Anies Baswedan dan Sandiaga Uno resmi dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta untuk lima tahun kedepan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Anies Baswedan dan Sandiaga Uno tampak gagah dibalut seragam dinas dengan didampingi kedua istri mereka yang juga menggunakan stelan atasan putih. Ekspresi kebahagian begitu terpancar di wajah pasangan gubernur dan wakil gubernur ini.
Tentu saja pasangan ini sangat berbahagia mengingat mereka telah menggunakan berbagai macam cara untuk dapat mengalahkan pasangan petahana Basuki-Djarot yang jelas-jelas saat itu elektabilitasnya lebih tinggi dan telah terbukti kinerjanya di DKI Jakarta. Tak bisa dibantah, Basuki dan Djarot terbukti telah melakukan banyak perubahan di Jakarta.
Pilkada DKI Jakarta merupakan pilkada paling riuh dan hemat saya paling buruk disepanjang sejarah pemilihan kepala daerah karena telah menimbulkan rasa curiga, umpatan diantara sesama rakyat Indonesia. Pilkada DKI Jakarta tidak saja disorot ditingkat lokal tetapi juga secara nasional bahkan juga internasional. Hal ini dikarenakan DKI Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia. Tempat dimana aktivitas kenegaraan dilakukan. Jakarta menjadi kota yang istimewa yang sekaligus memiliki permasalahan yang kompleks.
Bila ditarik kebelakang Pilkada DKI Jakarta disertai dengan isu SARA. Basuki pada saat itu dianggap telah menghina umat Muslim karena mengutip salah satu ayat dalam surat Al Maidah. Perbedaan agama ini kemudian digunakan sebagai alat untuk memecah belah. Rakyat DKI Jakarta terpecah belah akibat isu SARA yang digunakan sekelompok orang untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak dapat dimungkiri masyarakat Jakarta menjadi terpecah belah. Terdapat rasa saling curiga, umpatan, dan benci diantara sesama masyarakat Jakarta. Meskipun memang para pendukung Anies-Sandi tidak mengakui bahwa kemenangan yang mereka raih adalah karena menggunakan isu SARA.
Penulis berpendapat interaksi dan hubungan sosial sudah rusak akibat dari politisasi agama dan etnis. Politisasi agama dan etnis merusak rasa persaudaraan. Bahkan politisasi agama dan etnis bisa membunuh karakter seseorang. Politisasi agama dan etnis yang terjadi di Jakarta juga merambat ke seluruh wilayah di Indonesia. Harusnya Pilkada dapat memberikan pendidikan politik bagi rakyat dengan mengedepankan nilai-nilai persaudaraan, persatuan, dan kesatuan. Akan tetapi di Indonesia politisasi agama dan etnis kerap sekali dilakukan.
Pilkada DKI Jakarta telah usai, gubernur dan wakil gubernur telah terpilih. Kita semua berharap tidak ada lagi kebencian, dan umpatan dilontarkan. Perbedaan agama, suku, dan etnis jangan dipersoalkan lagi. Yang harus dilakukan oleh gubernur dan wakil gubernur yang terpilih adalah menyatukan seluruh masyarakat Jakarta tanpa lagi memandang agama, suku, dan etnis. Hal senada juga kerap dilontarkan Anies Baswedan bahwa akan merangkul seluruh masyarakat Jakarta.
Namun anehnya, baru beberapa jam dilantik, Anies Baswedan kembali melontarkan isu SARA. Selesai dilantik Anies memberikan pidato politik pertamanya Tentu saja banyak masyarakat yang ingin mendengar tidak terkecuali penulis. Diawal pidatonya Anies mengatakan “ketika niat lurus telah dituntaskan, ketika gotong royong dalam makna yang sesungguhnya”. Kata-kata ini sangat enak didengar. Seperti biasa Anies sangat pintar dan lihai dalam mengolah kata-kata menjadi untaian kalimat yang manis dan enak didengar.
Akan tetapi ada yang menarik dalam pidato Anies, lagi-lagi Anies membangkitkan isu SARA. Ia mengatakan, “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka kini saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri”. Bila kita cermati kata-kata Anies ini seolah-olah ingin menyampaikan bahwa sebelumnya DKI Jakarta tidak dipimpin oleh pribumi dan sepertinya menggambarkan bahwa dia merupakan pemimpin pertama yang berasal dari orang pribumi. Kemudian penulis juga bertanya dalam hati siapa pribumi yang dimaksudkan pak gubernur? Dan tidak tahukah pak gubernur apa arti pribumi?
Anies yang awalnya mengatakan akan merangkul seluruh masyarakat ternyata tidak konsisten dengan ucapannya. Pidato politik pertamanya jelas sekali telah membangkitkan isu SARA. Istilah pribumi dikenal pada masa kolonialisme Belanda. Pada masa itu pemerintah kolonial mengelompokkan masyarakat di Nusantara kedalam 3 kelompok. Pertama European yaitu para imigran Eropa yang datang ke Nusantara seperti Belanda, Swiss, Belgia, Jerman dan lain-lain. Kedua Vreemde Oosterlingen atau orang Timur Asing yaitu imigran yang datang ke Nusantara seperti China, Arab, India, Pakistan, dan lain-lain. Kemudian yang ketiga kelompok masyarakat pribumi (inlanders) yaitu penduduk Nusantara yang menggunakan bahasa Melayu.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya pemerintah lewat instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 dengan tegas dituliskan menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi. Istilah pribumi dan non pribumi bisa menimbulkan diskriminasi. Sehingga seharusnya gubernur Jakarta tidak menyinggung istilah pribumi. Apalagi bila meruntut penggunaan istilah pribumi pada masa kolonialisme maka Anies Baswedan yang merupakan keturunan Arab tidak juga dapat disebut sebagai orang pribumi. Sangat disayangkan kata-kata rasis itu keluar dari seorang akademisi lulusan Ph.D. pernah menjadi rektor universitas ternama di Indonesia dan bahkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Beberapa hari lagi, kita akan memperingati hari Sumpah Pemuda. Dikaitkan dengan pidato perdana Anies, jelas bahwa kata-kata pribumi yang diucapkannya tidak mempersatukan rakyat dan ini sangat jauh dari cita-cita sumpah pemuda yang menekankan persatuan dan kesatuan. Dalam sumpah pemuda disebutkan bahwa kita berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, dan berbahasa satu bahasa Indonesia. Para pendiri bangsa menekankan bahwa kita semua adalah bangsa Indonesia, tidak peduli apa agama, suku, etnis dan warna kulit. Sukarno dan Hatta juga dipilih bukan karena melihat apa agama dan sukunya tetapi dipilih karena mereka memang layak menjadi pemimpin Indonesia.
Persaudaraan, persatuan dan kesatuan adalah nilai-nilai perjuangan yang harus terus didengungkan. Perbedaan agama, suku, dan etnis tidaklah boleh merusak tali persaudaraan, persatuan dan kesatuan yang telah diperjuangkan para pendiri bangsa. Ke depannya, para pemimpin harus belajar untuk tidak membuat kegaduhan melalui ucapan-ucapan yang berpotensi merusak tenun kebangsaan. Semangat Sumpah Pemuda mengajarkan kita untuk Berani Bersatu Membela Keberagaman.