Suatu keterlibatan itu berbicara tentang keikutsertaan seseorang dan atau peran serta dirinya meskipun entah pada tingkatan yang paling minimal sekalipun. Artinya, ada bagian dirinya dan bagian kita masing-masing, dan bahkan itu akan semakin mengemuka di tahun politik sekarang!
Keterlibatan, peran serta, atau partisipasi kita masing-masing membutuhkan satu penyikapan yang tegas dan jernih atas isu-isu yang sedang berkembang seiring aktivitas demokrasi masyarakat di pelbagai ruang publik beserta dengan keseluruhan dinamikanya.
Banyak pihak telah merasakan dan telah menyadari bahwa kepentingan dirinya dan keberlangsungan masa depan hidupnya sendiri mungkin sedang dipertaruhkan. Itulah sebabnya, saya tidak habis pikir dan gagal paham jikalau masih ada sebagian kalangan—entah seberapa banyak mereka—yang masih saja tega karena mereka telah terindikasi akan enggan untuk peduli terhadap arah perkembangan perhelatan demokrasi di negara kita sekarang dan ke depan?
Saya berharap semoga para pembaca dan saya sendiri tidaklah termasuk di antara sebagian kalangan tersebut, yang sebagaimana saya katakan sebelumnya mereka terindikasi akan bersikap demikian.
Pasalnya, setiap warga negara yang memiliki hak konstitusional untuk memilih dan atau dipilih seyogianya dapat menggunakan hak politiknya itu secara bertanggung jawab. Janganlah kita masa bodoh, ingin berbuat egepe, atau bersikap enggan untuk berpartisipasi.
Karena, keterlibatan atau pun ketidakterlibatan sebagian kalangan justru tersebut pada momen penentuan seperti saat ini, entah cepat ataupun lambat niscaya berdampak kepada kehidupan kita semua. Tanpa pengecualian apa pun pastilah menyasar kepada siapa pun. Ya, kita semua akan merasakan akibatnya dan bahkan tidak tertutup peluang anak cucu kita kelak ikut menuai buah-buah matang tetapi busuk dari keengganan generasi sebelumnya yang mengabaikan kewajiban konstitusional mereka dengan berbuat apolitik!
Satu perbuatan apolitik antara Iain berwujud ketidaksediaan individu atau sebagian kalangan untuk bersikap dan atau berbuat dengan tidak menggunakan kewajiban konstitusional mereka untuk memberikan suara yang sah secara bertanggung jawab dalam suatu perhelatan demokrasi di sebuah negara.
Kehidupan ini sejatinya berkelindan dengan pelbagai pilihan. Tragisnya, terkait soal pilihan-pilihan yang buruk beserta seluruh akibat dan konsekuensinya, tegas saja, adakalanya itu merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari ketidakpedulian individu bersangkutan atau ketidakpedulian sebagian kalangan untuk enggan melibatkan diri dengan lebih mementingkan agenda dirinya sendiri. Motif mereka mungkin saja karena lebih mengutamakan kesenangan diri sendiri semisal agenda liburan pribadi yang dirasakan lebih menarik bersama keluarga baik di dalam negeri atau pun melancong ke negara orang! Tetapi, mungkin juga karena ekses preseden kebrutalan pilkada DKI Jakarta yang lalu, tatkala sebagian kalangan mengabaikan kewajiban mereka akibat terintimidasi aksi-aksi imoral dari salah satu pihak kontestan politik.
Sekadar mengingatkan saja, bahwa terpampang di hadapan kita satu contoh faktual yang masih cukup segar dan itu benar-benar nyata, selain karena perwujudannya hadir cukup dekat dan sekaligus kasat mata terjadi di era berlimpahnya informasi sekarang, yaitu indikasi terjadinya pergerakan kemunduran DKI Jakarta tatkala kekuasaan berada di tangan seorang pejabat, yang tampaknya tidak kompeten sebagai kepala pemerintahan daerah! Kembalinya era kebobrokan itu berlangsung sekarang secara simultan dan secara gradual pasca berlalunya momen pilkada paling brutal dua tahun yang lalu.
Tulisan ringkas ini sengaja tidak merinci kembali bukti-bukti nyata tentang baliknya era kemunduran tersebut di DKI Jakarta karena selain banyak penulis lain yang telah cukup lengkap mengungkapkannya, pembahasannya pun akan terasa pahit dan menyakitkan, selain cukup efektif pula untuk semakin meningkatkan derajat kemuakan para pembaca dan saya terhadap kebejatan praktik-praktik politik imoral yang menyertai tebaran isu SARA, serta menunggangi kesucian ajaran agama sebagaimana kita ketahui bersama sedemikian tega dipraktikkan dengan sangat masif pada pilkada DKI Jakarta dua tahun yang lalu!
Namun, saya senantiasa ingin mendorong kita semua untuk mengambil bagian dan menggunakan hak konstitusional kita secara bertanggung jawab. Pelibatan diri kita secara tegas dan bermartabat sejatinya itu berlandaskan pada tuntunan hati nurani yang bersih beserta kejernihan olah pemikiran yang lurus demi keberlanjutan dan kejayaan NKRI.
Oleh S. Heru Winoto