Sejujurnya dari beberapa nama bakal calon gubernur Sumatera Utara yang sudah muncul di media tidak satu pun membuat saya tertarik untuk mendukungnya.
Petahana T Erry Nuradi, JR Saragih, Ngogesa Sitepu, Syahril Tumanggor, Syamsul Arifin, dan Gus Irawan adalah kandidat yang digadang-gadang menjadi Sumut Satu. Mereka dikenal oleh publik dengan kapasitas birokratnya. Tifatul Sembiring dan Ruhut Sitompul juga didengungkan akan maju di PILGUBSU 2018. Berbeda dengan dari kalangan birokrat yang diramaikan banyak nama, dari kalangan militer sepengetahuan penulis baru muncul satu nama, yaitu: Letjen TNI Edy Rahmayadi, Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Ketua PSSI 2016 – 2020.
Munculnya nama-nama dari kalangan birokrat dan militer pada pelilihan gubernur Sumatera Utara tentu menambah besar magnet politik di Pilkada nanti. Tidak menutup kemungkinan daftar nama-nama bakal calon gubernur Sumatera Utara semakin bertambah dan tentu saja itu baik dan bagus. Masyarakat Sumatera Utara mempunyai banyak pilihan pemimpin yang terbaik untuk 5 tahun berikutnya.
Satu hal yang menjadi pertanyaan bagi saya secara pribadi siapkah Sumatera Utara memilih pemimpin terbaik? Tak dapat dipungkiri Sumatera Utara dikenal dengan status propinsi terkorup, buruknya mental pejabat, dan tentu saja buruknya mental masyakarat.
Propinsi Terkorup
Sumut mencatatkan record dengan kasus gubernur yang terjerat kasus korupsi dalam periode yang berurutan: Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho. Syamsul dan Gatot pernah berpasangan sebagai setelah terpilih pada pilkada 2008. Pasangan Syamsul-Gatot yang diusung PPP, PKS, PBB, PPNUI, PPDI, Partai Patriot Pancasila, PKPI, PSI, PKPB, PDK dan Partai Merdeka. Pasangan in mengalahkan empat pasangan lainnya:
- Pasangan Tritamtomo-Benny Pasaribu yang diusung PDIP
- Pasangan Ali Umri-Maratua Simanjuntak yang diusung Partai Golkar
- Pasangan Abdul Wahab Dalimunthe-Muhammad Syafii yang didukung Partai Demokrat
- Pasangan RE Siahaan-Suherdi yang didukung PDS, PKB, PBSD, PPD, PIB, PNI Marhaenisme, PNBK dan Partai Pelopor
Namun pasangan ini hanya berlangsung tiga tahun. Syamsul Arifin dicopot sebagai gubernur Sumatera Utara pada tahun 2011 karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi penyalahgunaan APBD 2000-2007 saat masih menjabat sebagai Bupati Langkat pada 2000-2007. Secara otomatis, setelah Syamsul tak aktif sebagai gubernur, Gatot menjabat sebagai pelaksana tugas.
Pada pilkada 2013, Gatot maju kembali mencalonkan sebagai Gubernur Sumut bersama Tengku Erry Nuradi sebagai Wakil Gubernur Sumut. Mereka membawa jargon “Ganteng” yang berasal dari kependekan Gatot dan Tengku. Pasangan ini diusung oleh lima partai politik yaitu PKS, Hanura, PBR, Partai Patriot, dan PKNU.
Pasangan in mengalahkan empat pasangan lainnya:
- Pasangan Effendi MS Simbolon dan Jumiran Abdi (Esja) yang diusung PDIP dan PPRN (Partai Peduli Rakyat Nasional)
- Pasangan Gus Irawan Pasaribu-Soekirman (Gusman) yang diusung Partai Gerindra, Partai Indonesia Baru (PIB), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Pelopor
- Pasangan Amri Tambunan-RE Nainggolan yang diusung oleh Partai Demokrat
- PAsangan Chairuman Harahap-Fadly Nurzal diusung Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Buruh, Republikan, dan PPI (Partai Pemuda Indonesia)
Pasangan itu menang dan dilantik sebagai gubernur/wakil gubernur pada 16 Juni 2013. Setelah menjabat selama dua tahun, Gatot menyusul Syamsul menjadi tersangka korupsi dan secara otomatis Tengku Erry Nuradi naik menjadi gubernur Sumatera Utara.
Saya tidak membahas kasus korupsi pada periode sebelumnya, jika dirunut tentu saja banyak kasus korupsi. Tentu saja kasus korupsi ini tidak hanya di level Sumut Satu, tetapi juga sampai level Kepala Desa dan Kepala Dusun.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi Pemberantasan Korupsi, Sumatera Utara adalah provinsi terkorup se-Indonesia dalam beberapa periode. Sumatera Utara adalah provinsi yang mengalami kerugian negara paling banyak akibat tindak pidana korupsi.
Politik Uang dan Pemilih Cerdas
Mohon maaf beribu maaf, tanpa bermaksud merendahkan warga Sumatera Utara, saya harus mengatakan bahwa warga Sumatera Utara sebagian besar bukanlah pemilih cerdas. Warga Sumatera Utara sangat terbiasa dengan serangan Fajar dan Serangan Panjar (uang muka).
Informasi yang saya dapatkan harga satu suara berkisar Rp 50.000,00 – Rp 300.000,00. Untuk pemilihan sekelas Kepala Desa saja sudah seharga ini. Ini belum termasuk biaya makan-makan atau minum-minum. Serangan Fajar dan Panjar yang lain adalah dalam bentuk sumbangan, baik ke Panti Asuhan, Gereja, dan Mesjid. Para calon juga sering sekali mempengaruhi para pimpinan agama dan sesepuh.
