Tersentak dan tergelak. Nguyu ngakak. Kesekaligusan rasa itu respon pertama baca tulisan seorang yang selama ini ku ikuti penuh spirit nasionalisme, tebar benih kebajikan dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Kajitow elkayeni. Penulis senior malang melintang di dunia literasi yang reputasinya sudah tidak diragukan lagi. Di era digitalisasi ini siapa yang tidak kenal kajitow elkayeni?! Ngapunten kang. Aku nulis ini sifatnya urun rembuk tunaikan kewajiban mengingatkan sesama. Terlebih orang hebat seperti njenengan yang spiritnya banyak ku kecap jadi inspirasi.
Cebongan dan freeport, tulisan njenengan yang membekas di hati jadi pelajaran tersendiri. Sama sekali tidak ada niat numpang tenar nama besar njenengan. Sama sekali tidak! Tidak perlu nama tenar maupun panggung untuk jadi perhatian orang. Sudah cukup perhatian dari Tuhan. Di era proxy war plus cepatnya akses informasi sekarang ini, alangkah bijak kita lebih peka, jeli dan empati penuh kerendahan hati.
Njenengan murka “mencoreng muka Jokowi “gegara dilema dinamika model transportasi konvensional dan daring yang lagi diproses kebijakan terbaiknya. Murka njenengan ingatkanku pada sosok yang teriak lantang Jokowi presiden plonga plongo. Mending sibeye Presiden peragu daripada Jokowi presiden boneka, tidak tahu apa yang harus dilakukan sebagai presiden… dst.. Begitu kata sosok yang kukagumi sedari masa kanak-kanak.
Saat SD diajak paman liburan ke rumahnya di kota, hal pertama adalah udal udal timbunan koran bekas untuk sekedar baca tulisan beliau. Maklum, rumahku di desa pesisir selatan jatim. Ndeso. Era koran di desa masih langka. Harga setara bensin seliter kayaknya. Moment liburan manfaatkan baca koran yang sengaja minta ke paman yang berlangganan untuk disimpan.
Begitulah awal kekaguman pada beliau. Kagum dan hormat sampai detik ini. Andai terjadi negeri ini diserbu pasukan luar, perang terbuka seperti era revolusi fisik dulu, saya yakin beliau tampil terdepan sebagai salah satu panglima perang. Jiwa patriotisme tidak usah diragukan lagi, nasionalisme dan pluralisme sudah teruji. Njenengan perwira utama. Saya cukuplah di posisi laskar level krupuk yang siap adu gharees tulang belulang yang rapuh ini kapan saja mengikuti perintah beliau sebagai panglima dan njenengan komandannya.
Kurun 95an bahkan ada dulur di kampung rela mbamboeng di jogjo demi berinteraksi dengan beliau. 2 tahun mengikuti lampah laku beliau. Selanjutnya dulur lanangku berjalan mengikuti angin mencari jati diri sampai di lereng rinjani. Memuaskan dahaga jiwa. Dulur yang selalu ku hormati di hening malam sunyi seperti ini. Salamun qoulam mirrobburrahim buat dulurku ini. Waah…ngobrol dgn njenengan niki nguras memori masa lalu. Ngapunten kang kaji.
Murka njenengan dengan judul “mencoreng muka Jokowi” ada kemiripan dengan sosok yang kukagumi tsb, yang berteriak lantang Jokowi Presiden plonga plongo. Menghujat marahi iwan fals yang dianggap hilang kritis antek pemerintah bla…bla…blaa…. Menolak diundang tatap muka ke istana untuk bicara terbuka, kritisi dan cari solusi terbaik bagi nusantara kita.
Tidak mau hadir. Namun teriak makin keras dari luar jendela membingungkan aku yang mencermatinya dari bawah kolong meja sebagai rakyat jelata. Teriak makin keras muntahkan cemooh, hujatan dan hinaan. Terkadang saat seseorang merasa menguasai suatu bidang menjadikan diri lantang menghakimi sesama seakan pegang wewenang obyektivitas ilahiah. Tanpa sadar menghakimi.
