Apa yang kita dapat saat membaca berita online hari-hari ini? Di setiap berita daring, terutama yang lagi hits dan menyangkut calon pemimpin bangsa ke depan, netizens terbelah menjadi dua. Komentar mereka saling sering dengan sengit sekali. Siapa yang paling dominan dalam memberikan komentar? Maaf, Cebong dan Kampret. Julukan itu muncul begitu saja antara pendukung dan lawan Jokowi. Saat Jokowi dan Prabowo sedang ramai-ramainya menggodok siapa cawapresnya, bahkan sudah mengerucut tinggal satu nama yang pengumumannya bisa saja sebelum, berbarengan atau segera setelah tulisan saya published, saya teringat dua kisah yang pernah saya baca dan dengar sejak lama.
Sebesar ini?
Seekor anak katak berjalan-jalan meninggalkan kediamannya di sebuah empang. Dengan riang dia melompat-lompat dari satu tempat ke tempat lain sampai lompatannya terhenti. Dia melihat makhluk raksasa yang di mata tubuh kecilnya tampak mengerikan. Monster hitam besar itu adalah kerbau.
Dengan ketakutan dia melompat setinggi dan sejauh mungkin untuk kembali ke ‘rumahnya’.
“Ada apa Nak kok mukamu pucat?” sapa si kodok induknya.
“Aku…aku…aku… baru bertemu dengan binatang hitam besar dan mengerikan,” ujarnya terbata-bata.
“Sebesar apa sampai membuatmu begitu ketakutan?” tanya induknya lagi.
“Pokoknya besar, Bu.”
“Sebesar ini?” ujar induknya sambil menggelembungkan tubuhnya.
“Kurang besar, Bu.”
“Segini?”
“Masih kurang besar.”
“Kalau segini?”
“Masih belum sebanding.”
Induk katak mulai menggelembungkan tubuhnya sebesar mungkin sambil berkata, “Bagaimana kalau segi…” Dor! Tubuhnya meledak. Mati.
Sang anak katak yang baru saja lepas dari predikat cebong kaget dan menangisi ibunya.
Satu kerabat?
Seekor anak tikus pulang dari jalan-jalan. Dia bertanya kepada induknya, “Bu, saya tadi bertemu dengan makhluk bersayap yang wajahnya seperti kita tapi bisa terbang.”
“Oh itu kampret, kalong atau kelelawar,” jawab induknya.
“Kok mereka bisa terbang sedang kita tidak?” kejar sang anak ingin tahu.
“Sebenarnya mereka masih satu kerabat dengan kita. Kita ini angkatan darat sedang mereka angkatan udara,” jawab induknya yang direspon anaknya dengan mangggut-manggut.
Perang Para Cebong dan Kampret
Sejak pilpres dan pilkada DKI, meski Indonesia tampak tenang dan ‘tidak ada apa-apa’, itu hanya di permukaan. Jauh di kedalaman hati banyak insan di tanah air yang sebenarnya sedang terjadi peperangan hebat antara yang pro Jokowi versus pro Prabowo. Masing-masing pihak saling mengejak satu sama lain dengan julukan cebong atau cebonger bagi yang pro Jokowi dan kampret bagi yang pro Prabowo.
Siapa yang mula-mula menabur benih kebencian ini sehingga akhirnya sama-sama menabuh genderang perang yang begitu terang benderan di media sosial? Tidak jelas! Yang pasti adalah ini: induk politisi yang ada di atas para cebong dan kampret ini. Mereka yang berada di atas awan dengan back up kekuatan uang dan kekuasaan entah di partai maupun pemerintahan dengan cyber army masing-masing kubu, sama-sama mengobarkan perang dunia maya yang lebih dahsyat ketimbang Starwars. ‘Anak-anak’ katak dan kelelawar ini sebagian termakan dan terindoktrinasi (baca: terguyur ‘brainwashing’) ajaran yang mendikte mereka: ‘Asal bukan kelompok kita artinya musuh!’ tidak peduli apakah saudara atau bukan.
Jika kita menabur angin…
Saat menulis bagian ini saya sedang bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Ada Parent Teacher Meeting. Dalam pertemuan Ortu Siswa dan Guru, saya ditugaskan untuk memberi sambutan. Saya persiapkan bahwa seputar pendidikan anak. Jika ortu dan guru salah menanamkan benih ke diri siswa, otak anak-anak yang seperti spons itu akan menyerap apa saja ajaran ortu dan guru tanpa filter.
