![](https://www.Indovoices.com/wp-content/uploads/2018/03/2439890.jpg)
“Ah, ngecap!” Pernah dengar ungkapan ini? Mengapa kecap yang tidak berdosa bisa disinisi dan dijadikan bahan olok-olok. Stigma ini bermula dari motto produsen kecap yang selalu meng-klaim dirinya nomor satu. Jika satu produsen menyatakan kecapnya nomor satu, lalu mana yang nomor dua? Nggak ada, karena semua kecap memuji dirinya nomor satu. Salomo, orang paling bijak sedunia, mengatakan, Biarlah orang lain memuji engkau dan bukan mulutmu, orang yang tidak kaukenal dan bukan bibirmu sendiri.
Orang merasa dan ditekankan oleh para motivator agar kita menjadi nomor 1 atau tidak sama sekali. Karena termakan oleh hasutan itu kita jadi mempunyai ambisi gila sehingga alergi menjadi nomor 2. Coba pikirkan, jika setiap orang mau menjadi nomor 1, lalu siapa yang duduk di nomor 2 dan seterusnya. Yang masih tidak paham bisa saja berkata pongah, Ya biar orang lain yang jadi nomor 2, 3 dan seterusnya asal saya tetap nomor 1!
Karena mengejar yang nomor 1 inilah para ortuterutama ibu-ibu menginginkan anaknya juara 1 di kelas. Saat berkunjung ke School of Tomorrow di Australia, saya mendapatkan pelajaran yang indah. Di sekolah ini juara satunya ada banyak. Kok bisa? Bisa saja. Ada anak yang juara 1 di bidang matematika. Anak lain juara 1 di bidang bahasa. Anak yang lain lagi juara 1 di bidang seni dan budaya. Sistem ini menjadi setiap anak yang juara 1 tidak besar kepala. Aku bisa saja juara 1 di bidang kimia, tetapi temankulah yang juara 1 di bidang sastra.
Begitu ambisiusnya seorang ibu mendikte anaknya agar jadi nomor 1 sehingga mereka menghalalkan segala cara agar anaknya bisa menduduki posisi itu mulai dari yang halus seperti membelikan oleh-oleh untuk guru kelasnya sampai yang kasar seperti membeli soal bocoran yang belum tentu benar. Mereka lupa bahwa kemampuan setiap anak berbeda. Apakah ibu dulu juga juara 1 di kelas? Pertanyaan ini bisa membuat merah mukanya.
Seorang anak lewat di depan ayahnya sambil menyembunyikan buku raport di belakang punggungnya.
“Apa itu?” tanya ayahnya.
Dengan penuh ketakutan anak itu menunjukkan buku raport di tangannya.
“Coba Papa lihat?”
Dengan ragu-ragu anak itu menyodorkan raportnya. Begitu melirik ke buku raport itu, sang ayah langsung menyalak,
“Kok merah semua? Dasar anak tidak tahu diuntung. Bapak kerja keras agar kamu bisa sekolah baik-baik. Mulai sekarang jangan main sama anak tetangga dan hape kamu Papa sita!”
“Tapi, Pa”
Tidak usah tapi-tapian. Wong jelas-jelas nilai raport kebakaran semua begini masih mau membela diri. Pokoknya mulai sekarang kamu tidak boleh keluar rumah. Jika nilaimu jelek lagi, Papa hukum!” ujar papanya dengan wajah seperti kepinting direbus.
Setelah membombardir anaknya dengan cercaan dan celaan pedas, akhirnya sang ayah berkata, Baik, apa yang hendak kamu katakan?
“Maaf, Pa, itu bukan raport saya. Itu raport Papa yang saya temukan di lemari Mama.”
Bisa kita bayangkan bagaimana wajah sang papa?
Apa yang terjadi di dunia pendidikan ternyata terulang di dunia politik. Orang berlomba-lomba untuk menjadi nomor 1, termasuk RI 1, entah kredibel entah tidak. Yang jelas, mereka merasa mampu.
