Menarik sekali membaca berita bahwa di Makassar ada calon kepala daerah yang dikalahkan oleh kotak kosong dengan selisih suara yang cukup mencolok. Lebih menarik berita yang saya baca dari Subulussalam. Di salah satu provinsi Aceh itu uang yang dipakai untuk money politics ternyata uang palsu. Salam tempel menjadi salam bulus.
Otak Atik Kotak Kosong
Ketika kelas sedang jenuh, saya sering melemparkan teka-teki untuk menyegarkan suasana. Salah satu teka-teki yang saya sampaikan di kelas berbunyi begini: Berapa banyak tanah dalam lubang yang panjangnya 10m, lebarnya 6m, dan dalamnya 2m? Jawabannya, sebagian dari Anda tahu, sederhana saja, yaitu tidak ada karena lubang berarti kosong.
Jika kita terapkan pada pilkada kali ini, ungkapan rakyat tidak lagi bisa dibodohi menemukan kebenarannya, sehingga calon pemimpin yang kosong tidak mendapat tempat di tanah kosong sekalipun. Akrobatik partai politik pendukung pun ternyata tidak linear dengan pilihan masyarakat. Pemilih yang cerdas tidak mencoblos berdasarkan partai pengusung melainkan berlandaskan kualitas calon pemimpin yang mereka dukungentah terang-terangan maupun tersembunyi. Toh kebenaran selalu berbunyi paling nyaring.
Ditipu Tipuannya Sendiri
Salah satu kisah favorit saya tentang Nasrudin Hoja menceritakan pengalamannya yang menggelikan. Suatu hari, saat dia mau tidur siang, banyak anak bergerobol di depan kamarnya. Mereka begitu ribut sehingga dia tidak bisa tidur. Dia segera keluar dan menghampiri anak-anak itu.
Anak-anak, kalian tahu tidak bahwa orang kaya di ujung jalan sana sedang membagi uang, ujarnya yang segera saja direspon anak-anak itu dengan belarian ke arah rumah yang dia tunjukkan.
Selama sesaat, dia merasakan kesunyian yang dia harapkan. Namun tidak lama. Hatinya justru berbunyi nyaring. Jangan-jangan orang kaya itu memang benar sedang berbagi uang, pikirnya. Begitu besarnya pengaruh pikirannya itu sehingga membuatnya tidak jadi tidur siang dan berangkat ke tempat yang dia tunjukkan tadi. Kebohongan kembali kepadanya.
Penyebar hoax dan black champaign serta hate speech tanpa sadar melemparkan bumerang yang akhirnya berputar dan menyambar dirinya sendiri. Berita bohong, fitnah dan pembunuhan karakter ternyata justru berbalik membunuh dirinya sendiri. Sekali ketahuan, sukar bagi mereka untuk meluruskan kembali sesuatu yang sudah mereka belokkan. Jejak digital tidak bisa dihapus begitu saja. Rekam jejaknamanya saja rekampasti terekam di ingatan orang banyak. Jika yang satu lupa, yang lain akan mengingatnya dan mengungkitnya kembali.
Akarnya Masih Ada
Salah satu blunder dari orang yang mencle mencle seperti ini, sungguh membuat kita geli. Salah satunya seperti ini. Ada seorang yang menjadi kader partai Golkar. Saat Golkar berkuasa, dia begitu garang berkoar-koar seakan-akan partai lain adalah partai gurem. Dia begitu bangga dengan partai ini sehingga memasang tato pohon beringin yang cukup besar di lengan atasnya yang kekar karena rajin ngegym.
Begitu Golkar kehilangan sinarnya, dia berusaha mati-matian untuk menghapus tatonya. Rasa sakit dia jalani agar tato itu hilang. Dia lega ketika akhkirnya gambar pohon beringin itu hanya tinggal sayup-sayup kelihatan. Itu pun buram.
Zaman berganti. Golkar naik daun kembali. Dia ingin come back tetapi telah kehilangan tato kebanggaannya dulu. Setiap kali ketemu orang, dia selalu berkata, Saya dulu kader Golkar lho! Dia berharap bisa diterima kembali. Agar meyakinkan dia tunjukkan tato gambar pohon beringin yang sudah tidak jelas.
Mana gambar pohonnya? tanya setiap orang dia pamerin tato lamanya.
Pohonnya memang sudah ditebang, namun akarnya masih, ujarnya sambil mengangkat lengannya dan menunjukkan bulu ketiaknya.
Orang yang ketahuan belangnya memang tidak lagi tahu apa artinya rasa malu.
Ganti Hashtag
Perang hashtag yang marak dan kian semarak menjelang pilkada, seharusnya kita sudah. Kalaupun tetap mau memasang tanda pagar, marilah kita ganti dengan pagar yang lebih tegar agak tanah air kembali berkibar. Misalnya #BanggaJadiOrangIndonesia atau #SaatnyaMenepatiJanji.
Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.