Di saat yang hampir bersamaan, saya juga menulis ulasan tentang film ‘Hotel Transylvania 3: Summer Vacation’ untuk sebuah media online yang sering memuat nukilan film dan buku. Dua dunia yang memang saya geluti sampai sekarang. Seperti film ‘anak-anak’ yang memberikan pelajaran bagi ortu dan guru ini, apa yang kita tabur dalam diri anak itu jugalah yang akan kita tuai kelak. Kita bisa menyaksikan ironis yang menyesakkan dada: ada ortu MANUSIA yang mengajarkan kebencian dan dendam berkelanjuta terhadap makhluk liyan, sementara ortu MONSTER mengajarkan kasih sayang, nilai kekeluargaan dan pengampunan terhadap makhluk yang berbeda, yaitu manusia. Miris, bukan? Di satu sisi ada monster berwajah mengerikan justru mempunyai hati welas asih yang bahkan menolong musuh bebuyutannya, manusia, dari kebinasaan. Sementara manusia yang berwajah ‘normal’ dan dianggap beradab justru melakukan tindakan yang biadab.
Nah, kisah induk katak dan induk tikus bisa kita jadikan cermin. Ortu dan juga guru seharusnya mentransfer apa yang mereka ketahui kepada anak dengan baik. Jangan karena arogansi pribadi dan kelompok transfer ‘ilmu’ jadi bias. Biar anak-anak belajar melihat dunia secara jernih. Jika kacamata yang kita pakai sudah dikotori oleh SARA, maka cara pandang anak-anak pun bisa ikut terkontaminasi. Seperti induk katak yang tidak mau kalah dengan kerbau, demikian juga dengan induk tikus yang memanipulasi anak bahwa tikus dan kelelawar beda tipis, anak-anak jadi bingung. Mereka bisa benar-benar menjadi cebong dan kampret kalau kita panggil mereka dengan julukan itu terus-menerus. Ingat, benih yang kita tabur akan membesar. Jika kita menabur angin, pasti suatu kali kelak menuai badai. Dan badai itu sudah kita rasakan sekarang dengan perang tagar yang tidak saja takut dianggap melanggar, tetapi sudah terlanjur lompat pagar.
Degradation of Dreyfus
Di tengah situasi yang makin membahayakan kesatuan bangsa ini, saya mendapatkan kiriman tulisan yang mencerahkan dari sahabat saya Bang Sintong. Judulnya “Mengapa Orang Tetap Merasa Benar Walaupun Sejatinya Salah.”
Secara ringkas isinya saya sarikan dengan bahasa saya sendiri begini. Pada 1894, seorang staf Jenderal Perancis menemukan sobekan kertas di keranjang sampah yang setelah melewati investigasi masif, ‘terbukti’ Letkol Alfred Dreuyfus menjual rahasia militer negeranya ke Jermah.
Meskipun Dreyfus punya rekam jejak yang baik tanpa cela, teori konspirasi dan kecurigaan berlatar belakang SARA—Dreyfus satu-satunya orang di kesatuan militer Perancis yang menganut Yudaisme dan celakanya orang Perancis benci Yahudi—dialah yang menjadi sasaran tembak.
Meskipun mereka tidak menemukan bukti secuil pun saat menggeledah rumah Dreyfus, mereka justru menggap hal ini sebagai kelicikan Dryefus dalam menghilangkan barang bukti. Kecerdasan khas Yahudi bisa diplintir menjadi keculasan. Saat memeriksa personal history Dryefus, mereka mendapati bahwa tentara ini menguasai 4 bahasa yang dianggap cocok sebagai seorang spionase. Di hadapan pengadilan militer, Dryefus dinyatakan bersalah dan dihukum penjara. Dia dipermalukan dengan dilucuti lencananya, dicabut kancing bajunya, bahkan pedang militernya dipatahkan. Teriakan Dreyfus, “Saya bersumpah saya tidak bersalah. Saya masih layak mengabdi kepada negara. Hidup Perancis” menguar di udara ditiup angin kebencian yang sudah berubah menjadi puting beliung angkara murka. Pada 5 Januari 1895, sejarah mencatat, Dreyfus dipenjara seumur hidup di Devil’s Island. Nama penjara yang sesuai dengan kebengisannya.
