Indovoices.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa seperti negara demokrasi lainnya, penyusunan kebijakan publik yang dilakukan Pemerintah Indonesia merupakan proses politik. Namun demikian, tidak berarti pembuat kebijakan harus kompromi dan mengorbankan integritas dan kredibilitasnya. Pemahaman ini perlu diketahui para mahasiswa Universitas Indonesia (UI) sehingga ketika membahas suatu isu dapat menelaah secara kritis dan komprehensif.
Hal ini disampaikan Menkeu pada kuliah umum semester genap Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI dengan tema “Teori Kebijakan Fiskal dan Implementasinya di Indonesia” di Auditorium FEB-UI, Depok, Jawa Barat, Rabu (08/05).
“Fiscal policy is heavy political. Meskipun ada teknokratnya, Menteri Keuangannya dianggap ada teknokratnya tapi dia (kebijakan) nature-nya atau karakternya sangat political,” jelas Menkeu di depan mahasiswa ekonomi dan bisnis UI tentang praktek proses penyusunan kebijakan publik.
“APBN atau fiscal policy itu selalu membutuhkan waktu untuk terjadi. Waktu decision maker, apakah itu Presiden apakah itu kabinet, membutuhkan belanja infrastruktur untuk membangun Indonesia, itu membutuhkan waktu untuk kemudian diterjemahkan menjadi policy (APBN) yang mendukung infrastruktur. (Penyusunan) Undang-undang APBN itu butuh waktu (sekitar) 9 bulan. Itupun melalui proses politik dengan DPR. Mengelola APBN banyak elemen yang harus kita jaga dan berbagai isu. Dalam konteks inilah fiscal policy is heavy political,” paparnya.
Lebih lanjut, Menkeu menjelaskan proses politik yang harus dilalui. Pertama mempresentasikan di kabinet kemudian memberi argumen yang logis dan membahasnya dengan DPR lalu menjalankannya dan memberitahukan kepada masyarakat dan pasar karena semua itu adalah konstituen atau stakeholders.
Karena banyak pihak yang berkepentingan atas suatu kebijakan dan seringkali kepentingan antar pihak tersebut bisa saling bertentangan maka proses penyusunan kebijakan adalah suatu proses negosiasi, saling mempengaruhi maupun terkadang harus melakukan trade-off.
“Karena dia political maka banyak proses interests. Kalau kelompok industry pengen pajak turun (agar lebih untung lebih besar), kalau orang miskin pengen pajak naik biar dia bisa dapat manfaat (uang pajak untuk subsidi). Semuanya punya interest. Dan semua interest bermuara di APBN,” kata Menkeu mencontohkan secara sederhana bahwa isu kenaikan/penurunan pajak saja bisa dilihat dari persepsi yang berbeda dari dua stakeholders yang punya interest berbeda.
Namun demikian, Menkeu mengingatkan bahwa situasi politik tersebut yang berupa tarik-menarik kepentingan dari berbagai pihak jangan sampai membuat policy makers harus mengorbankan integritas dan kredibilitas.
“Tapi despite itu, kalian harus tetap menjaga kredibiltas. That is exactly yang disebut integrity. Seninya adalah bagaimana dalam situasi yang banyak interest yang bisa berbeda-beda, you still have the ability to manage the fiscal policy secara penuh, secara kredibel sementara integrity dan competency (tetap terjaga). Tidak berarti realitas yang tidak gampang harus menjadi alasan untuk tidak mendesain APBN yang terbaik,” pungkas Menkeu. (bit/hpy/nr)