“Sudah siapkan berapa milyar? Paling tidak kamu harus siapkan sekitar 3-4milyar!”
“Kalau hanya punya 100-200juta, sebaiknya jangan maju caleg, sia-sia.”
“Untuk jadi caleg DPRD butuh minimal 500juta, bahkan ada yang menyiapkan milyaran rupiah, apalagi kalau maju ke pusat.”
“Kami sekarang meminta uang dari caleg, karena toh nanti pasti kami akan dilupakan jika caleg itu terpilih.”
Sudah beberapa bulan, saya didukung keluarga, teman, simpatisan, dan relawan melaksanakan kampanye sebagai calon DPD RI dapil Riau. Pernyataan-pernyataan seperti di atas sudah akrab di telinga kami. Maksudnya jelas. Menjadi calon wakil rakyat membutuhkan dana yang banyak. Maka yang bermodal sedikit, sebaiknya mundur saja agar tidak sia-sia. Apakah benar harus demikian?
Setiap mendengar pernyataan di atas, baik dari masyarakat ataupun sesama caleg, saya selalu tertegun. Apakah di masa mudanya dulu, Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, atau Leimena juga mengalami hal yang sama? Apakah idealisme pengabdian mereka kemudian harus berhadapan dengan realita, bahwa rakyat ternyata belum tentu membutuhkan pengabdian mereka, melainkan uang mereka?
Pastinya apa yang mereka hadapi tidak sama dengan yang kita hadapi saat ini. Zaman itu, mereka tidak harus menyiapkan dana ratusan juta bahkan milyaran untuk dapat mengabdi. Rakyat memilih mereka dengan hati, bukan karena materi. Yang harus mereka siapkan adalah kapasitas diri untuk mengabdi. Sehingga kemudian, mereka tidak lagi berpikir untuk memperbanyak harta pribadi, melainkan fokus memikirkan keberlangsungan nasib negeri.
Dan sejarah mencatat bukti bahwa mereka fokus mengabdi dan bukan memperkaya diri. Bung Karno di masa tuanya harus meminjam uang untuk menikahkan anaknya. Bung Hatta tidak mampu membeli sepatu bally idamannya. Leimena pun harus meminjam jas dan dasi saat mengikuti perundingan damai dengan perwakilan negara lain.
Mereka tidak harus menghamburkan uang demi dapat mengabdi. Sehingga setelah mendapatkan tanggungjawab, diri mereka berupaya memberikan dedikasi bukannya memikirkan nasib sendiri.
Tentunya hal yang sama pun kita harapkan saat ini. Masyarakat memilih orang yang tepat untuk mewakilkannya, baik sebagai eksekutif ataupun legislatif. Memilih seorang calon bukan karena melihat isi kantongnya, melainkan apa yang ada di benaknya. Mengukur kapasitas calon berdasarkan rekam jejaknya, bukan berdasarkan janji atau duitnya.
Lagipula politik uang dan politik transaksional justru akan menjadi pendidikan politik yang tidak baik bagi rakyat. Selain itu, justru politik uang adalah tindakan yang merendahkan pemilih, karena dalam demokrasi, suara rakyat sangat mahal dan tidak ternilai harganya. Tidak bisa dibandingkan dengan angka Rp. 100.000, Rp. 200.000, ataupun Rp. 500.000.
Maka saya pun berkomitmen hal yang sama. Menjadi calon bukan karena saya punya dana yang banyak. Bahkan dalam kampanye ini, saya disokong oleh banyak pihak. Mereka bergotongroyong, sehingga saya tetap dapat melangkah hingga hari ini.
Saya menjadi calon karena saya ingin rakyat punya alternatif pilihan. Bahwa ada generasi muda yang bersedia mendedikasikan dirinya untuk pengabdian. Agar rakyat tidak lagi dikecewakan karena salah pilihan. Itulah keinginan saya, dan juga tanggung jawab saya ke depan.
Rakyat adalah raja, dan para calon wakil rakyat adalah pelayannya. Saat ini raja sedang menentukan siapa yang tepat menjadi pelayan raja. Maka pelayan yang baik bukan dipilih karena banyak uangnya, melainkan karena dapat dipercaya dan dapat memberikan pengabdian dan pelayanan yang terbaik.
Kita ingin rakyat memilih berdasarkan hati, bukan materi. Sehingga wakil rakyat yang terpilih nantinya akan selalu mengabdi, bukan memperkaya diri.
Tolak politik uang, untuk Indonesia yang lebih baik.
Teriring doa dan salam hangat,
Sahat Martin Philip Sinurat, S.T, M.T
Calon DPD RI dapil Riau no. urut 43