Saat Jokowi menjadi pembicara pada acara Tri Hita Karana on Sustainable Development Forum 2018, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara paling bahagia di dunia.
Jokowi dalam sambutannya, menggugah kesadaran peserta dan delegasi pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF)-World Bank Group (WBG), bahwa pembangunan berkelanjutan harus bermuara pada kebahagiaan.
Jokowi bahkan menyebut Indonesia menempati posisi kedelapan sebagai negara yang paling bahagia di dunia. Data tersebut didapat dari survei yang dilakukan Gallup, perusahaan riset asal Amerika Serikat, di awal 2018.
“Kita mungkin bukan negara yang paling maju. Tapi kita termasuk yang paling bahagia,” katanya, Kamis 10 Oktober 2018.
Gallup merilis bahwa Indonesia menjadi satu dari delapan negara yang paling bahagia di dunia. Berdasarkan survei itu Indonesia ditempatkan pada jajaran negara-negara paling optimistis di dunia untuk tahun yang sama.
Senada dengan itu, survei Edelman juga menempatkan tingkat kepercayaan publik di Indonesia kepada pemerintah berada pada posisi kedua setelah Switzerland.
Tentu saja tidak semua orang mengamini apa yang disampaikan oleh Jokowi. Di berbagai WAG yang saya ikuti, para kampret mengeluarkan screenshot seperti gambar di bawah ini, yang dikutip dari BBC Indonesia, disertai tagar #HoaxLagi ataupun tudingan kebohongan publik.
Pada gambar sebelah kanan tersebut, kita bisa melihat judul yang tercantum bahwa Finlandia Negara Yang Paling Bahagia, Indonesia peringkat 96 dari 156 negara
Saya mencoba mencari berita yang dimaksud dan Voila, saya berhasil menemukannya. Saya kutip dua paragrap awal di media BBC Indonesia tersebut.
Negara yang paling bahagia di dunia diduduki oleh Finlandia, yang menggeser Norwegia, berdasarkan Laporan Kebahagian Dunia 2018 yang dikeluarkan PBB.
Laporan Kebahagian Dunia 2018 tersebut mengukur ‘kesejahteraan subjektif’, yaitu seberapa bahagia seseorang merasakannya dan kenapa.
Untuk lebih lengkapnya dapat dibaca pada link di bawah ini.
(https://www.bbc.com/indonesia/majalah-43422986)
Lantas pertanyaannya, apakah yang disampaikan oleh Jokowi salah? Tidak juga menurut saya. Lalu, Apakah berita dari BBC yang menjadi senjata andalan kampret itu benar? Pun belum tentu.
Begini penjelasannya, kalau kita baca sekali lagi, maka kita akan melihat bahwa Jokowi mengutip data dari hasil survei yang dilakukan Gallup, perusahaan riset asal Amerika Serikat. Jadi ada dasarnya, bukan seperti toko sebelah yang mengutip dari novel fiksi.
Sementara dari media BBC, mengambil data dari berdasarkan Laporan Kebahagian Dunia 2018 yang dikeluarkan PBB.
Baik survey yang dilakukan oleh PBB maupun Gallup, sifatnya sangat subjektif. Masalahnya, laporan dari PBB hanya menggunakan 1 buah indikator yakni hanya menanyakan seberapa bahagia seseorang merasakannya dan kenapa.
Sedangkan metode survey global tahunan yang dilakukan oleh Gallup menggunakan tiga indikator, yakni harapan, optimisme di bidang ekonomi dan kebahagiaan. Tahun ini Indonesia mendapat status negara paling optimis di dunia.
Dalam survey, responden antara lain ditanya mengenai apakah tahun 2018 akan lebih baik atau lebih buruk ketimbang tahun lalu. Sebanyak 73% menjawab lebih baik dan hanya 6% yang meyakini tahun ini akan lebih buruk ketimbang sebelumnya. Hasil tersebut menempatkan Indonesia di urutan satu dalam Indeks Harapan dengan skor 67.
Sementara dalam Indeks Optimisme Ekonomi, Indonesia menempati ranking ketiga dari 55 negara dengan 63% responden meyakini tahun ini perekonomian nasional akan melonjak dan menciptakan kemakmuran.
