Saya tidak mengerti dengan semua pernyataan Jajang C. Noer, istri dari almarhum Arifin C. Noer, sutradara film G-30-S PKI, ini. Beberapa pernyataan dia begitu kontradiksi.
Diacara Indonesia Lawyers Clud yang dipandu oleh Karni Ilyas, Jajang mengatakan tiga hal yang kemudian saya garis bawahi:
- Mereka mengalami kesulitan mencari orang-orang ex. PKI untuk menggali keterangan tentang keadaan saat itu. Lalu kemudian, mereka menemukan satu orang, namun ketika ditanya, jawaban yang diberikan hanya “ya” dan “saya tidak tahu”. Bisa dikatakan, dia hampir sama sekali tidak bicara. Bahkan ditanya “Apakah Aidit merokok?” pun tidak terjawab.
- Jajang menampik pernyataan yang dikatakan oleh Sukmawati bahwa Arifin C. Noer bilang, selama pembuatan film G-30-S PKI itu, seluruh proses pembuatan film diawasi dan dibawah tekanan Tentara saat itu.
- Arifin C. Noer sama sekali tidak menduga bahwa film garapannya yang berjudul G-30-S PKI akan dijadikan alat propaganda pemerintah. Dia hanya tahu bahwa film garapannya ini harus mampu membuat si penonton menjadi benci dan marah pada PKI.
Sebenarnya, kalau pemerintah atau pihak manapun mau, Jajang C. Noer bisa dijadikan rujukan tentang “Kebenaran” konten cerita dari film yang cukup menghebohkan itu dimasanya. Dan berdasarkan keterangan dia, pemerintah akan mampu mengambil keputusan apakah film tersebut BISA SEWAKTU-WAKTU ditayangkan kembali atau dimuseumkan.
Yang pasti, pernyataan Jajang C. Noer dipoin pertama cukup membuktikan bahwa seluruh cerita yang digarap pada film G-30-S PKI adalah cerita versi Rezim Orde Baru. Ya pastilah, yang pesan film ini mereka, kok! Masa iya Rezim Orde Baru mau membiayai pembuatan sebuah film yang tidak mendatangkan keuntungan bagi mereka?! Dan keuntungan yang dibicarakan, bukanlah keuntungan dalam bentuk materi atau uang, tapi keuntung yang jauh lebih besar dan dahsyat, yaitu rasa simpati dan empati rakyat terhadap kegagahan dan jasa Soeharto sebagai pihak yang berhasil menemukan dan menumpas PKI saat itu.
Sementara pernyataan Jajang C. Noer dipoin kedua, kontradiksi dengan cerita dia tentang seorang crew film bernama Aidil yang diciduk oleh aparat ketika dia SEDANG MENJEMUR properti film berupa bendera PKI. Logikanya, para crew ini sedang menggarap pembuatan film pesanan pemerintah dengan judul G-30-S PKI. Karena satu hal dan lain-lain, properti itu harus dirawat dan dikeringkan ketika basah. Kalau selama pembuatanaparat ada disekitar lokasi syuting hanya untuk menjaga keamanan saja. Lalu kenapa terjadi penangkapan gara-gara seorang crew menjemur sebuah bendera PKI?
“Dijemur (bendera itu) di halaman dia, di dalam gang. Saya ingat. Diciduk dia, ditahan. Aidil, saya ingat banget itu,” tutur Jajang saat talkshow Perspektif Indonesia, Jakarta, Sabtu (23/9/2017). Sejak kejadian itu, seluruh kru film “Pengkhianatan G-30-S PKI” diberi semacam tanda pengenal. Dengan tanda pengenal tersebut, kru film ‘aman’ dalam menjalankan aktivitas.
Jajang C. Noer ini bicara seolah-olah SAAT ITU PKI adalah isu yang biasa. Padahal kita tahu, bahwa rezim Orde Baru memang paling takut pada PKI. Bukan takut karena PKI bisa tumbuh dan berdiri lagi, tapi takut orang-orang PKI akan membongkar kejahatan yan sudah dilakukan Rezim Orde Baru pada negara dan bangsa Indonesia. Rezim Orde Baru takut, cerita yang sebenarnya dikoar-koarkan oleh saksi mata saat itu.
Pernyataan Jajang C. Noer yang ketiga jelas mengatakan pada kita, bahwa cerita akan sangat berbeda jika saja Arifin C. Noer tahu persis bahwa film dia akan dijadikan alat propaganda. Mungkin saja, Arifin C. Noer akan menolaknya atau menggarap film tersebut akan 99% mendekati cerita aslinya. Arifin C. Noer, sebagai orang yang dikenal sangat disiplin dan memegang prinsip, kalau tahu bahwa filmnya akan dijadikan alat propaganda yang wajib ditonton oleh seluruh rakyat Indonesia dan diputar ulang ditanggal yang sama setiap tahunnya, mungkin akan mengabaikan estetika sebuah film selama kebenaran yang dikandung sebuah cerita bisa disampaikan pada penontonnya.
Namun, saya melihat bahwa apa yang terjadi pada proses pembuatan film yang berjudul “Pengkhianatan G-30-S PKI” juga menjadi bagian dari sejarah kelicikan Rezim Orde Baru dalam usaha mereka mencuci otak rakyat Indonesia.
Film garapan Arifin c. Noer ini memang memenuhi dan mencapai tujuan, yaitu membangkitkan kemarahan dan kebencian setiap orang yang melihatnya. Kalau saja film tersebut hanya dikatagorikan sebagai film hiburan dan bukan dikatagorikan sebagai film dokumenter.
Sekarang semuanya sudah mulai terbuka. Tabir yang menghalangi kebenaran selama ini tentang film “Pengkhianatan G-30-S PKI” lambat laun terbuka. Rakyat Indonesia harus pintar dan harus mampu membedakan mana yang benar yang patut dipercaya dan mana yang salah. Dan kalau generasi muda sekarang mau menonton lagi film “Pengkhianatan G-30-s PKI” ini, mereka harus dengan pemikiran bahwa film ini tidak ubahnya seperti film hiburan yang adegannya penuh darah dan kekejaman. Seperti halnya film Holywood yang judulnya “Dunkirt”. Tidak Lebih dan tidak kurang,
ref. tribunenews