Bahkan baru-baru ini saja beberapa sinode Gereja sudah menyatakan dukungan kepada salah satu bakal calon. Sebut saja GKPS, HKI, GKPI, HKBP, GMI, dan lain-lain (mohon maaf saya langsung menyebut sinode gereja-gereja tersebut). Gereja kok ikut-ikutan berpolitik? Urusan internal gereja saja belum beres kenapa repot-repot mengurusi poilitik? Ada apa dengan Cinta? Entah ini karena hebatnya kekuatan uang, atau alasan Primordialis, atau Sektarian? Hanya mereka dan Tuhanlah yang tahu. Kecuali calon tersebut dan sinode gereja-gereja tersebut transparan. Ya, semoga saja saya salah 😀
Inilah penyebab korupsi tumbuh subur dan sulit diberantas. Semuanya menikmati korupsi tersebut hanya beda masa berlakunya. Warga menerima bayaran dan menikmati uang Rp 50.000,00 – Rp 300.000,00. Sementara kandidat yang terpilih melakukan korupsi. Salah satunya untuk bisa mengembalikan atau membayar lunas modal yang dipakai selama pemilihan. Gali terowongan,tutup lobang. Yang apes ya kandidat yang tidak terpilih bangkrut bahkan mungkin masuk RSJ dan tentu saja warga yang menanggung beban penderitaan 5 tahun.
Profil Kandidat, Visi-Misi Kandidat, dan Rekam Jejak
Saya yakin banyak warga Indonesia umumnya, warga Sumatera Utara khususnya, sudah bosan dengan yang namanya janji-janji. Indonesia dan Sumatera Utara khususnya sangat membutuhkan pemimpin yang benar-benar bekerja untuk melayani masyarakat, bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Rande ampapaluan,
pora-pora disalean
Raja do pangalu-aluan,
namora do paulean
Profil kandidat ini sangat sensisiti dan sangat bisa dikaitkan dengan isu-isu SARA. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, isu isu sara (suku, agama, ras, dan antar golongan) itu masih laku keras. Lah warga sekelas kota Jakarta yang modern, penuh dengan kaum intelektual, dan pusat teknologi dan pusat-pusat lainnya masih bisa dibodoh-bodohin pakai isu ini (ini terbukti kok di PILKADA DKI). Apalagi warga daerah seperti warga Sumatera Utara. Kandidat yang memainkan isu ini akan langsung saya coret dari daftar pilihan.
Bagi saya pribadi profil itu sangat penting, apalagi soal pilihan hati. Namun profil kandidat itu bukanlah yang terpenting. Kandidat yang (terkesan) intelek, pengusaha sukses, religius, ganteng, atau cantik itu menarik hati. Tapi hey.. saya lebih memilih yang lebih baik, jujur, murah hati…pokoknya yang nilai PPKN-nya 9 dibanding yang hanya menarik kulit luar saja. Ya brosis, don’t judge book by it’s cover although cover is a part of the book :D.
Selain profil, tentu saja saya akan melihat visi dan misi kandidat tersebut. Apa saja yang bisa ditawarkan oleh calon tersebut kepada warga supaya memilihnya?
Visi, misi, dan program yang sepertinya bagus itu memang baik dan bagus, namun jika hanya sebatas teori/wacana dan janji, tentu saja tidak ada artinya. Yang ada malah hanya jadi tukang gombal dan PHP. Dan tentunya gombal dan PHP akan menyebabkan banyak korban, di-PHP-in.
Terakhir saya akan melihat rekam jejak (track record). Rekam jejak yang baik pada umumnya dihasilkan orang yang memiliki kepribadian terpercaya. Ini memang tidak jaminan juga, kemungkinan orang tersebut melenceng akan selalu ada. Lalu bagaimana orang yang tidak punya rekam jejak? Apakah kita lantas tidak boleh memilihnya? Tidak boleh memberikan kesempatan? Tentu saja boleh dan itu sah-sah saja. Tetapi resikonya tentu akan lebih besar.
Terus kalau tidak ada yang memenuhi semua kriteria tersebut bagaimana? Apakah tidak memilih? Golput?
Anda akan dihadapkan dua pilihan, tidak memilih atau memilih yang tidak sesuai pilihan. Tidak memilih itu adalah pilihan Anda. Namun pernahkah Anda merasakan dalam posisi tidak diberi kesempatan memilih? Bagaimana rasanya? Nyesek bukan?
Sakit suara (serak) saja sangat menyakitkan, apalagi tidak bisa bersuara, apalagi sampai kehilangan hak suara. Bagi saya diantara yang terburuk pun ada yang terbaik. Tidak ada yang sempurna, oleh karena itu saya akan memilih yang paling mendekati kesempurnaan.
Mengubah Nasib, Melawan Korupsi, Kebodohan, dan Kemiskinan
Pemberantasan korupsi harus dimulai dari diri kita. Barang siapa setia dalam hal-hal kecil, dia juga akan setiap dalam perkara besar. Sebagai warga asal Sumatera Utara yang saat ini ada di perantauan, saya tetap menaruh kepedulian terhadap Sumatera Utara.
Rubrik ini akan saya khususkan untuk membahas Sumatera Utara. Nantikan serial tulisan saya yang lainnya 😀
Salam Cerdas
-SP-