Syndrom orang baik yang terjajah rasa merdekanya sendiri sehingga lupa bahwa sesama manusia adalah pelajar kehidupan. Lali etika roso rumongso. Kawulo wajib ngawulo. Ngawulo roso sak podho podho. Era maksum sudah ditutup dengan mangkatnya nabi terakhir kanjeng nabi Muhammad saw. Sejarah mengajarkan kepada kita riwayat kyai barseso yang fenomenal itu. Mendidik santri jadi ulama besar tapi diri sendiri tepar terkapar. Aku yakin njenengan lebih paham dari aku yang awam ini akan godaan hati yang begitu halus dan lembut menggiring kita ke celah tanpa sadar merasa paling benar.
Beliau orang baik yang sering dijadikan rujukan jalan tengah atas problema dinamika agama dan budaya. Orang baik yang bergaul tanpa pandang bulu. Menerapkan watak samudro, menampung semua yang tidak tertampung. Semak kering habitatku saat ini pun ditampungnya dengan canda tawa renyah khas senyumnya. Orang baik yang sering kali kebaikan hatinya di manfaatkan pihak lain untuk bunker persembunyian.
Coba kita renungkan, apa sebenarnya kesalahan Jokowi yang paling mendasar? Sementara ini yang nampak di permukaan hanya satu hal sepele tur sepolo. Sepele bagi rakyat jelata seperti aku, tapi sepolo terasa fatal bikin gatal bagi segelintir orang. Andai Jokowi lahir dan besar di selasar istana bertrah cendana, aku yakin tidak bakal sehiruk pikuk ini sikon kita.
Ngapunten kang kaji. Monggo kita cermati lebih dalam sikon sesungguhnya negeri kita ini. Ilustrasiku kondisi diabet. Kedua kaki sudah membusuk. Bagi umumnya ahli medis sudah layak diamputasi agar busuknya tidak nyebar ke seluruh organ. Pemimpin kita yang njenengan coreng mukanya pilih opsi alamiah, sehatkan ginjal agar insulin berproduksi. Cara tersulit dalam metode medis sebab butuh konsentrasi dan keseimbangan emosi tingkat tinggi.
Dengan cara tumbuh aktifkan sel darah merah yang sehat untuk perangi dominasi darah jahat di tubuh kita. Sel darah merah “optimisme” itu yang disuntikkan Jokowi awal pimpin negeri ini. Optimisme! Sampai detik ini pun semua masih berproses tanpa kita sadari akselerasi yang dimainkan tabib kita ini. Satu persatu organ bermasalah di jamah untuk bersinergi positif satu sama lain sebagai sebuah kesatuan yang kita kenal badan wadah NKRI.
Pembangunan infrastruktur dari pinggir memang butuh waktu untuk gerakkan roda ekonomi. Namun reaksi spontanitas optimisme masyarakat adalah point tersendiri. Optimisme! Semangat guyub rukun gali kelola potensi diri dan sekitar yang sekian puluh tahun hanya jadi tumbal kekuasaan. Andai njenengan di posisi Jokowi, cukupkah stock sabar di hati hadapi hinaan cerca caci maki dengan tetap tersenyum seraya giat pikul amanat sebagai RI 1? Sumonggo jawab kang kaji, mampukah njenengan pikul beban ini?! Aku ga sanggup!
Aku rakyat jelata non partisan. Ora melu partai partaian. Bukan congorwers, wowoers, jokowers, cebongers maupun ahokers yang sejak awal kampanye pilpres lalu terlibat di barisan ini itu namun kini terbelah kayak anak paud berebut sepatu jelang tahun ajaran baru. Kepentinganku hanya mendukung kebaikan demi anak cucu kita kelak.
Bosen di bodohi berbagai versi. Monggo kita hadapi tantangan jaman ini dengan senyum optimisme. Kita hadapi gertakan kemiskinan dengan lapang dada. Inilah realita negeri kita. Berproses menuju dewasa! Senyatanya hidup keseharian kita emang ga semudah cocot’te mario teguh. Selalulah optimis dan jangan lupa bahagia..