Indovoices.com – Video orang Madura meneriakkan, “Jokowi mole” (pulang) sambil mengacungkan dua jari lagi viral di medsos. Sebelumnya, Sandiaga disambut spanduk penolakan terhadap dirinya dan menyuruhnya pulang. Saat diinvestigasi, dikatakan yang masang spanduk itu dibayar. Pasutri perang mulut gara-gara spanduk. Saat akan dilepas, timses Sandi justru melarangnya. Bisa jadi alat bukti. Bisa juga untuk lebih menegakan kalau dirinya jadi korban.
Setiap kali ada berita yang memojokkan capres dan cawapres tertentu, dua kubu—cebong dan kampret—sama-sama meniup terompet. Kalau kubunya sama, bahasanya pasti mendukung. Kalau kubunya beda, pasti mengejek bahwa itu pelintiran, sandariwara dan sebagainya. Kasus Sandi di atas dijawab ramainya tagar SandiwaraUno.
Sebagai orang yang pernah tinggal di Jogja, bahasa plesetan semacam itu biasa, bahkan memantik kreativitas baik bagi yang membuat maupun yang mencoba mencerna artinya. Salah satu T.Shirt di Jogja yang menarik untuk diulik tulisannya begini: “Bali ae neng Jogja.” Coba, tafsirkan artinya.
Kita bisa saja mengartikannya demikian: “Udah kembali saja ke Jogja” atau “Pulang saja ke Jogja.” Namun, jika dipikirkan lebih dalam, artinya bisa berubah: “Orang Bali saja datang ke Jogja!” Orang Bali—sebagai obyek wisata nomor satu di Indonesia—saja berwisata ke Jogja. Nah, artinya bisa bolak-balik kan.
Di saat yang hampir bersamaan, SBY di-bully di medsos karena sedih atau malah menangis saat Alat Peraga Kampanye (APK) Partai Demokrat dirusak orang. Karena pelaku perusakan spanduk itu begitu cepat tertangkap dan mengaku sebagai orang suruhan PDI disertai video lengkap, otomatis ada yang berkata peristiwa ini settingan. Hal ini mengingatkan kita pada Vicky yang mengajak wartawan untuk menggerebek rumah Angel Lelga yang katanya tinggal serumah dengan selingkuhannya. Tak kurang dari Deddy Cobuzier yang marah-marah di vlog-nya karena dianggap peristiwa ini settingan murahan.
Pihak yang ditolak—seperti Jokowi dan Sandiaga—di daerah yang berbeda, bisa saja playing victim untuk menarik simpati. Demikian juga sikap baper yang ditujukan untuk Ibu Ani Yudhoyono dan SBY oleh warganet bisa saja dianggap mencari simpati masyarakat.
Berhasilkah metode semacam ini? Tergantung masyarakat mana yang dituju. Yang jelas tokoh sinetron yang dizalimi selalu mendapatkan simpati berupa airmata yang menonton. Bagaimana jika hal itu terjadi di ranah politik? Bisa jadi cukup banyak yang terkecoh sehingga berganti haluan arah pilihan. Namun, percaya tidak, kepura-puraan—cepat atau lambat—bakal ketahuan. Aktor dan aktris profesional, begitu tidak lagi di depan kamera atau turun dari panggung sandiwara, akan kembali ke kehidupan normal.
Di dunia internasional kita sudah melihat buktinya. Penghargaan kepada Aung San Suu Kyi yang dianggap sebagai tokoh demokratis dan membela kebenaran ternyata dicabut satu demi satu oleh yang memberinya. Mengapa? Karena terbukti dia tidak berpihak kepada Rohingya yang dizalimi di depan pintu rumahnya sendiri.
Yang jadi masalah adalah saat sandiwara semacam itu sukses menghantar seseorang duduk di singasana. Saat ketahuan belangnya, terlambat sudah. Toh sudah berhasil mencapai kekuasaan. Bagaimana pun kerasnya kita mengkritik mereka, mereka bisa menutup telinga terhadap teriakan kita atau bahkan malah memang sudah tuli dari sononya.
Orang yang dikecewakan, masih punya senjata pamungkas yang luar biasa. Gusti mboten sare. Setuju. Entah apakah Anda relijius atau tidak, mayoritas masyarakat Indonesia masih percaya adanya Tuhan yang punya kuasa untuk memberi dan mencabut—termasuk kekuasaan.
Hukum tabur tuai juga masih berlangsung. Jika kita menabur angin, tunggu saatnya kita menuai badai. Bocah nakal yang membohongi publik dengan berteriak ada serigala menyerang dirinya ternyata saat benar-benar diserang serigala malah jadi korban karena tidak ada yang percaya dan datang menolongnya. Rakyat yang cerdas—dan makin banyak jumlahnya—pasti tidak mau memilih pemimpin yang senang menebar kebohongan. Orang yang pura-pura saleh akan ketahuan saat berbuat salah terus-menerus. Kesalahan yang berulangkali menunjukkan seorang belum atau bukan pakar di bidang tertentu. Orang yang pura-pura sabar suatu kali pasti menggebrak meja saat disudutkan. Orang-orang yang pura-pura jadi korban bisa benar-benar dikorbankan karena rakyat tidak lagi memilih dirinya karena sudah muak dibohongi.
Apakah orang-orang semacam ini, meminjam istilah Jokowi, perlu ditabok? Nanti ada yang nyinyir lagi, masa kejahatan dibalas kejahatan? Sama saja dong! Saya percaya hal ini: kebenaran akan muncul seperti siang.
- Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.