Sedangkan 73% mengaku bahagia dalam hidup, jauh lebih baik ketimbang Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Jepang.
Walaupun ada selisih persentase dari hasil ketiga pertanyaan tersebut namun masih selaras, tidak sampai bertolak belakang.
Untuk lebih lengkapnya dapat dibaca pada link di bawah ini
(https://m.dw.com/id/indonesia-didaulat-negara-paling-optimistis-di-dunia/a-42036299)
Ketiga pertanyaan yang diajukan oleh Gallup, sifatnya saling menunjang, bahwa kebahagiaan itu muncul karena adanya rasa optimisme bahwa ekonomi akan berkembang serta adanya harapan bahwa tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya.
Atau kebalikannya bahagia itu tidak mungkin muncul karena rasa pesimisme tahun ini akan lebih buruk dari tahun sebelumnya serta ekonomi yang menurun.
(Mohon diingat, survey tersebut dilakukan sebelum terjadinya perang dagang AS VS China yang mengakibatkan berbagai negara dunia termasuk Indonesia terkena efek perang dagang tersebut)
Sampai di sini, cukup jelas bukan? Secara singkat, kedua lembaga tersebut meskipun melakukan survey dalam waktu yang tidak terlalu jauh dengan hasil yang berbeda. Namun banyak faktor yang mengakibatkan perbedaan tersebut, mulai dari metode pertanyaan, lokasi atau responden dan sebagainya.
Inti yang bisa saya sampailan di sini adalah alih-alih menebarkan teror, pesimisme, ketakutan, ancaman seperti yang terus menerus dilakukan oleh pihak oposisi. Jokowi lebih memilih untuk menebarkan rasa optimisme dan harapan kepada para audien atau pendengarnya, termasuk kepada rakyat Indonesia sendiri.
Rasa optimisme, harapan dan impian itulah yang akan menjadi tenaga dan pendorong bagi kita agar dapat berusaha untuk menjadi lebih baik lagi, menjadi lebih maju lagi dan pada gilirannya menimbulkan kebahagiaan pada diri kita karena berhasil melaluinya dengan baik.
Tentu saja kebahagiaan yang dimaksud tidak mencakup kelompok pihak oposisi, gerombolan kampret, setan radikalis, pengusaha hitam, mafia dan para koruptor yang merasa menjadi mahkluk paling menderita empat tahun terakhir ini.
Apalagi akhir-akhir ini popularitas Jokowi semakin melejit, dibuktikan dengan dukungan berbagai kepala daerah dan yang terakhir, minggu lalu, eks alumni 212 pun sudah mengikrarkan dukungan untuk Jokowi. Itupun diperkirakan akan terus bertambah.
Sementara pihak oposisi terlihat stagnan kalau tidak ingin dikatakan semakin menurun popularitasnya terutama setelah kasus muka bonyoknya Ratna Sarumpaet. Maksud hati ingin mempolitisir kasus itu agar membesar dan menciptakan demo bersilit-silit dengan angka togel, akhirnya api tersebut malah membakar mereka sendiri.
Malah salah satu anggota koalisi mereka, dari Demokrat, Andi Arief setelah sebelumnya pernah menyebut Prabowo Jenderal Kardus, kini kembali menyebut Prabowo Malas kampanye, entah karena lagi bokek, pengaruh usia ataupun karena menyadari tidak akan bisa menang di pilpres 2019 nanti. Bisa jadi salah satu atau bahkan kombinasi ketiga faktor yang saya sebutkan itu. Hal inilah yang semakin membuat penderitaan mereka bertambah.
Dan wajar saja ketika Jokowi menyebut Indonesia merupakan negara paling bahagia di dunia, ada segelintir kampret yang protes, tidak terima dan menyebut itu Hoax. Dapat dipastikan, setidaknya bathin mereka akan semakin menderita saat melihat pelantikan Jokowi nanti untuk periode 2019-2024 tahun depan. Sungguh kasihan sekali…
Jokowi: Indonesia Negara Paling Bahagia Di Dunia
https://youtu.be/Wb_tXen-gHI