“Kebenaran,” kata ungkapan bijak, “akhirnya menang.” Adalah Kolonel Georges Picquart yang sebenarnya anti Yahudi, bisa berpikir jernih. Lewat penyelidikannya yang tanpa kenal lelah dan tidak didukung, misalnya oleh surat tugas Tim Pencari Fakta, akhirnya menemukan bahwa Dreyfus memang tidak bersalah. Saat dilakukan peninjuan ulang Dreyfus dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan, meskipun harga yang harus dia bayar mahal sekali: dipenjara selama 11 tahun.
Masih adakah orang-orang seperty Dreyfus di tanah air yang mengalami hal yang sama? Indonesia membutuhkan orang-orang seperti Kolonel Georges Picquart untuk membebaskannya. Apa yang Hotman Paris lakukan di Kopi Johny—tempat orang-orang ‘kecil’ dan ‘terbaikan’ bisa curhat tanpa bayar dan diviralkan—patut diapresiasi, meskipun yang tidak tahu apakah pembelaan advokat top ini sudah disertai penyelidikan seperti yang dilakukan Kolonel Georges Picquart. Intinya, membela yang tidak mampu membela dirinya sendiri.
Mutiara Kebenaran di Dalam Kerang Kehidupan
Hikmat apa yang bisa kita temukan di tengah peperangan antara para cebong dan kampret dari kasus Dreyfus ini?
Banyak orang pintar di tanah air, tetapi kurang cerdas di bidang mengelola nurani. Seperti kasus Dreyfus, kita terjebak oleh ‘kepintaran’ kita sendiri dengan landasan teori yang salah, yaitu motivated reasoning. Kita mencari kebenaran dengan pembenaran diri sendiri karena asumsi salah yang kita ciptakan sendiri. Kacau bukan?
Untuk mendukung ‘teori konspirasi’ inilah kita justru mengalami yang oleh para ahli psikologi disebut confirmation bias. Makanan apa pula itu? Apa saja yang mendukung dan menjustifikasi ide, pandangan, pendapat kita, kita unggah di media sosial, tidak peduli apakah itu black campaign, hate speech, hoax, scam atau freud atau bukan.
Bagaimana mengobati penyakit yan sudah terlanjur kronis ini? Pertama, air senantiasa mengalir ke tempat yang rendah. Kesejukan terjadi saat kita mau merendahkan diri. Kunjungan Prabowo dan kemudian Jokowi-JK ke SBY yang sedang terbaring di rumah sakit beberapa waktu yang lalu sungguh menyejukkan kita. Tidak perlu kita berandai-andai bahwa mereka sedang melakukan komunikasi politik. Kalau pertemuan Prabowo dan SBY di rumah SBY dan sebaliknya menjelang hajatan politik tentu sudah beda dengan kunjungan pertamanya. Apalagi kalau kunjungan itu makin intens menjelang pendaftaran nama capres dan cawapres.
Kedua, kita bukan saja perlu menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri agar cara berpikir kita tidak jomplang, kita pun perlu memperluas telaga jiwa kita dalam memaknai perbedaan. Jika kita hanya mendidik generasi penerus dengan kepintaran akademis, dunia bisa jomplang. Tanpa keseimbangan, orang yang sangat cerdas bisa menjadi psikopat. Orang yang sangat baik tapi kurang cerdas bisa dimanipulasi dan dimanfaatkan untuk ikut menyebarkan berita bohong yang tentu saja isinya bodong.
Ketiga, mari belajar dari tukang kayu dan penjual kain yang mengukur dua kali baru memotong. Bukan melakukan pemotongan bahkan sebelum mengukur. Setelah keliru masih ngotot dan pakai argumentasi “Pokoke!” Contoh: “Pokoke kalau saya atau usulan partai tidak diakomodasi, kami keluar dari koalisi.
Mari kita bangun Indonesia berdasarkan perbedaan yang ada, bukan penyeragaman dengan gaman (bahasa Jawa, senjata) yang tajam tapi salah tikam. Bukankah lebih menghibur jika kita—seperti masa kanak-kanak dulu—main perang-perangan dengan pedang kayu dan topi kardus? Apalagi sekarang kardus lagi naik daun!
- Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.