Kalau PLN menunjukkan bagaimana kerasnya usaha teknisi, mengorbankan nyawa, naik ke tiang listrik, demi mengejar waktu untuk nyala, komentar saya cuman satu
BEGO!!
Dan kalau setelah itu, para teknisi diharuskan menanggung akibat dari ketololan para manajemen, maka itu bisa dikatakan sebagai:
RAMPOK!!
I was not impressed. On the contrary, I was disgusted. System yang bener itu bukannya teknisi kerja kebut kebutan di atas kabel. Menunjukan itu sama saja dengan menunjukkan diri tidak mampu, saking dungunya sampe ga tahu yang namanya backup plan. Tapi masih bisa naik jadi direktur, jadi manager. Dan yang lebih menjijikkan, kemudian teknisi yang melakukan tugasnya sesuai dengan arahan manajer yang TIDAK MEMBUAT BACKUP PLAN harus menanggung akibat mismanagement tersebut.
Kalau memang otaknya masih bisa berguna buat dipake gule otak aja, yang namanya pemimpin pasti bisa memikirkan backup plan. Disaster plan. Pada waktu terjadi masalah, maka PLN seharusnya execute backup plan tersebut, dan membiarkan teknisi teknisi yang saat ini dipake buat bemper ngemis ngemis ke masyarakat kemudian diperas gajinya itu bekerja dengan tenang tanpa terburu buru. Dengan menyebar foto foto seperti itu, justru menunjukkan bahwa ini lho kita sudah kerja keras. Monyet juga kerja keras ngupas kacang. Anjing juga kerja keras waktu dilatih cari narkoba. Kalau manusia harus kerja keras, artinya yang merancang ga punya otak. Anjing kerja keras supaya manusia tidak perlu melatih hidung mengendus ngendus. Kalau manusia masih harus mengendus ngendus juga, itu namanya bodoh.
Pada system yang benar, para teknisi yang diatas kabel itu harusnya ga perlu ditonjolkan, dan mereka ga perlu kerja terburu buru mempertaruhkan nyawa. PLN seharusnya cukup menggunakan backup plan untuk supply listrik selagi para teknisi bekerja diatas sana. Begitu teknisi selesai, mau seminggu 2 minggu, sebulan, maka listrik bisa dialirkan kembali ke primary plan tanpa impact yang besar.
Jadi kalau Jokowi marah besar, dan ga peduli dengan penjelasan si CEO, saya amat sangat maklum sekali. Karena penjelasan vague seperti itu memang sudah lama membuat saya muak luar biasa. Jawaban yang selalu disodorkan adalah “on progress” dan “secepatnya”, atau “kita sedang usahakan”, atau jawaban institusi institusi macam PLN yang bisa membuat saya murka “ya ini kan kami sudah berusaha pak, mau putus mau diapain lagi? Lain kalau kami tidak berusaha”. EEIII… BODO!!! Saya tidak peduli dengan usaha kamu. Kamu mau perbaiki seminggu sebulan pun saya ga peduli. Saya tanyakan kamu punya plan apa kalau ini terjadi? Tidak pernah memberikan timeline, atau backup plan. Seluruh omongan panjang lebar itu semua seharga bullshit ala tukang jual obat palsu dimata saya dan jokowi. Excuses, excuses, and excuses. Tapi tidak ada plan yang konkrit.
Dan kemudian muncul wacana yang lebih gila. Gaji karyawan akan dipotong untuk kompensasi.. Eeiii.. LEBIH BODO… Yang mesti dipotong gajinya itu para manajer. Bukan begitu cara kerja sebuah perusahaan. Tidak ada backup plan, tidak ada disaster recovery. Gedung kecil aja punya escape plan if all else fails. Ini perusahaan segede PLN ga punya escape plan. Bayangkan kalau sebuah apartemen tidak punya escape plan, begitu gempa, habis itu semua penghuni. Dan setelah para penghuni mampus karena gedung ga punya escape plan, orang orang yang sudah mati itu keluarganya diharuskan bayar ganti rugi karena anggota keluarga yang mati itu tidak bisa lari secepat mungkin sehingga tertimpa runtuhan gedung? Benar benar menjijikkan cara berpikir manajer PLN.
Saya memimpin sebuah divisi kecil dari sebuah perusahaan saja harus memikirkan backup plan sampai rangkap 4. Kalau tidak ada backup plan, hilang itu sertifikasi kami. Mulai dari listrik mati, kerusakan hardware, penghapusan tidak bertanggung jawab, sampai kebakaran, bahkan saya sudah harus pikirkan kalau suatu saat Indonesia hancur lebur dihajar bom nuklir, maka perusahaan saya masih tetap bisa operasional dari ujung dunia sekalipun walaupun tidak leluasa. Dan pada waktu Indonesia pulih, perusahaan saya bisa melanjutkan dari yang terputus kemarin, atau pindah ke belahan dunia yang lain. Itu adalah requirement seorang manajer. Bukan hal yang luar biasa, tetapi sudah menjadi sebuah requirement yang datang dari tuntutan jabatan. Memikirkan apa yang akan terjadi, dan bagaimana supaya kemungkinan itu tidak sampai menimbulkan impact.
Plan for the worst, hope for the best. Itu adalah titah suci yang harus diemban oleh setiap manajer. Tetapi PLN beda. Jawaban yang saya dengar, panjang, bertele tele, tapi tidak ada substansi. All flash, no substance.
Untuk simple nya, tidak ada satupun di perusahaan BUMN yang kalau terkena masalah, yang bisa sebut, misalnya, kita ada generator di site ini yang ready, dan ada backup line kabel di daerah sini yang bisa dialirkan pada waktu darurat, lalu menghidupkan backup generator akan memakan waktu x jam, dan setelah itu listrik akan pulih sekitar yy-zz%. Industri berat mungkin tidak bisa beroperasi, tapi kita bisa gilir perumahan nyala di malam dan industri nyala di pagi dengan generator cadangan tersebut. Perbaikan akan makan waktu c hari, dan setelah itu kita bisa switch dan matikan backup generator.
Karena itu, saya ngga kasihan sama teknisi itu. Karena itu tugas mereka. Saya malah jijik sama yang memanfaatkan mereka buat ngemis belas kasihan masyarakat, dan kemudian gaji dipotong seolah olah mereka yang bertanggung jawab. Mungkin Ahok harus ngajarin si CEO cara mengelola perusahaan yang bener itu seperti apa.
Satu satunya sisi positif disini, akhirnya pakdhe ngerasain juga yang sudah lama sering membuat saya naik pitam setiap berurusan dengan perusahaan semacam PLN, telkom, PAM dan perusahaan BUMN lain.