi apa hasilnya?.
Tidak ada jaminan bila yang memimpin putra daerah, daerah tersebut pasti maju, yang ada korupsi jalan terus, pembangunan malah mandeg seperti yang sudah terbukti selama ini. Dan terakhir lagi-lagi masyarakat yang dirugikan. Hal ini terbukti dari banyaknya suara-suara di masyarakat yang memberikan dukungan agar Djarot maju dalam pemilihan kepala daerah Sumut.
Ini juga menandakan masyarakat yang sudah bosan dengan pemerintahan di Sumut saat ini, bosan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme antar pejabat yang hanya memperkaya diri kalangan mereka saja, sementara masyarakat harus pasrah tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan membuat Sumut mendapat predikat propinsi terkorup dan Medan sebagai kota terkorup di Indonesia. Coba bayangkan saja, seberapa parahnya kondisi Sumut saat ini.
Saya memiliki keyakinan bahwa hanya Djarot lah yang mampu merubah stigma negatif yang sudah terlanjur melekat di Sumut saat ini. Kelebihan Djarot adalah pada kejujurannya, Ahok sendiri mengakui hal ini.
Di tengah kepungan pejabat korup, kejujuran itu mahal harganya. Bagaimana bisa menjalankan pemerintahan yang bersih, yang transparan bila bukan kejujuran yang menjadi dasarnya?. Bagaimana bisa membangun dengan baik, benar dan bertanggungjawab pada rakyat di daerah tersebut bila bukan transparansi kuncinya?. Dan semua kualifikasi itu dimiliki oleh Djarot. Itulah yang kelak akan menghapus stigma Sumut dan Medan sebagai propinsi dan kota terkorup se-Indonesia.
Bayangkan saja, pada pilgub 2013 yang lalu, jumlah yang golput mencapai 63,38%, angka yang sangat besar, istilahnya yang 63,38% itu sudah masa bodoh Sumut dipimpin oleh siapa, begitu apatisnya masyarakat Sumut karena tidak menemukan figur yang tepat untuk memimpin Sumut ketika itu.
Dan sekarang masyarakat Sumut dihadirkan figur yang jujur dan sederhana. Figur yang sudah terbukti kualitasnya. Figur yang kaya pengalaman, bukan kaya pengalaman korupsi, tapi kaya pengalaman membenahi berbagai permasalahan daerah yang ada, dari birokrasi sampai level masyarakat bawah. Jadi kenapa tidak dipilih?
Ayo share sebanyak-banyaknya, ajak yang 63,38% itu, beritakan bahwa telah ada calon pemimpin yang berkualitas, yang jujur dan berdedikasi untuk membawa perubahan di Sumut ini, ajaklah untuk berpartisipasi. Kesempatan baik ini belum tentu akan muncul lagi untuk jangka waktu lama.
Jangan sampai rasa apatis dan kebodohan membuat kita menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Karena kelak kitalah yang akan menuai hasilnya, dapat pemimpin baik alamat sejahtera, dapat pemimpin buruk alamat menderita.