Pertanyaan yang ramai di café premium sampai warung kopi tubruk di kampung-kampung adalah siapa yang akan melawan Jokowi di Pilpres 2019 mulai ramai menguar, seperti bau kopi yang baru diseduh.
Yang hampir pasti, Prabowo akan mencalonkan kembali. Jika tidak ada tokoh lain selain sosok yang diusung Gerindra ini, yang terjadi adalah rematch Jokowi-Prabowo. Namun, yang lebih ramai jadi perbincangan politik bukan kedua tokoh ini, melainkan siapa wakilnya? Siapa yang mau jadi nomor 2?
Dari berbagai berita yang kita baca, Cak Imin dari PKB diharapkan bisa jadi cawapres salah satu capres. Mahfud MD pun digadang-gadang cocok jika ditandemkan dengan Jokowi. Ada yang masih berharap Ahok bisa berkiprah kembali.
Sementara itu ada yang meramalkan munculnya poros tengah seperti yang dulu pernah sukses dilakukan Amien Rais yang berhasil membuat Gus Dur naik sekaligus menjungkalkan harapan Megawati. Namun, karena Gus Dur ternyata membuat perubahan yang hiper, Amien dan kawan-kawan keder dan berusaha menurunkan tokoh yang dikagumi banyak orang, termasuk saya.
Bagaimanapun kekurangan Gus Dur, siapa yang tidak ada kekurangannya? Gus Dur menunjukkan sikap sebagai Bapa Bangsa. Pemakzulan itu menimbulkan ombak pro-kontra yang buihnya masih menyisakan perseteruan antarkelompok. Hingga kini.
Sementera menunggu munculnya poros tengah seperti menunggu Godot, bursa cawapreslah yang ramai digoreng. Muncullah nama AHY. Putra SBY yang sempat menjadi media darling ini digadang-gadang bisa mendampingi Jokowi di pilpres mendatang. Puan Maharani yang disiapkan jadi menteri koordinator diharapkan bisa jadi portofolionya. Ada lagi yang mengusulkan Sri Mulyani yang baru saja mengharumkan nama bangsa dengan menjadi menteri terbaik sedunia. Jadi tidaknya jelas tergantung dari dinamika politik, partai utama pendukung Jokowi dan Jokowi itu sendiri.
Kasak-kusus politik mengatakan bahwa jika Prabowo menggandeng Cak Imin, Jokowi kemungkinan bisa menggandeng AHY untuk mengimbangi Cak Imin yang berjiwa muda. Bagi AHY, merapat ke Jokowi jauh lebih menjanjikan. Mengapa? Di samping untuk mengisi kekosongan jam terbang yang belum dia miliki, AHY berharap waktu lima tahun bisa membuatnya layak maju ke RI satu. Sedangkan kalau digandeng Prabowo, dan menang, Prabowo bisa mencalonkan lagi untuk periode kedua. Dia bisa kehilangan waktu dan momentum.
Sebenarnya, apa salahnya menjadi nomor 2? Di dunia bisnis, ada perusahaan yang bangga menjadi nomor 2, bahkan menjadikan posisi itu sebagai modal jualan. Seperti kita ketahui, persewaan mobil terbesar adalah Hertz. Pesaing utamanya, yang nomor 2 adalah Avis yang dengan bangga berkata, We are number 2. Thats why we try harder. Cerdas sekali.
Bukankah ketika kita sudah mencapai nomor 1, tantangan untuk menjadi lebih baik tidak ada lagi, atau paling tidak tidak sengoyo saat kita belum mencapainya. Dengan menegaskan dirinya memang nomor 2, motto Avis We try harder menunjukkan keseriusannya untuk menjadi perusahaan persewaan mobil yang memberikan servis terbaik bagi pelanggan.
Akankah cawapres seperti Avisberusaha keras untuk memberikan dirinya yang terbaik bagi bangsa dan negara? Kita tunggu saja.
Xavier Quentin Pranata, penulis opini di beberapa media daring, penggemar kecap, meskipun bukan nomor 1.